Konten dari Pengguna

Revisi UU Penyiaran: Demokrasi Terancam?

Caroline Christine Putri Tolampi
Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi di Universitas Kristen Satya Wacana
18 Juni 2024 10:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Caroline Christine Putri Tolampi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar ilustrasi : Aktivitas Jurnalistik (Foto oleh cottonbro studio dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar ilustrasi : Aktivitas Jurnalistik (Foto oleh cottonbro studio dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kebijakan pemerintah yang hendak melakukan revisi terhadap Undang-undang Penyiaran tengah menjadi topik hangat yang menuai banyak reaksi kontra di kalangan publik saat ini. Lajunya arus informasi melalui dunia digital yang berkembang semakin pesat saat ini membuat pemerintah ingin memperbarui regulasi yang sebelumnya telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, guna menciptakan asas keadilan bagi industri penyiaran. Isi dari draf RUU Penyiaran yang beredar di masyarakat saat ini justru menuai kritik keras dari publik, khususnya bagi para pegiat dan pelakon jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Dalam RUU Penyiaran ini, terdapat beberapa usulan yang membuat kebijakan sebelumnya mengalami perubahan signifikan, yaitu pemerintah akan membuat dan mengatur lembaga penyiaran publik serta mendapatkan wewenang dalam mencabut izin dan lisensi penyiaran. Selain itu, konten yang hendak disiarkan harus diperiksa dan disetujui terlebih dahulu oleh lembaga penyiaran. Isi konten akan lebih diatur dan dikontrol, tidak boleh mengandung unsur-unsur yang dianggap dapat mengancam serta merusak moralitas dan nilai-nilai kebangsaan. Sanksi yang diberikan bagi pelanggar penyiaran juga akan lebih diperketat.
Salah satu poin dalam RUU Penyiaran yang menjadi sorotan dan menuai banyak kritikan adalah Pasal 50 Ayat (2) yang berisi tentang larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Aturan ini dianggap melanggar kebebasan pers, padahal kebebasan pers telah dijamin dalam UUD 1945 sebagai salah satu pilar demokrasi. Pembatasan jurnalisme investigasi secara eksklusif membuat informasi yang diterima publik hanya terbatas pada fakta yang ada di permukaan saja, tanpa adanya penggalian secara mendalam mengenai fakta-fakta yang tersembunyi. Ruang untuk membongkar ketidakadilan serta kesewenangan yang dialami masyarakat juga menjadi sangat terbatas. Selain itu, masih ada beberapa poin-poin yang mengundang kontroversi dan dinilai multi-tafsir. Kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan mengekspresikan diri di media sosial juga terlihat mulai dibatasi dalam RUU Penyiaran ini. Maka dari itu, bukan hanya pers saja yang dibungkam, melainkan juga suara masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT
Niat untuk memperbarui regulasi guna menyesuaikan perkembangan dunia digital yang terjadi saat ini merupakan langkah yang baik. Namun perancangan dan pengesahan RUU Penyiaran ini harus dilakukan secara matang dan tidak tergesa-gesa. Masih ada regulasi yang dinilai bersifat kontroverisal dan multi-tafsir yang harus diperjelas dan ditinjau kembali karena dianggap akan melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Pemerintah harus membuka telinga untuk mendengar setiap kritikan yang muncul akibat draf RUU Penyiaran tersebut. Keterlibatan seluruh pihak khususnya pihak media dan masyarakat sipil sangat diperlukan dalam mempertimbangkan keputusan yang akan diambil dalam menyusun RUU Penyiaran ini. Diharapkan UU Penyiaran yang baru nanti dapat menjawab kebutuhan perkembangan dunia digital serta melindungi masyarakat, bukan malah membatasi dan melanggar hak kebebasan fundamental yang dimiliki oleh setiap warga negara.
ADVERTISEMENT