Konten dari Pengguna

Makan itu Nggak Harus Nasi

Cecep Hasannudin
Saat ini saya bekerja di Universitas Muhammadiyah Bandung (UM Bandung) sebagai Tendik (tenaga kependidikan).
2 September 2022 16:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cecep Hasannudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang anak enggan makan (Foto: pexel.com).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang anak enggan makan (Foto: pexel.com).
ADVERTISEMENT
Saya menanamkan ke anak saya bahwa makan pagi, siang, atau malam itu nggak harus nasi, nasi, dan nasi.
ADVERTISEMENT
Kalau anak saya sudah makan pisang Ambon dua biji, misalnya pagi-pagi, ya seharusnya saya nggak perlu lagi memintanya untuk makan nasi.
Atau bila Alka sudah menghabiskan 1 potong kue tawar yang ditaburi cokelat, misalnya, saya kira sudah cukup. Tak harus ditambah nasi.
Yang penting, saya dan istri selalu bilang ke anak kami, bahwa kami tidak akan memaksa dia makan.
Tapi, konsekuensinya, kalau dia nggak makan, tubuhnya lemas, lapar, nggak bertenaga. Dan bisa berbahaya bagi tubuh. Intinya, kami katakan yang sekiranya masuk akal.
Sebab, ada beberapa orang tua yang sampai, karena sang anak agak susah untuk makan nasi, maka mereka mengancam sang anak tidak akan dipinjami gadget.
Siapa pun yang menerapkan pola seperti itu, menurut saya, itu kurang logis. Apa korelasinya: anak nggak mau makan, lalu dia nggak boleh main hape?
ADVERTISEMENT

Mengubah redaksi bahasa

Ilustrasi pisang (pexel.com).
Kalau mau, dan ini pernah saya lakukan: "Sayang, yuk makan dulu. Setelah itu kamu boleh nonton di gadget ayah."
Kalo redaksinya begitu, artinya bahwa makan itu kebutuhan. Sementara main gawai itu hanyalah hiburan. Bukan hal utama yang harus dimainkan anak.
Sebenarnya ini hanya soal mengolah bahasa saja. Intinya sama: menyuruh anak makan. Dan bagaimana caranya si buah hati mengikuti instruksi orangtua tanpa hatinya luka atau terpaksa.
Lagi pula, masih banyak makanan lain yang bisa dimakan sebagai pengganti nasi. Atau yang nilai gizinya, barangkali setara dengan nasi.
Apalagi, saya tahu anak saya kurang berselera dengan nasi. Beda dengan saya dan ibunya yang begitu gandrung dengan nasi.
Bahkan, walau pun kami sudah makan bubur atau mie ayam, misalnya, tapi bila belum mengunyah nasi, ya belum dikatakan makan.
ADVERTISEMENT
Memang, pada awalnya kami pun khawatir bila anak kami sudah melakukan Gerakan Tutup Mulut (GTM). Padahal, hidangan yang kami berikan pada mereka sudah memenuhi standar gizi.
Kami tak menyerah untuk membaca referensi bahwa kita akan tetap hidup walau tak makan nasi.
Sejak itu kami tenang, santai, begitu anak kami ogah-ogahan ketika diminta makan nasi.
Yang penting adalah, kami berusaha apa yang anak-anak makan atau minum, itu kandungan atau nilai gizinya baik untuk tumbuh kembang mereka. ***