Harga Beras Naik, Mengapa?

CIPS
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyediakan analisis kebijakan dan rekomendasi kebijakan praktis bagi pembuat kebijakan.
Konten dari Pengguna
19 Januari 2018 13:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari CIPS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kenaikan harga beras medium disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kegagalan pemerintah dalam mengelola rantai distribusi beras yang efektif.
ADVERTISEMENT
Panjangnya rantai distribusi beras di Tanah Air menyebabkan harga beras tinggi dan merugikan beberapa pihak seperti petani dan pedagang eceran. Ironisnya rantai distribusi ini justru menguntungkan sejumlah pihak yang justru berada di antara pihak-pihak yang merugi.
Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, beras harus melalui empat sampai enam titik distribusi sebelum samai ke tangan konsumen. Pertama, petani akan menjual beras yang sudah dipanen kepada tengkulak atau pemotong padi, yang akan mengeringkan padi dan menjualnya kepada pemilik penggilingan. Setelah padi digiling menjadi beras, pemilik penggilingan akan menjual beras tersebut ke pedagang grosir berskala besar yang memiliki gudang penyimpanan.
Kemudian pedagang grosir berskala besar ini akan kembali menjual beras tersebut kepada pedagang grosir berskala kecil di tingkat provinsi (seperti di Pasar Induk Beras Cipinang) atau kepada pedagang grosir antar pulau. Pihak terakhir inilah yang akan menjual beras kepada para pedagang eceran.
ADVERTISEMENT
“Dalam setiap rantai distribusi, margin laba terbesar dinikmati oleh para tengkulak, pemilik penggilingan padi atau pedagang grosir. Di Pulau Jawa, margin laba ini berkisar antara 60% – 80% per kilogram. Sebaliknya, para pedagang eceran justru hanya menikmati margin laba dengan kisaran antara 1,8% – 1,9% per kilogram,” terang Hizkia.
Situasi ini menunjukkan keterlibatan pihak-pihak yang menikmati laba besar terbesar dalam rantai distribusi justru terjadi saat beras belum sampai di pasar eceran, termasuk pasar tradisional. Hal inilah yang mendasari argumen CIPS yang mengatakan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif. Kebijakan ini memaksa para pedagang eceran untuk menurunkan harga jual beras, padahal mereka bukanlah pihak yang menyebabkan tingginya harga komoditas yang satu ini. Kebijakan ini juga membuat mereka rugi karena mereka membeli beras dengan harga yang lebih mahal dari HET dari para pedagang grosir.
ADVERTISEMENT
Petani, lanjut Hizkia, juga merupakan pihak yang dirugikan karena rantai distribusi yang tidak efektif ini. Sebanyak 56% petani di Indonesia adalah petani kecil dan mereka sering dilupakan sebagai pihak yang merugi.
Situasi ini berbeda dengan beras impor yang memiliki jalur distribusi tidak sepanjang beras beras lokal. Saat beras lokal harus melewati empat sampai enam pelaku distribusi sebelum sampai di tangan konsumen, beras impor hanya perlu melewati tiga pelaku distribusi saja. Dari importir, beras dijual ke agen atau pedagang grosir atau supermarket. Dari sana, beras kemudian dijual ke sub agen dan kemudian ke pedagang eceran. Beras bisa juga dijual langsung dari pedagag grosir ke pedagang eceran. Konsumen bisa langsung membeli beras dari pedagang eceran maupun dari supermarket.
ADVERTISEMENT
“Sistem distribusi yang lebih singkat ini mungkin untuk dilaksanakan karena beras impor adalah produk yang telah siap dimasak dan sudah diproses. Jadi beras ini tidak membutuhkan peran pemotong padi, tengkulak maupun tempat penggilingan padi,” jelasnya.