Konten dari Pengguna

Gelembung Kebijakan

Sihar P H Sitorus
Anggota DPR RI Komisi IX Priode 2024-2029. Rektor Universitas Satya Negara Indonesia
26 Februari 2025 11:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sihar P H Sitorus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gelembung (Sumber: https://www.pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gelembung (Sumber: https://www.pexels.com)
ADVERTISEMENT
Pak Effendi, salah seorang warga yang terdampak kebijakan pengaturan tata kelola gas subsidi, dalam satu momen perjumpaan dengan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan: "Kami tidak membela siapa pun yang mengambil keuntungan dan jangan ganggu kemiskinan kami." Frasa ini dapat dimaknai sebagai bentuk hidden transcript dalam dinamika kebijakan, khususnya tata kelola penyaluran subsidi gas kepada masyarakat. Berangkat dari pernyataan itu, tulisan ini mencoba melihat satu sudut pandang dari perspektif relasional antara pemerintah dengan masyarakat, yakni dengan menganalisis hierarchy of bubbles yang melingkupi lapisan-lapisan dalam mata rantai kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan distribusi sumber daya esensial seperti subsidi energi, terdapat hierarki yang tidak selalu tampak di permukaan, namun nyata dalam mekanisme kontrolnya. Struktur ini dapat digambarkan sebagai gelembung-gelembung sosial dan ekonomi yang membentuk pola interaksi dan pengaruh dalam proses implementasi kebijakan. Setiap gelembung memiliki logika kerja sendiri, akses terhadap informasi yang berbeda, serta kepentingan yang dapat beragam sesuai dengan posisinya dalam sistem.
Struktur hierarki pertama adalah Bubble Upper-Elite (Winters, 2011), yakni para perancang kebijakan dan pemegang otoritas utama dalam menentukan arah regulasi. Kelompok ini terdiri dari pemerintah, pemimpin sektor ekonomi, serta pengambil keputusan yang memiliki akses terhadap perumusan kebijakan makro. Dalam konteks subsidi gas LPG 3 kg, regulasi yang disusun bertujuan untuk mencapai efisiensi dan distribusi yang optimal. Namun, dalam praktiknya, sering kali terjadi tantangan dalam memastikan kebijakan tersebut diterapkan dengan sebaik-baiknya di tingkat akar rumput. Ketika prinsip "tepat sasaran" dijadikan pedoman, dinamika di lapangan dapat menghadirkan tantangan tersendiri yang perlu dikelola dengan pendekatan yang lebih adaptif dan partisipatif.
ADVERTISEMENT
Hierarki kedua, Bubble Middle-Upper, mencakup kelompok kapitalis besar, korporasi, dan distributor utama yang memiliki peran strategis dalam mengelola distribusi barang. Kelompok ini memiliki akses terhadap pengambilan keputusan ekonomi yang berkaitan dengan perdagangan sumber daya. Dalam realitasnya, mereka berfungsi sebagai penghubung antara regulasi negara dan dinamika pasar, dengan berbagai tantangan yang muncul dalam menyeimbangkan aspek keberlanjutan ekonomi dan kepentingan publik. Pada konteks subsidi gas, mereka memainkan peran penting dalam memastikan pasokan berjalan lancar, meskipun dalam beberapa situasi, tantangan distribusi dapat menyebabkan disrupsi yang tidak diharapkan.
Hierarki ketiga, Bubble Middle-Lower, diisi oleh pengecer dan pelaku usaha kecil-menengah yang berada dalam posisi yang unik. Mereka tidak memiliki kontrol langsung atas regulasi maupun mekanisme distribusi besar-besaran, namun turut berperan dalam rantai ekonomi yang lebih luas. Pengecer gas LPG bersubsidi, misalnya, tetap memperoleh keuntungan dari penjualan, namun sangat bergantung pada keberlanjutan pasokan yang dikendalikan oleh pihak di atasnya. Jika terdapat perubahan dalam sistem distribusi, mereka perlu beradaptasi dengan cepat agar tetap dapat menjalankan usaha mereka dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam banyak kasus, posisi mereka menggambarkan bagaimana skala ekonomi mikro beroperasi dalam lanskap kebijakan yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, hierarki terakhir, Bubble Lower-Marginalized, mencerminkan kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap perubahan kebijakan. Mereka tidak memiliki kendali terhadap mekanisme distribusi, harga, atau regulasi, tetapi menghadapi dampak langsung dari dinamika yang terjadi di lapisan atasnya. Bagi mereka, akses terhadap subsidi menjadi bagian penting dari keseimbangan ekonomi keluarga. Perubahan kecil dalam regulasi—seperti penyesuaian mekanisme distribusi—dapat berdampak signifikan terhadap keseharian mereka. Oleh karena itu, dalam kebijakan publik, pemahaman terhadap realitas sosial-ekonomi di lapisan ini menjadi elemen esensial dalam menciptakan pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan.
Resistensi Terselubung dan Makna Kritik Sosial
James C. Scott (1992) dalam konsep hidden transcript-nya menyoroti bagaimana kelompok masyarakat dapat mengekspresikan refleksi dan aspirasi mereka dalam berbagai bentuk yang tidak selalu konfrontatif. Kritik sosial sering kali muncul dalam simbol, humor, atau ungkapan yang merefleksikan pengalaman kolektif mereka. Ketika Pak Effendi mengatakan "jangan ganggu kemiskinan kami", ia menyampaikan harapan akan hadirnya kebijakan yang lebih selaras dengan kebutuhan masyarakat, yakni kebijakan yang tidak hanya ditujukan untuk optimalisasi sistem, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan nyata bagi mereka yang paling terdampak.
ADVERTISEMENT
Resistensi ini lahir dari dinamika relasional antara pemerintah sebagai perancang kebijakan dan masyarakat sebagai penerima manfaatnya. Dalam banyak kasus, ada perbedaan perspektif dalam memahami esensi suatu kebijakan—negara melihatnya sebagai instrumen tata kelola yang rasional, sementara masyarakat melihatnya sebagai elemen yang mempengaruhi keseharian mereka secara langsung. Dalam konteks subsidi gas, masyarakat telah membangun mekanisme adaptasi sendiri dalam menghadapi fluktuasi kebijakan. Maka dari itu, perubahan dalam sistem distribusi sering kali dipersepsikan bukan sebagai solusi, tetapi sebagai tantangan tambahan yang perlu mereka hadapi.
Pernyataan "Jangan ganggu kemiskinan kami" yang diungkapkan Pak Effendi bukan sekadar refleksi spontan, tetapi sebuah ekspresi dari kesenjangan pemahaman antara kebijakan di tingkat atas dan realitas yang dihadapi masyarakat bawah. Kalimat ini menggambarkan dua dunia yang berjalan dengan dinamika masing-masing—pemerintah dengan kebijakan makroekonominya, dan masyarakat dengan realitas sosial-ekonomi yang lebih kompleks. Tantangan utama dalam kebijakan publik bukan sekadar pada implementasi regulasi yang ideal, tetapi juga pada membangun keselarasan antara kebijakan yang dibuat dan dampaknya terhadap masyarakat.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, ungkapan "Saya tidak membela yang ambil keuntungan" dapat dimaknai sebagai penerimaan terhadap dinamika yang telah berlangsung dalam sistem ekonomi. Dalam konteks generasi muda, istilah "it is what it is" mencerminkan sikap memahami bahwa kompleksitas kebijakan dan ekonomi telah menjadi bagian dari kehidupan sosial yang harus disikapi dengan fleksibilitas. Bukan berarti tidak ada ruang untuk perubahan, tetapi pemahaman ini menegaskan perlunya pendekatan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis pada realitas sosial masyarakat.
Hierarki gelembung ada pada Effendi-Effendi yang lain, lebih luas (macro bubbles) dan telah menjadi fenomena sosial yang semakin mengakar, menciptakan paradoks di mana keterpisahan antar kelompok seolah-olah tidak menjadi masalah utama, padahal dampaknya merembes ke berbagai aspek kehidupan. Struktur sosial yang semakin terfragmentasi ini membentuk realitas tersembunyi—di mana setiap kelompok hidup dalam gelembungnya sendiri, dengan akses, pengalaman, dan persepsi yang berbeda terhadap dunia. Ironisnya, meskipun gejala ini sudah semakin nyata, ia sering kali tidak dianggap sebagai ancaman serius karena setiap lapisan masyarakat terbiasa dengan realitasnya masing-masing tanpa menyadari keterbatasan yang diciptakannya. Hierarki gelembung telah berkembang menjadi masalah sosial yang mendistorsi interaksi antarkelompok, mempersempit ruang dialog, dan memperkuat ketimpangan akses terhadap sumber daya, kebijakan, dan kesempatan. Jika tidak diatasi, fenomena ini akan terus memperkuat segregasi sosial yang semakin sulit dijembatani, menciptakan dunia yang tidak hanya terpolarisasi tetapi juga kehilangan rasa kolektivitas dalam membangun solusi bersama.
ADVERTISEMENT
Sihar P.H. Sitorus, Seorang Politisi Pecinta Bola dan Dunia Usaha