Konten dari Pengguna

I was Worth More Than That

Ceri Angel Annisa
Melancholy, hopeless romantic phony.
31 Maret 2018 3:46 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ceri Angel Annisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
I was Worth More Than That
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kamu mungkin adalah penyesalan terbesarku selama ini.
Aku heran kenapa aku bisa selama itu bertahan denganmu. I was ridiculously idiot. Dan mungkin hal ini yang masih mengganjalku, walau tidak sampai mengganggu hari-hariku.
ADVERTISEMENT
Ku kira berpacaran dengan pria yang lebih muda akan membuat semuanya lebih gampang. Lebih enak diatur, disetir, dan nurut-nurut saja. Ku kira….
Ternyata berpacaran denganmu jadi petaka buatku. Merasa aku lebih tua, kamu pikir aku lebih banyak “pengalaman” dalam pacaran? Dan kamu jadi insecure, posesif, pencemburu setengah mati.
Aku ini seorang alpha female. Dominan. Tidak bisa kau atur-atur semaumu. Kamu melarangku nongkrong dengan teman-teman kuliahku? Gila saja.
Atau kamu ingat saat kamu marah karena sahabat-sahabatku sejak SD main ke rumahku dan bikin acara barbeque bersama? Hanya karena mereka semua laki-laki, bukan berarti aku prostitute. Ya, malam itu kata kasar “prostitute” itu keluar dari mulutmu.
Kata-kata kasar itu kamu pikir hanya akan membuatku diam? Oh, tidak! Kamu juga pasti ingat aku akan membalas semua kata binatang dan kata lain pelacur dari mulutmu itu dengan kalimat yang lebih menyakitkan.
ADVERTISEMENT
Then we would shout at each other. And you would sream at me, and me too. And I would throw my phone, and cried for whole night.
We were match made in hell, created to hurt each other.
Lalu kamu menghilang semaumu. Seminggu, dua minggu, tidak ada kabar. Kamu tau kan kita saat itu sedang LDR? Tambah bikin kacau saja!
Aku bingung, takut, cemas, rindu, sedih. Pria brengsek sepertimu bikin aku bad mood berhari-hari. That “unwanted” feeling, malah jadi motivasiku untuk terus mencoba menghubungimu, bukannya menjauh dan putus saja.
Sekarang aku mau bilang ke diriku sendiri, you are worth more than that!
Tapi sayang, dulu otakku belum sampai sana.
Satu hari ada lagi yang memancing kemarahanmu. Satu foto, aku dan sahabatku (yang semuanya laki-laki) sedang rangkul-merangkul.
ADVERTISEMENT
Kamu ingat? Hari itu pertama kalinya tanganmu melayang padaku. Tamparanmu membuat mataku panas dan berair. Tentu saat itu aku balas!
Hari itu aku tidak berpikir kalau “main tangan”mu akan jadi kebiasaan. “Toh, aku juga membalas tamparanmu.” Atau , “Toh kamu sudah minta maaf dan berjanji tidak mengulangi lagi.”
I was Worth More Than That (1)
zoom-in-whitePerbesar
Tapi ternyata, tamparan-tamparan itu terus bermunculan. Hingga suatu hari, kau sudah tak cukup puas dengan hanya menamparku.
Aku masih ingat jelas. Satu, tampar. Dua, dorong ke dinding. Tiga, aku jatuh tertelungkup. Empat, kamu menjambak rambutku (aku sempat melirik, rambutku cukup banyak kamu cabut waktu itu). Lima, kamu hempaskan lagi ke dinding. Enam, aku ketakutan.
Ya, itu pertama kalinya aku merasa takut padamu. Itu pertama kalinya aku tak bisa membalas. Itu pertama kalinya aku tak berani membalas.
ADVERTISEMENT
Aku hanya terjatuh meringkuk di sana dengan air mata. Seketika, aku tidak lagi jadi alpha female. I was your btch.
Seperti biasa, kamu minta maaf, mengaku khilaf, janji tak akan mengulangi lagi. Tapi seperti biasa juga, kamu mengulangi lagi, dan lagi-lagi aku hanya diam.
Harusnya kita putus saja waktu itu. Harusnya aku lari saja darimu. Cinta? Tahi kucing!
Harusnya aku bilang ke diriku di masa lalu, you are worth more than that!
Oh, dan juga, kau ingat kan, pernah selingkuh, dua kali dengan perempuan yang sama! Bisa-bisanya aku masih menerimamu kembali?!
Sayang, cinta, dan semua kesemuan itu jadi alasanku masih mau bertahan denganmu. Setahun lebih aku menjalani abusive relationship itu.
ADVERTISEMENT
Untungnya, setelah itu aku sadar, kalau aku harus pergi. This unhealthy relationship needs to stop. Sebelum semuanya jadi tambah buruk.
We were hurting each other, we were unhappy, yet you didn’t want to break up,and I can’t stand saw you on your knee, begged at me like that.
Pendek cerita, aku akhirnya bertemu pria lain. A sweet, gentle guy (even a little bit nerd and dorky). And still, you were begging to me to take you back. Seperti lingkaran setan, aku sudah maju melangkah, kau selalu menemukan cara untuk tiba-tiba muncul di depanku memohon ampunan.
Pendek cerita lagi, akhirnya aku berhasil “menghilang” darimu. Alhamdulillah, aku tidak ada trauma seperti jadi takut berhubungan dengan pria lain, atau takut membuka diri, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, aku akui, that “alpha female” trait in me, has lost long long ago. Aku sekarang lebih senang jadi pribadi yang tertutup dan menjaga jarak.
Untungnya, untuk perihal menjaga jarak, walau pun sulit, aku sudah berani mencoba-coba membuka pembatas jarak terhadap orang-orang dekat.
Sekarang, perasaan tak diinginkan yang sering aku rasakan saat bersamamu juga sudah jarang muncul. Aku merasa dicintai dan bahagia. Terima kasih untuk dia, that sweet-gentle-nerd-dorky guy (tentangmu akan ku ceritakan lain kali).
So….
Aku sekarang merasa dicintai dan bahagia. Dan ku harap dulu aku sesegera mungkin lari darimu.
Kalau aku bisa menulis surat untuk diriku di masa lalu, aku akan minta diriku untuk memutuskanmu saat kamu selingkuh. Aku akan minta diriku untuk pergi darimu saat pertama kali kamu melayangkan tanganmu. Aku akan minta diriku untuk mencampakkanmu saat pertama kali kamu mengataiku “l nte”. You were worth more than that!
I was Worth More Than That (2)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT