Konten dari Pengguna

Konten Kreator dan Gangguan Kecemasan FOMO

Shafira Adlina
Seorang Ibu dengan dua anak yang juga berprofesi blogger di www.ceritamamah.com dan Asesor bersertifikasi BNSP sebagai pendamping UMKM dan pelaksana Ekspor.
28 Oktober 2022 10:04 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shafira Adlina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Akhirnya ikut tren juga,” tulis caption reels salah satu akun instagram yang memiliki belasan ribu pengikut. Di dalam video reels Instagram tersebut terlihat video ia mengajak anak dan keluarganya untuk membuat video dengan lagu Dino Song dari Mr.Popolo.
ADVERTISEMENT
Bukan hal yang aneh jika kita lihat pengguna media sosial mengikuti trend kekinian ataupun viral. Dengan internet cepat kreativitas pemuda-pemudi Indonesia memang tidak terbendung. Namun, pernahkah kalian berpikir ini akan mempengaruhi kesehatan mental para penggunanya?
Saat munculnya media sosial, para ahli psikolog sudah meramalkan kejadian ini. Sekitar tahun 2013 muncul istilah FOMO atau fear of measing out. Bahasa sederhananya, kekhawatiran ketinggalan sesuatu yang dianggap tren di pergaulan.
Menurut Aisya Yuhanida Noor, seorang psikolog, professional coach dan trainer dari Kubik Training menjelaskan tentang fenomena FOMO tersebut dalam Instagram Live.
Ilustrasi Blogger dan FOMO (editan canva dokumentasi pribadi)

Mengenal Gangguan Kecemasan FOMO

Kecemasan yang digolongkan FOMO menurut Aisya setidaknya ada dua macam. Ketika seseorang khawatir atau takut ketinggalan tren seperti café yang viral, makanan yang kekinian, skincare yang hype ataupun tempat wisata yang update. Atau kondisi kedua, ketika khawatir karena tidak mendengar berita baru.
ADVERTISEMENT
Hal pemicu FOMO tentu tergantung kepada keinginan dan value orang tersebut. Contohnya jika orang itu peduli terhadap parenting. Jika melihat seminar gaya pengasuhan baru dan merasa khawatir dan takut ketinggalan karena tidak bisa mengikutinya, itu juga bagian dari FOMO.

Seorang Blogger juga pernah mengalami FOMO

Konten creator adalah sebutan bagi seseorang yang rutin membuat konten di platform apapun. Seperti vlogger maupun blogger. Saya bangga menjadi blogger. Seorang blogger menuliskan sudut pandang, value dan belief-nya pada tulisan-tulisan yang ia buat. Namun, dalam perjalanannya. Seorang blogger juga dituntut memiliki media sosial. Dengan bantuan internet cepat semua bisa diwujudkan. Saya pun pernah mengalami gangguan kecemasan ini. Ketika ramai-ramai Instagram bisa membuat reels, rasanya ingin buat terus video ini. Belum lagi munculnya media sosial lainnya seperti TikTok maupun Shorts youtube. Kira-kira apa saja ya ciri-ciri seseorang terkena FOMO ini?
ADVERTISEMENT

Ciri-Ciri Gangguan Kecemasan FOMO

#1. Merasa gelisah jika tidak cek media sosial

Coba cek kita lihat di sekeliling kita. Internet cepat memang membuat kita terhubung dengan media sosial. Entah itu remaja hingga dewasa pasti memiliki media sosial.
Salah satu ciri-ciri seseorang yang mengidap FOMO adalah ia menggunakan smartphone atau media sosialnya dalam waktu yang lama tanpa mengetahui tujuan utama. Ketika ia jauh dari smartphonenya, ia akan gelisah. Sedikit-sedikit cek notifikasi dengan menggulirkan layar androidnya dari atas ke bawah.
Aisya juga mengingatkan seseorang yang FOMO adalah ia yang dikendalikan oleh media sosialnya sehingga mudah terbawa arus dan menyerap banyak informasi dan tren yang tidak dalam lingkup kepeduliannya.

#2. Terganggunya Produktivitas

Salah satu pertanyaan saat live tersebut adalah sang penanya mengalami keadaan lebih senang dengan media sosial karena tidak mendapatkan kehangatan di rumahnya namun ia mendapati diri pekerjaannya jadi tertunda. Aisya menyampaikan bahwa terganggunya produktivitas atau menunda pekerjaan terjadi karena lebih senang dengan media sosial apakah bentuk kompensasi karena tidak mendapatkan “panggung” di dunia nyata atau pekerjaan. Sehingga mencari tempat yang lebih nyaman di dunia maya?
ADVERTISEMENT

#3. Membandingkan pencapaian diri dengan orang lain

Media sosial merupakan tempat bagi semua orang yang ingin mengunggah segala kegiatan di hidupnya. Hal tersebut dapat memicu seseorang yang FOMO akan merasa harus selalu mengikuti apa yang dicapai orang lain. Pernah sewaktu pertama kali merintis, diri ini membandingkan blogger lain yang sering menjuarai kompetisi blog atau sering mendapati suatu job. Mulai dari situ, saya merasa cemas tertinggal dari yang lainnya.
Tangkapan layar sesi IG Live dengan Aisya Yuhanida dan Wiwik Wulansari (dok pribadi)

Siapa saja yang berpotensi mengalami FOMO?

Instagram live yang berdurasi lebih dari satu jam bersama Coach Aisya dipandu oleh konseler Wiwik Wulansari itu begitu khusyuk saya nikmati dengan internet cepat dari IndiHome Telkom Group. Beliau memaparkan bahwa orang-orang yang mengalami FOMO setidaknya ada tiga macam, yaitu :

#1. Seseorang yang merasa dirinya dan hidupnya tidak cukup

Seseorang yang merasa diri dan kehidupannya tidak cukup, maka akan mencari sesuatu yang membuat dia dan hidupnya cukup. Dalam hal ini pengguna media sosial akan mencari kecukupan dari sana.
ADVERTISEMENT

#2. Seseorang yang reaktif

Orang yang reaktif diartikan mereka yang tidak memproses sesuatu dari luar ke dalam dirinya. Sehingga ia mudah tersulut tanpa pikir panjang sehingga dapat terbawa arus.

#3. Orang yang narsistik

Narsis diartikan sebagai seseorang yang memiliki kepercayaan diri berlebih. Tentu media sosial sangat memfasilitasi orang-orang seperti ini. Namun, orang yang tergolong narsistik juga rentan mengalami FOMO.

Bagaimana Seseorang Tidak Terjerat FOMO?

Sebagai seorang blogger dan konten creator di media sosial. Alih-alih memanfaatkan media sosial, malah kita yang dimanfaatkan media sosial. Jika diberi pertanyaan bagaimana seseorang tidak terjerat FOMO, khususnya konten kreator seperti saya. Ada beberapa hal yang dapat lakukan, akhirnya saya bisa lepas dari jeratan FOMO, yakni :

#1. Tentukan tujuan

Media sosial dan blog adalah alat. Kalau kita yang mengendalikan alat, akan banyak dampak positif yang kita dapat. Namun, kalau jadi kita yang dikendalikan oleh alat tentu akan banyak dampak negatif yang didapatkan.
ADVERTISEMENT
Apakah ketika kita membuat media sosial sekadar "seru nih, ada sesuatu yang baru." Namun, tanpa tahu tujuannya apa.
Misalnya kita membuat tujuan kita ingin mendapatkan motivasi, memperluas ilmu, menebar inspirasi, sekadar diary atau mencari cuan lewat internet cepat?
Namun, kita perlu hati-hati jangan sampai kita terjebak dalam frasa mencari informasi.
“mendapatkan informasi yang banyak kan bagus.”
Aisyah juga menjelaskan dalam sesi siaran langsung tersebut bahwa semakin kaya informasi yang kita punya memang akan semakin banyak isi kepala kita. Pertanyaannya, apakah kita sanggup kita olah semua?
Analoginya, otak kita sebagai processor seukuran gelas, kalau hanya diisi informasi tanpa bisa diolah tentu isi informasi tersebut akan meluber.
ilustrasi pengguna media sosial (canva)

#2. Tentukan Lingkup Kepedulian Kita

Kembali lagi ke tujuan awal. Sekadar eksplorasi atau memperluas wawasan memang baik, informasi yang luas di area apa saja yang ingin kita ketahui?
ADVERTISEMENT
Apakah semua tema itu penting buat saya? Atau yang penting untuk saya hanya tema tertentu.
Kita perlu mengatur kurikulum buat diri sendiri. Mempengaruhi yang masuk ke lingkar kepedulian. Hal-hal yang di luar diri kita. Ada dan tidak ada informasi itu jadi kepedulian kita. Tentu hal yang kita pedulikan ini akan kita cari dan sering kita bicarakan.
Seperti saya lebih tertarik dengan parenting, parenting yang seperti apa. Parenting anak usia dini, remaja atau lainnya. Ataukah tema seputar hobi misalnya, masak saja. Kalau kita fokus dengan tema apa saja yang ingin kita ketahui tentu akan lebih tepat sasar, agar pengetahuan tersebut dapat diolah agar juga diamalkan.
Kalau sudah memiliki apa aja hal yang kita atur. Tapi ternyata masih reaktif dalam penggunaannya, maka kita perlu juga di set jadwal pemakaiannya.
ADVERTISEMENT

#3. Menjadi Pribadi yang Berkecukupan

Perasaan berkecukupan tentu pembahasannya ke mentality. Seseorang yang merasa cukup dan bahagia pada dirinya yang sekarang bukan berarti menjadikan seseorang itu tidak mau belajar dan tidak memiliki apa-apa. Hal ini tidak bisa dijabarkan sehitam-putih itu.
Ketika seseorang merasa cukup dan bahagia dengan dirinya dan hidupnya, sehingga ia menyadari betapa berharganya hidupnya. Salah satu bentuk syukurnya adalah belajar dan ingin menjadi lebih baik lagi. Ini bisa menjadi sebuah landasan yang kuat untuk kita tidak terjerat dalam FOMO. Jadi geraknya sebagai konten kreator dan blogger atas rasa syukur bukan sekadar ikut-ikutan.
Kacamata Dasar Mental Berkecukupan
Sebuah kacamata dasar yang disampaikan Aisya di pertengahan sesi untuk memiliki mental berkecukupan saat menggunakan media sosial adalah. “Apa yang tampil di media sosial orang lain itu bagus, belum tentu bagus di kita."
ADVERTISEMENT
Semua media sosial dan blog tentu menghadirkan sisi bagus dari pribadinya. Walaupun ada yang menghadirkan apa adanya, tapi jumlahnya tentu sedikit sekali.

Penutup

Ada anggapan bahwa dengan mengurangi penggunaan media sosial dapat mengurangi peluang FOMO. Namun, ibarat diet ketat dan diet dengan ahli nutrisi. Jika hanya mengurangi intensitas penggunaan media sosial tanpa mengetahui apa kebutuhan dan tujuan diri, itu seperti diet ketat dan menyiksa. Hal ini tentu berpeluang akan cheating asupan yang tidak baik untuk tubuh.
Sementara diet dengan ahli nutrisi dengan mengetahui apa kebutuhan atau tema yang ada di lingkup kepedulian dan tujuan kita menggunakan media sosial ibarat diet tepat dengan ahli nutrisi.
Terakhir, sebagai konten kreator maupun blogger dengan kita bersyukur atas diri dan merasa cukup dengan hidup bisa menjadi benteng pertama tidak terbawa arus FOMO.
ADVERTISEMENT
Semoga bermanfaat, salam. Shafira Adlina.