Beri Ruang Anak Papua Untuk Didengar

Cerita Masa Depan Papua
Cerita dan data tentang keberhasilan pendidikan dan pengembangan masyarakat di Tanah Papua
Konten dari Pengguna
9 Desember 2021 14:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cerita Masa Depan Papua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perihal Membaca
Siswa SD Dabolding, Oksibil mempelajari mata pelajaran sains, bahasa, matematika menggunakan kebun yang mereka kelola.
Anak SMP di Papua tidak lancar membaca? Mungkin perihal ini cukup mengagetkan didengar dalam dunia pendidikan kita, yang digadang-gadang sudah serba merdeka dan canggih. Perihal membaca, menulis, dan berhitung adalah aspek dasar yang mungkin pertama kali diajarkan kepada seorang anak untuk kemudian selanjutnya bisa membuka pengetahuan lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Usia rata-rata siswa SMP adalah 11-15 tahun dengan asumsi bahwa si anak tidak pernah tinggal kelas atau melompat kepada jenjang yang lebih tinggi. Di Papua, tidak jarang ditemui anak dengan usia 17 tahun berada di jenjang SMP kelas 7, dan dengan persoalan serupa: tidak lancar membaca.
Perihalnya dalam banyak bentuk; tidak mengerti jeda tanda baca, asing terhadap kosakata tertentu, atau bahkan tidak paham dengan bunyi yang terbentuk apabila dua huruf atau lebih bertemu.
Sebagai contoh, satu anak di Asmat kami temukan, telah lulus kelas 6 SD, kami lakukan tes kecil. Membaca. Anak ini lancar membaca huruf per huruf. B kemudian O kemudian L lalu A; tapi Ketika kami minta dia untuk membaca B bertemu O—dia terdiam sangat lama, matanya berkaca seperti panik dan ketakutan, tidak lama keluar kalimat “Aduh ibu, setengah mati baca….”
ADVERTISEMENT
Mungkin cerita begini banyak ditemukan oleh mereka yang bergerak dalam pelayanan Pendidikan di daerah pedalaman seperti Papua misalnya. Hal yang mungkin bagi seorang anak di kota menjadi perihal sederhana dan tidak berarti, karena sebelum usia sekolah mereka sudah akrab dengan huruf dan angka melalui permainan di tab atau gawai. Tapi di Papua, hal seperti ini—yang sebenarnya masif dan terlalu banyak kasusnya—seharusnya menjadi pertanda bagi kita semua; bukan saja pemerhati atau pegiat Pendidikan, tapi siapapun, untuk kemudian menyadari ada yang perlu diubah atau setidaknya dimodifikasi untuk anak-anak seperti ini. Pendidikan, jika memang ditujukan untuk mengubah dan menjadi pondasi kehidupan, tentu perlu ditilik lebih dalam mengapa persoalan semacam ini menjadi lingkaran setan yang tidak berhenti, malah menular.
ADVERTISEMENT
Apa yang salah? Sistemnya belajarnya? Sistem budayanya? Tenaga pendukungnya? Materinya? Atau jangan-jangan kesemuanya?
Banyak sekali kesempatan dalam irisan perjumpaan kami di tempat-tempat yang baru kami datangi, kami melihat bahwa ada dua kotak besar terpisah, yang seolah-olah tidak saling memengaruhi, yang seolah-olah saling menyerahkan tugas satu sama lain: Sekolah dan Rumah. Dalam beberapa kesempatan, kami mendapati kecenderungan orang tua yang kemudian serta merta menyerahkan seluruh tanggung jawab mendidik segala aspek dalam diri si anak kepada sekolah. Begitupun sebaliknya, ketika diluar waktu sekolah, segala perihal pendidikan si anak di luar sekolah diasumsikan ditangani oleh orang tua. Padahal kesinambungan keduanya berpengaruh.
Tempat tugas kami, di Distrik Ok Aom, Senin 27 September 2021, kami mengadakan pertemuan orang tua siswa SMPN Bulangkop, Ok Aom. Cukup mengejutkan karena dihadiri oleh orang tua dari distrik terjauh sekalipun. Pertemuan ini setidaknya pertama kalinya diadakan dalam kultur Pendidikan disana—karena mungkin pertama kalinya orang tua dilibatkan atau disadarkan bahwa mereka berhak sekaligus wajib terlibat dalam proses pendidikan anak-anaknya. Banyak kekagetan-kekagetan yang muncul dan mungkin pertama kali diberikan ruang untuk menyampaikannya: Orang tua ternyata tidak tahu bahwa Pendidikan anaknya tidak berjalan kemana-mana. Tidak juga sebatas lancar membaca dan menulis, apalagi pandai bernalar. Meskipun tujuan Pendidikan bukan hanya sebatas itu, tapi kemudian menjadi pertanyaan kenapa sekolah tidak bisa menjadi ruang yang bebas bagi seorang anak untuk dapat berpengetahuan. Mengapa sekolah tidak menjadi tempat yang menerima kondisi asli seorang anak—dan mengapa sekolah tidak mengusahakan untuk masuk ke dalam keakraban-keakraban yang mengelilingi si anak selama ini.
ADVERTISEMENT
Kemampuan anak-anak yang faktanya sudah SMP, memberikan kekagetan lainnya—bahwa dari hasil tes pemetaan siswa untuk pelajaran inti; Bahasa dan Matematika, ditemukan bahwa kemampuan mereka tidak lebih dari anak kelas 1 atau 2 SD yang baru mengenal alfabet. Perkenalan yang tidak akrab, karena kemampuan hasil perkenalannya dengan alfabet tidak digunakan dalam banyak kesempatan yang seharusnya rutin, yang seharusnya dapat meningkatkan kemampuannya menjadi lebih tinggi—mereka tidak punya buku untuk dibaca, mereka tidak dirangsang kemampuan berpikirnya, tidak terbiasa pada nuansa akademik yang menantang kemampuan bernalarnya.
Pertanyaan kemudian berkembang menjadi bola liar—salah siapa anak kami tidak tahu membaca?
Salah guru SD kah, salah anak kami kah? Salah kami kah?
Model pendidikan tradisional Papua menaruh sedikit banyak beban kepada seorang anak yang beranjak dewasa untuk meneruskan legacy—dapat berupa jabatan adat, tanggung jawab marga/fam, atau keterampilan-keterampilan bertahan hidup serta tanggung jawab dalam kehidupan sosial. Pendidikan dalam masyarakat Papua adalah inisiasi pertama seorang anak muda untuk mendapatkan skill tertentu untuk mendapat rekognisi secara adat. Skill ini tidak mungkin dimiliki tanpa terlebih dahulu menguasai konsep; seperti memanah, mendayung, berburu, dan kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelusuran pola pendidikan tradisional Papua ini dan melihat realita pendidikan kita yang diseragamkan sejak dari pusat, kita tidak bisa memungkiri bahwa anak-anak di Papua terasing dari pendidikan yang seharusnya membuat mereka semakin terang. Pendidikan seharusnya membawa anak-anak ini ke garis paling depan satu era yang semua orang bergerak menuju kesana—Globalisasi. Termasuk pula ikut bersama dengan anak-anak ini; aset daerahnya, bagaimana pendidikan membawa mereka mahir melihat dan mengelola apa saja yang potensial dari daerahnya. Tentu, yang paling utama menjadi titik awal sekaligus titik akhir adalah mempertahankan budaya dan identitasnya; kita bisa mengantar anak-anak ini menuju titik terdepan globalisasi juga menjadikan globalisasi lebih masuk akal bagi mereka adalah dengan aspek budaya dan mempertahankan identitas mereka.
ADVERTISEMENT
Perlu juga kita sadari bahwa pemecahan masalah kompleks di daerah dengan permasalahan sistematis seperti di Papua tidak dapat dipecahkan dengan pendidikan yang konvensional saja. Kalau bisa kita daftar apa saja yang membuat Papua tertinggal—tentu ketika kita bicara tertinggal, pendidikan menjadi variabel yang tidak mungkin dilupakan. Papua tertinggal karena aspek dasar dari perubahan dan perbaikan yaitu pendidikan; masih terjadi pengkotakkan maju dan belum maju, baik dan belum baik, modern dan belum modern—sehingga akar budaya dalam kultur tertentu (dalam hal ini Papua) tidak dapat menampakkan teknologinya. Ya teknologi—tidak pernah disadari bahwa pola kehidupan yang dianggap paling tradisional pun memiliki pencapaian teknologinya masing-masing. Hal ini juga berlaku dan mempengaruhi perihal sosial, cara mendidik, prioritas, dan kepemimpinan. Di luar hal itu, tentu ada faktor eksternal yang menyebabkan mengapa pendidikan Papua tidak secemerlang di bagian lain Indonesia; seperti Infrastruktur—sudah cerita lama bahwa kesulitan-kesulitan dan keengganan tenaga pendukung untuk membangun Papua adalah karena salah satunya perihal akses dan fasilitas. Mungkin tidak disadari juga bahwa pendatang adalah faktor yang cukup krusial dalam pengembangan daerah, bagaimana pendatang membawa ide dan sistem nilai baru, ‘memaksa’ percepatan pembangunan dalam banyak hal misalnya ekonomi, fasilitas, akses, dan tentu pendidikan.
ADVERTISEMENT
Pengkajian Budaya Papua dan Modernisasi
Kemudian hal yang mungkin sering dilalaikan dari pengembangan daerah adalah pengkajian. Baik dalam level pemerintahan maupun level akar rumput yang menyentuh pendidikan paling dasar sekalipun. Kita seringkali melupakan konteks dalam lapisan-lapisan tertentu. Misalkan, yang paling sederhana pendidikan secara seragam mengajarkan bagaimana laju kereta api dalam pelajaran Fisika kepada anak-anak pegunungan yang kemana-mana berjalan kaki. Atau pemerintah yang membangun infrastruktur atau mengembangkan SDA, bahkan pangan lokal yang sentralistik.
Siswa SD Dabolding melakukan riset pasar untuk mengetahui jumlah penjualan ayam di Oksibil
Apabila dalam kedua aspek ini Pengkajian dilakukan—ketimpangan-ketimpangan yang membuat Papua tertinggal mungkin dapat direduksi. Pengkajian ini dapat pula dipahami dalam ranah sains; sains menurut KBBI;
sains/sa·ins/ n 1 ilmu pengetahuan pada umumnya; 2 pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan sebagainya; ilmu pengetahuan alam; 3 pengetahuan sistematis yang diperoleh dari sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Pengertian ini menunjukkan bahwa pengkajian bergerak dalam ranah sains—hal ini diperlukan karena pada realitanya masyarakat asli Papua berada dimana budaya dan sains berada dalam posisi yang tidak simetris. Budaya dan sains tidak saling memberikan ruang—padahal sains dapat digunakan oleh budaya untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas ruang kehidupan, termasuk pendidikan dan segala yang mengikutinya. Sains, dalam konteks pengkajian dapat membantu untuk mampu menjelaskan fenomena aktual dan masa datang. Menjembatani budaya dan segala yang mereka miliki dalam konteks komunitas kemasyarakatan, apakah aspek tersebut relevan, adil, dan masih dapat diterima secara nilai oleh komunitas masyarakat yang bergerak ke arah globalisasi.
Kaitannya dengan pendidikan, pengkajian melihat titik pijak suatu kondisi aktual, lalu membantu menentukan akan mengarah kemana dan tujuannya apa. Misalkan, dalam konteks yang kami lakukan di Asmat, tidak akan kami tutupi bahwa banyak anak-anak di sana yang memiliki kemampuan akademik yang relatif lambat, dengan permasalahan yang rata-rata hampir sama di Papua, tidak lancar membaca, tidak memahami kosakata, ketidakmampuan mencerna konsep dan mengutarakan ide. Dalam ruang kelas yang formal, harus kami akui ini sangat sulit untuk membuat anak-anak ini dapat mencintai pengetahuan. Materi yang seragam dengan Jakarta dan sekitarnya, membuat anak-anak ini yang seharusnya akrab menjadi asing. Di satu titik kami menyadari, bahwa yang mereka punya saat itu hanya lumpur dan rawa. Lalu kemudian membuat kami berpikir bagaimana caranya lumpur dan rawa ini bisa bermanfaat bagi anak-anak ini menuju pengetahuan dan kebijaksanaan baru yang kemudian mempengaruhi cara berpikir dan cara mereka memandang dunia. Metode yang kami pakai, sederhana, tanamlah sesuatu yang paling banyak menghabiskan biaya dalam anggaran makanmu di asrama sekolah setiap hari; cabai, bawang, dan tomat. Proses yang dijalani semua ditangani bersama-sama oleh anak-anak, mengolah lahan, pembibitan, perawatan tanaman hingga survey pasar, business plan, pemetaan pangsa pasar, hingga penjualan. Meskipun dalam skala yang kecil, proses ini sangat krusial dijalani oleh mereka, ada banyak sekali aspek yang pada akhirnya terlibat dalam hal ini; mata pelajaran formal dan pokok, tentu saja terlibat seperti matematika, bahasa, sosial, dan sebutkan apa saja pelajaran formal di sekolah, terkait dengan ini. Kegiatan ‘bisnis kebun rawa’ ini, dalam spektrum yang lebih luas dapat memunculkan skill yang melampaui ‘target pokok’. Si anak tanpa didesain menjadi perlahan-lahan paham dengan praktik bisnis dan ekonomi termasuk dengan perencanaan dan perancangan strategi.
ADVERTISEMENT
Memang benar, pembelajaran yang seperti ini mengarah pada kecenderungan one-stop-studying, dimana rancangan kegiatan pembelajaran dapat mencakup banyak mata pelajaran. Konsekuensinya, kita harus menutup buku pelajaran perihal materi, dan hanya menilik kemampuan apa saja yang dipersyaratkan sistem pendidikan nasional untuk anak-anak seusianya.
Siapa Setapia?
Setapia Kalaka
“Saya ingin menjadi suster, karena guru-guru baik”. – Setapia 4 Oktober 2021, Bulangkop, Ok Aom, Kabupaten Pegunungan Bintang.
Terdengar sepintas apabila kalimat itu dibaca, terdapat kekeliruan atau ketidaksesuaian premis. Tapi bagi kami—mendengar ini adalah harapan besar untuk kami. Ketika mereka merasa bahwa ada guru-guru yang ia rasa baik dan mendorongnya dalam Pendidikan, setidaknya kami tahu bahwa yang perlu kami lakukan untuk bisa menumbuhkan harapan mereka adalah berusaha sebaik-baiknya menjadi baik—tanpa perlu diikuti oleh variabel-variabel lain yang mungkin tidak sanggup kami jangkau. Standar yang tidak tinggi bagi anak-anak ini untuk kembali berpengharapan menjadi hal yang patut direnungi, karena sedikit miris. Tentu kami tidak boleh memaknai perihal ‘baik’ yang dikatakan Setapia dengan sempit dan sederhana. Baik harus kami maknai sebagai: carilah segala cara baik untuk mendekatkan anak ini pada pengetahuan dan perubahan dalam dirinya.
ADVERTISEMENT
Setapia Kalaka
Namanya Setapia Kalaka, anak pertama dari 3 bersaudara. Ia anak yatim piatu. Asalnya dari Distrik Okbibab, sekarang ia bersekolah di Distrik Ok Aom, Kampung Bulangkop. Setapia sekarang kelas VII di SMP Bulangkop. Setapia bukan anak yang luar biasa jenius dalam hal sains atau bahasa, justru sebaliknya, ia istimewa karena ia sempat putus sekolah, hingga di jenjang sekolahnya yang SMP sekarang, ia masih belum lancar membaca.
Setapia atau anak dimanapun berhak memiliki imajinasi menjadi siapapun. Setapia ingin menjadi suster perawat—ketika ditanya mengapa? Jawabannya sederhana, “sa mau kasih obat sama orang-orang sakit disini, banyak anak beringus, sakit kepala, sakit perut”—ia melihat realita sekelilingnya, itu yang membuat ia kemudian mengimajinasikan akan menjadi apa ia.
ADVERTISEMENT
Sedikit banyak perihal soal ketidakmampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung menjadi hal yang kemudian membuat putus asa kami yang berjuang dalam Pendidikan. Timbul pertanyaan, “bagaimana bisa mencari pengetahuan global apabila membaca saja tidak bisa, seluruh proses berpengetahuan diandaikan hanya dapat diperoleh melalui proses formal membaca dan menulis; kedua hal ini menjadi syarat mutlak dan tunggal untuk seorang anak dapat berpengetahuan”
Makna baik yang dimaksud Setapia kemudian harus kami maknai dengan lebih dalam, dengan mengkaji. Mengkaji ia siapa, bagaimana budayanya, apa yang mengelilinginya, dimana letak ia berpijak dan dimana ia memulai. Mengumpulkan realita sebanyak-banyaknya, memaknai realita dalam konteks si anak, kemudian bagaimana itu menjembatani pada imajinasi yang ingin kita wujudkan di masa depan. Segala sesuatu itu dapat membantu kami dan Setapia sendiri untuk berkembang menuju pengetahuan baru dan perubahan baik, meskipun ia belum lancar membaca dan membuat seolah-olah terhalangi untuk menuju titik itu.
ADVERTISEMENT
Anak seperti Setapia ada banyak sekali—kebingungan karena tidak memiliki cukup ‘modal dasar’ untuk berpengetahuan, ditambah segala sesuatu yang diberikan padanya untuk diketahui adalah asing; yang kemudian makin mengasingkan dirinya dari pengetahuan.
Satu pagi, dalam pelajaran yang terlihat dan dirasa biasa-biasa saja, kami mengajak semua anak keluar kelas, gunung dan lapangan dengan banyak bunga liar langsung dapat ditemukan begitu keluar ruangan. Setapia dan teman kelasnya diminta mencari tanaman; syaratnya—tanaman harus memiliki bunga, daun, batang, dan akar serta ketika mencabut tidak banyak merusak tanaman lainnya. Perihal mudah bagi anak-anak ini, tanaman liar seperti itu adalah mungkin salah satu hal yang paling akrab dengan mereka. Semua sudah dapat, tempel tanaman itu di buku, identifikasi, dan masuk ke bagian paling seru: presentasi.
ADVERTISEMENT
Hal yang cukup mengejutkan bagi kami, anak seperti Setapia, yang di usianya tidak lancar membaca, mampu menangkap konsep dengan cepat, hanya dengan bantuan tanaman liar yang setiap hari ia lihat di halaman rumah atau lapangan tempatnya bermain.
Hal ini masuk akal, anak Papua tumbuh dalam spektrum budaya yang mengandalkan story telling; berpengetahuan tidak mensyaratkan membaca dan menulis. Model pendidikan tradisional Papua mengarah pada kecenderungan skill based education. Asalkan seorang anak menguasai skill tertentu; maka ia dikategorikan berpengetahuan. Mari kenali karakteristik itu terlebih dahulu untuk mengajak anak-anak ini berpengetahuan. Perihal membaca dan menulis serta berhitung; jika seorang anak telah jatuh cinta pada manisnya pengetahuan, ia akan mengejar apapun untuk memperluas itu. Entah membaca, menulis, ataupun berhitung. Antarkan ia—anak-anak seperti Setapia untuk mengejar pengetahuan dan perubahan baik dari titik dia berpijak. Jangan tarik mereka dengan paksa ke dalam spektrum yang kita kenal—modernitas mendadak yang dipaksakan dan diseragamkan, yang kita kira akan sesuai dan menjadi cara terbaik untuk anak-anak seperti Setapia.
ADVERTISEMENT
PENDIDIKAN INISIASI ALA ‘AP IWOOL’ DAN ‘JEW’
Kebudayaan di Pegunungan Bintang memiliki sistem pendidikan inisiasi yang disebut dengan Ap Iwool. Ap Iwool dimulai dari usia pendidikan dasar—karena berdasarkan logika fungsi yang sama, pendidikan dan pengenalan segala skill dan kemampuan untuk mencapai segala pengetahuan yang lebih luas dilakukan pada usia pendidikan dasar (6-11 tahun). Secara tradisional ternyata Ap Iwool memiliki kesepadanan fungsi dengan pendidikan modern. Dalam Bahasa Ngalum, Ap Iwool berarti sebagai rumah; rumah yang memiliki 4 tiang dan 4 tungku sebagai representasi marga. Memiliki kemiripan seperti di Suku Asmat, pendidikan inisiasi juga dilakukan di sebuah rumah adat bernama Jew yang mewakili suatu klan dalam rumpun adat tertentu dalam sistem kekerabatan di Suku Asmat.
ADVERTISEMENT
Dalam Ap Iwool setiap marga memiliki otoritas dan wewenang akses terhadap bidang keahlian vital dan krusial seperti berburu, pemanfaatan sungai, dan pengelolaan hutan. Tiap marga memiliki peran masing-masing dalam sistem kemasyarakatan mereka, oleh karenanya pendidikan yang diberikan pun sangat spesifik dan kontekstual. Pemberian pendidikan yang bertujuan mendapatkan skill tertentu dilakukan dalam pendidikan yang terbuka. Persoalan akan menjalankan peran apa sesuai dengan otoritas yang telah ditentukan atas masing-masing marga, itu perihal lain.
Apabila logika fungsi ini dianalogikan sebagai nafas pendidikan modern, seharusnya sistem yang dianggap tradisional ini dapat diterapkan untuk menjalankan pendidikan modern pada anak-anak yang memiliki titik berangkat dari sistem kemasyarakatan tradisional. Cara terbaik dan terdekat untuk mengantarkan seorang anak (Papua) kepada pendidikan modern adalah dengan mendidik menggunakan pola dan barang budaya mereka sendiri. Dalam pola pendidikan tradisional (di Papua) telah ada upaya tersirat yang kurang lebih compatible dengan world view seorang anak.
ADVERTISEMENT
Pelibatan tokoh adat dalam pembelajaran formal sebagai narasumber informasi, dan seluruh kegiatan sebagai metode belajar—berangkat dari asumsi bahwa guru hanya fasilitator yang penguasaan dan pengetahuan mengenai latar belakang budaya si anak justru sangat terbatas. Alasan yang sama juga berlaku pada pelibatan ahli tertentu pada pengkajian kegiatan besar seperti perkebunan, pertanian, peternakan, kesehatan—dengan asumsi bahwa kedalaman materi yang diperlukan oleh si anak secara komprehensif (tentu berdasar dengan kadar sesuai jenjang dan usianya) tidak dapat ditangani oleh gurunya. Keterlibatan multipihak dalam hal ini relevan dalam pendidikan modern—tapi juga sesuai dengan nafas pendidikan tradisional Papua yang skill based education, dimana satu marga atau klan akan mencari siapa saja orang yang paling mahir berburu, memanah, atau mendayung untuk dipercayakan mendidik anak-anak muda dari klan mereka, karena dengan kesadaran penuh bahwa kemampuan orang tua dari klan tidak cukup dapat menangani kebutuhan-kebutuhan atas keahlian tertentu.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, dari semua metode yang ada dan mungkin dilakukan pada pendidikan adalah bentuk sentuhan dan keseriusan, karena telah melihat bahwa seorang atau sekumpulan anak dari kecenderungan latar belakang tertentu membutuhkan metode yang tidak diseragamkan seolah-olah anak-anak ini adalah produk massal. Setiap anak butuh ruang untuk didengar.