Konten dari Pengguna

Jaket Kuning Universitas Indonesia, Kampus Impian Ibu yang Sukses Kutaklukkan

31 Agustus 2022 10:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cerita Santri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aku bersama Ayahanda Yusuf mansur di momen kelulusan.
zoom-in-whitePerbesar
Aku bersama Ayahanda Yusuf mansur di momen kelulusan.
ADVERTISEMENT
Aku seorang santri yang mondok di Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an Tangerang angkatan 12. Namaku Ahmad Zaidan Ifkar Hasbi. Orang-orang biasa memanggilku Ifkar atau Hasbi.
ADVERTISEMENT
Saat ini aku telah lulus dan Alhamdulillah dapat diterima di salah satu universitas terbaik di Indonesia, yakni Universitas Indonesia, jurusan Sastra Indonesia. Bagiku, pencapaian ini merupakan anugerah yang luar biasa dari Allah yang Maha Kuasa.
Kisah perjuanganku dimulai kala menginjak bangku SMA. Normal-normal saja. Seperti sekolah pada umumnya, aku dan santri lain berkesempatan memilih antara jurusan IPA atau IPS. Di sini, kedua orang tuaku mengarahkanku untuk mengambil jurusan IPA.
Sebenarnya aku tidak keberatan. Sedari awal aku menyanggupi menempuh jurusan eksakta itu. Namun seiringnya waktu, aku merasa makin kesulitan dalam mengejar pelajaran sekolah. Belum lagi ditambah beban menghafal Al-Qur’an dan kegiatan-kegiatan pesantren lainnya. Lubuk hati paling dalam pun mulai berbisik, “sepertinya salah ambil jurusan, deh.”
ADVERTISEMENT
Roda terus berputar. Sudah tidak ada jalan berputar. Sampai sebuah malapetaka yang menimpa dunia hadir. Covid-19 merebak di hampir seluruh belahan bumi. Setiap sektor terkena dampaknya, termasuk dunia pendidikan.
Kami, para santri, yang hidup di pondok terpaksa dipulangkan. Keputusan itu diambil Ayahanda Yusuf Mansur dengan para pimpinan Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an lainnya. Sebuah rilis dalam laman Youtube pondok kami menyiarkan keputusan yang dibacakan para pimpinan tersebut.
Sama seperti santri lain, aku pun bersorak gembira dengan kabar tersebut. Namun yang aku tidak sadari adalah betapa berdampaknya kejadian ini untuk proses pembelajaranku.
Sistem pembelajaran pun diubah sepenuhnya menjadi online hingga tahun ajaran baru bergulir. Artinya, kala itu aku sudah masuk kelas 11.
ADVERTISEMENT
Namun, malapetaka lain hadir dalam kehidupanku. Aku divonis terjangkit virus asal negeri tirai bambu tersebut. Alhamdulillah gejalaku tidak terlalu parah dan masa pemulihanku terbilang cepat.
Namun, aku dan orang tuaku masih belum yakin untuk mengirim diriku kembali ke pondok yang kala itu mulai menerapkan sistem hybrid dengan menurunnya angka penyebaran Covid-19 di Indonesia. Walhasil, aku baru masuk saat semester berikutnya sudah berjalan, setelah sekian bulan di rumah.
Walau belum kelas akhir, para ustadz dan ustadzah sudah mulai membicarakan perihal jenjang pendidikan berikutnya, mau itu kuliah, Akpol, IPDN, dan lain sebagainya. Kami diminta untuk mulai memikirkan tentang keputusan untuk masa depan itu.
Tentunya, Ayahanda Yusuf Mansur juga tidak bosan-bosan menyemangati kami mengejar cita-cita setinggi langit. Berbagai doa, sholawat, dan amalan selalu beliau ajarkan pada kami. Walau aku hanya mengamalkan sebagian, tidak kusangka hasilnya akan begitu luar biasa.
ADVERTISEMENT
Ketika liburan, kedua orangtuaku juga tidak bosan bertanya akan pilihan masa depanku. Mau berapa kalipun ditanya, tetap aku menjawab ingin masuk jurusan Sastra Indonesia. Kenapa? 5 tahun di pesantren membuatku memiliki hobi baru, salah satunya menulis dan membaca novel. Dari sana aku menemukan duniaku. Hingga akhirnya tekadku bulat untuk mengambil jurusan Sastra Indonesia.
Ayahku hanya mengangguk-anggukan kepalanya, membebaskanku untuk mengambil jurusan apapun yang kumau. Berbeda dengan ibuku. Beliau sebenarnya kurang setuju. Untungnya ibuku tidak sepenuhnya melarangku untuk menempuh jurusan ini. Tapi, aku harus memenuhi syarat yang ia ajukan: kuliahnya di UI. Dan semenjak itu, tidak bosan-bosannya aku memanjatkan doa agar bisa diterima di universitas impian ibuku itu.
Ikhtiar dan doa orang tua, kekuatanku menaklukan Universitas Indonesia.
Singkat cerita, sampailah aku di penghujung SMA. Alhamdulillah, aku mendapat kesempatan untuk mengambil SNMPTN, yang mana tes ini hanya bisa diikuti santri dengan nilai akumulasi selama sekolah yang memenuhi kriteria. Namun agak disayangkan aku tidak bisa memilih jurusan keinginanku, sebab Sastra Indonesia termasuk golongan jurusan yang bisa ditempuh oleh siswa jurusan IPS.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, bukan berarti aku ingin membuang kesempatan SNMPTN ku begitu saja. Aku pun mengambil jurusan Teknik Informatika di UIN Jakarta. Namun, takdir belum mempertemukan kami.
Walau bukan tujuan utamaku, aku sedikit kecewa dengan hasilnya. Namun justru aku semakin yakin bahwa rezeki dari Allah ada di balik almamater kuning Universitas Indonesia.
Tibalah waktu SBMPTN. Tentunya UI menjadi pilihan nomor satu ku. Namun, takdir belum mempertemukanku dengan tulisan lulus di sana. Malahan aku di terima di universitas ayahku dulu, Universitas Negeri Jakarta.
Sejujurnya dengan hasil tersebut aku sudah amat bahagia. Sekali lagi kami membuktikan bahwa seorang santri mampu bersaing dengan generasi muda lainnya, bahkan unggul, termasuk dalam seleksi menempuh studi di perguruan tinggi negeri. Bukan hanya aku yang bahagia, kedua orangtuaku pun turut bahagia mendengar kabar itu.
ADVERTISEMENT
Namun, ibuku tetap menyarankanku untuk mengikuti SIMAK UI, sebuah tes mandiri yang dilaksanakan UI sendiri. Awalnya aku ragu akan lulus ujian yang disebut-sebut sebagai ujian masuk kuliah tersulit tersebut. Namun, atas izin Allah, hasil yang kudapat jauh melampaui ekspektasi.
Ketika melihat hasilnya, aku langsung mengabari ibuku. Mendengar kabar dariku, senyuman penuh kebanggaan terukir di wajah beliau. Tak lama, derai air mata mulai menitik membasahi pipinya.
Hai, Kawan! Kita adalah Keluarga
Kala waktu kelulusan tiba, mungkin awalnya aku hanya menganggap teman-teman pesantrenku tidak istimewa. Hanya teman saja. Namun, setelah makan, mandi, tidur, dan benar-benar hidup bersama selama 6 tahun, kami menjadi lebih dari teman, kami adalah keluarga.
Tentunya, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Di hari terakhir acara perpisahan, air mata kami tidak berhenti mengalir. Deruan tangis juga mengiringi jabatan tangan terkahir kami. Entah kapan terakhir kali aku menangis seperti itu.
ADVERTISEMENT
Lalu, sama seperti yang telah berlalu, kamipun berpisah dan menempuh jalan masing-masing. Ada yang memutuskan untuk menetap di pesantren satu tahun untuk mengabdikan dirinya, ada juga yang langsung mengejar perguruan tinggi, mau itu dalam ataupun luar negeri.
Kami akan tetap menyatu dalam untaian tali silaturrahmi. Karena hanya jarak yang memisahkan dan tak pernah terputus dalam panjatan doa.