Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Mimpi yang Jadi Nyata di Balik Menyebalkannya Wisuda Online
2 Agustus 2020 19:45 WIB
Tulisan dari Cerita Santri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi saya, anak bukan hanya turunan biologis yang melekat tanggung jawab saya untuk memberikan nafkah, namun juga sebuah perjuangan. Perjuangan bagi dirinya, saya, dan istri. Walau tanpa paksaan, kita sebagai orang tua harus mengarahkan pada sesuatu yang baik. Karena itu, saya sekaligus mencantumkan impian pada diri anak saya.
ADVERTISEMENT
Sedih rasanya ketika melihat proses yang dilalui anak kita membuatnya letih bahkan sedih. Seperti saat pandemi ini. Anak mana yang tak sedih karena hasil perjuangannya menuntut ilmu di sekolah, 6, 9, 12, bahkan berpuluh-puluh tahun, tidak dirayakan? Tanpa rasa pamrih, memang layak jika akhir dari pendidikan itu dirayakan.
Namun apadaya, pandemi mengubah semuanya. Kalimatnya adalah mengubah, bukan menggagalkan. Tapi pasti tak semeriah ekspektasinya.
Hari Sabtu (27/6) sejak jam 9 pagi, kami menyaksikan tayangan video spesial. Video anak saya membaca Kalamullah. Latar videonya di salah satu ruangan di Gedung Ad-Dhuha, Pesantren Daqu Ketapang . Pesantren tempat anak saya belajar. Alhamdulillah, sejak awal jenjang pendidikan SD dia memang sudah dibiasakan membaca dan menghafal Al-Qur’an.
ADVERTISEMENT
“Bi, si abang kayak artis ya”, ujar uminya. Video itu adalah awal dari video lain yang akan ditampilkan. Serta, kebahagiaan itu bukan rasa satu-satunya yang kita rasakan.
Ternyata raut kesedihan masih kelihatan di wajah anak saya. Harusnya hari ini dia ngumpul bersama teman seangkatannya di sebuah ruangan dengan panggung yang meriah. Acaranya: perayaan kelulusan jenjang pendidikan mereka, apalagi kalau bukan wisuda. Karena pandemi ini, kita dipaksa kedaaan untuk menseremonisasi kegiatan sakral tersebut lewat video conference Zoom.
Anak saya, M Fakhri Alfadhil. Dia sulung dari 2 bersaudara. Tahun ini ia lulus SD. Yang membuat kelulusannya mahal adalah: ia lulus dengan setoran hafalan 30 Juz. Jadi, wajar jika kami sedih karena kelulusannya tak bisa dirayakan. Bukan mau pamer, tapi hal itu sebagai apresiasi bagi dirinya untuk terus menjaga hafalannya.
Ia anak yang spesial. Jauh hari sebelum mengenal Daqu dan berkeluarga, saya punya impian ingin punya anak yang Ahlul Qur’an. Saya juga fansnya Ustaz Yusuf Mansur. Dari beliau pula mimpi itu berasal.
ADVERTISEMENT
Qadarullah, saya sangat bersyukur bisa bersama istri saya. Dengannya, impian saya bisa terwujud karena kita satu frekuensi. Sejak istri saya hamil kita mulai cita-cita itu.
Saya lama tinggal di Jakarta, tapi masa kecil saya dihabiskan di Pesantren, sejak SD juga. Mungkin karena itu pula saya rela memasukkan anak saya ke pesantren sejak dini.
Seorang teman, Ustaz Taslim, beliau salah satu ipar dari Ustaz Yusuf Mansur. Karena itu juga saya bersyukur dia jadi salah satu murid saya di sebuah pesantren di Ciganjur. Saat itu ia diminta untuk jadi tim penerjemah Ustaz Yusuf, dialah saya diajak. Dari situlah salah satu mimpi saya bertemu idola, terwujud. Saya pun diminta beliau untuk tinggal di Tangerang agar lebih bisa banyak berkhidmat. Saya pikir beliau bercanda, ternyata beneran. Padahal melihat kondisi, rasanya kayak mimpi.
ADVERTISEMENT
Salah satu amalan yang beliau ajarkan adalah saling mendoakan. Pada dan oleh siapa pun. Alhamdulillah, dengan berbagai wasilah doa, terutama dari kakek dan neneknya, anak saya bisa masuk pesantren Ustaz Yusuf Mansur tingkat SD, namanya Shigor Putra.
Awalnya, anak saya sering saya ajak untuk melihat pesantren. Karena menurut psikologi, orang yang sering melihat sesuatu, suatu saat dia punya ketertarikan dengan hal tersebut. Begitu juga dengan Al-Qur’an. Meski belum bisa baca, saya sering kasih dia dengerin murrotal Al-Qur’an lewat rekaman audio. Karena ini juga jadi bentuk pemaksaan impian yang tidak dipaksakan. Hahaha. Karena kalau kita maksa, pasti dia juga ga akan mau.
Kita paham betul bahwa pendidikan pesantren itu sangat mendidik kita untuk mandiri, enggak hanya karena jauh dari orang tua tapi juga secara mental dan jiwanya. Di tahun 2017 dia mulai masuk pesantren. Dia masuk kelas 3, karena di kelas 1 dan 2 saya dan istri juga masih belum tega.
Sebelum masuk pesantren, kami ingin dia punya modal. Karena itu di Madrsah Ibtidaiyah dia sudah punya hafalan juz 30. Ngafalnya sekaligus ngaji di TPA deket rumah. Dan itu lumayan susah karena bawaannya pasti pengin main, apalagi dia masih kecil.
ADVERTISEMENT
4 tahun dia sekolah dan setiap hari saya ga pernah putus harapan dengan mimpi itu. Ustaz Yusuf Mansur dan semua guru saya pernah ngajarin kalau kita yakin, apalagi buat kebaikan pasti Allah kasih.
Suatu hari di awal-awal dia duduk di kelas 6, saya ditelfon oleh pengajar Shigor. Dengan semringah dia bilang kalau anak saya sudah menyelesaikan setoran hafalan 30 juz. Saat itu juga saya sujud. Dari punya modal juz 30 sekarang dia hafal 30 juz. Allah…
Dan acara wisuda itu, bagaimanapun bentuknya, sangat berkesan buat kami. Bukan karena dia sudah selesai belajar tapi karena artinya dia akan melanjutkan lagi berpetualang dengan Qur’annya. Target 6 juz yang ditetapkan dia lampaui bahkan hingga selesai. Lambat laun saya makin paham bahwa motivasi yang buat anak saya jadi semangat belajar. Karena motivasi akan meningkatkan percepatan anak dalam belajar.
ADVERTISEMENT
Saya tau mimpi itu ada tahapannya. Karena itu kami enggak mau berhenti sampai sini. Kami tawarkan anak saya masuk melanjutkan pesantren di Daarul Qur’an, tapi dia menolak. Kami kaget. Tapi, ternyata dia hanya mau masuk pesantren selain di sana, bukan tidak ingin pesantren lagi. Alhamdulillah.
Kami terus berharap untuk menjadikan dia pejuang di jalan Allah lewat hafalan Qur’annya. Seseorang yang ‘alim dan mengamalkan ilmu yang didapat. Bohong kalau hafal Qur’an dan memahami maknanya tapi ga ngamalin.
Kami juga mengarahkan dia untuk menguasai ilmu lain sebagai syarat jadi muslim yang tangguh. Kami selalu mulai dengan pertanyaan “maunya jadi apa?” Sekali lagi, tanpa paksaan dan dengan dasar pemahaman agama yang baik.
ADVERTISEMENT
Cita-cita itu yang akhirnya membawa dia untuk kami sekolahkan di salah satu pesantren di daerah Sepatan, Tangerang. Pesantren tahfiz dengan fokus keilmuan wirausaha. Insya Allah, dengan harta yang dihasilkan dia bisa membuat peradaban Qur’an dan kemajuan umat Islam.
Tidak ada kata terlambat menaruh mimpi pada anak, dan ga ada salahnya selama dengan jalan yang Allah ridai. Sebagai orang tua, jika ingin punya anak yang hafal Al-Qur’an dengan segala impian yang membuntutuinya tentu kita juga harus perbanyak diri kita berinteraksi dengan Al-Qur’an.
“Biar bisa ngasih mahkota. Kalau mau ngafal Qur’an jangan pernah menyerah”, kata Fakhri di suatu waktu saat saya tanya kenapa dia masih mau menghafal Qur’an.
Pada akhirnya, wisuda memang hanya sebuah seremoni. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana sebuah acara menjadi momen yang bisa meningkatkan taqwa pada Yang Maha Kuasa. Hingga tibalah di akhir acara. Laptop yang tertutup di hadapan kami menyimpan begitu banyak hikmah yang kami pelajari hari itu.
ADVERTISEMENT