Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Nafi'i bin Abdurrahman, Mantan Budak yang Menjadi Imam Qurro
8 September 2020 20:16 WIB
Tulisan dari Cerita Santri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Imam Qurro pertama yang kita akan sekilas berkenalan dengannya adalah Imam Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Madani. Ulama kelahiran tahun 70 Hijriah ini mulanya adalah seorang budak yang selanjutnya menjadi imam qurra’. Kiranya, kita mendapati bukti bahwa kesungguhan (dalam belajar dan segalanya) benar-benar hanya menghantarkan pelakunya kepada kemuliaan. Juga mendapati bukti bahwa kemuliaan selalu dapat diraih dengan kesungguhan. Beberapa informasi terkait syakhshiyyah Imam Nafi’, di antaranya adalah apa yang tersebut berikut:
ADVERTISEMENT
Yang tersebut di atas adalah ungkapan terkait kahanan Imam Nafi bin Abdurrahman, yang dapat kita temui pada bait ke 25 kitab Hirzu al-Amaniy wa Wajhu al-Tahaniy atau yang lebih popular dengan sebutan Nazhm Syatibiyyah karya Abu Muhammad al-Qasim bin Fiyruh bin Khalaf bin Ahmad al-Syatibi al-Andalusiy (w. 590 H). Selanjutnya Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Yusuf ibn al-Jazari (w. 833 H) memberikan tashawwur kahanan Imam Nafi dengan menyebut bahwa secara fisik Imam Nafi berkulit hitam, berwajah menawan, penuh wibawa, dan berpadu padan dengan budi pekerti luhur. Lalu dilengkapi dengan tutur kata yang halus.
ADVERTISEMENT
Perihal aroma wanginya yang selalu semerbak, diinformasikan bahwa suatu ketika seseorang mengajukan pertanyaan kepadanya: “Wahai Abu Ruwaim (salah satu nama julukan Imam Nafi’), di mana pun engkau duduk, kenapa tubuhmu begitu harum semerbak?. Apakah engkau mengenakan wewangian wahai guru?”. Mendengar pertanyaan itu, Imam tersenyum lalu menjawab: “aku tidak mengenakan wewangian apa pun. Namun pada suatu malam, aku mimpi berjumpa Nabi Muhammad saw. Beliau membacakan Al-Qur’an tepat di mulutku. Semenjak itu mulutku menyemburkan semerbak harum tubuh Kanjeng Nabi Muhammad saw, di mana pun aku berada”.
Imam Nafi’ mengaji Al-Quran kepada setidaknya 40 ulama Al-Quran yang ada di zamannya. Bahkan tersebut bahwa Imam Nafi’ memeroleh sanad Al-Quran dari 70 tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi). Untuk menyebut beberapa guru Imam Nafi’ adalah Abi Ja’far Yazid bin al-Qa’qa, Syaibah bin Nishah, Abdurrahman bin Hurmuz al-‘Araj, dan Muslim bin Jundub.
ADVERTISEMENT
Setelah mengaji kepada sekian banyak guru Al-Quran, Nafi’ melakukan kerja-kerja seleksi dengan amat cermat terkait bacaan-bacaan yang sama di antara para gurunya, seraya meninggalkan bacaan yang berbeda. Hasil dari ikhtiar keras ini pada tahap selanjutnya menghasilkan pakem atau kaidah yang khas dalam qira’at Al-Quran. Akhirnya, oleh generasi sesudahnya kaidah khas dalam qira’ah Al-Quran yang dihimpun oleh Imam Nafi’ umum dikenal sebagai qira’at Nafi’.
Di antara pesan Imam Nafi’ kepada kita, terkhusus kepada pelajar Al-Quran adalah bahwa ia tak kenan hati mengajarkan Al-Quran dengan tergesa-gesa. Sampai-sampai satu ketika, tatkala ada seseorang yang menghendaki agar memercepat bacaan Al-Quran yang ia ajarkan, beliau memberi pengingat: “wahai saudaraku, kita tak patut merusak i’rab Al-Quran, tak patut meringankan bacaan yang syiddah, tak patut memanjangkan bacaan pendek dan sebaliknya. Bacaan kita tak memersulit makhraj, bacaan kita adalah mudah. Aku membaca di hadapan para sahabat Nabi dengan sebaik-baik lughah dan sefasih-fasihnya. Bacaan guru-guruku sesuai dengan yang dibaca oleh Rasulullah saw”. Terkait hal ini, Ibnu Mujahid berkomentar bahwa Imam Nafi’ sangat kuat mengikuti jejak teladan para ulama pendahulu.
ADVERTISEMENT
Di sebutkan pada bagian terdahulu, bahwa setiap qiraat, antara satu dan lainnya memiliki kekhasan masing-masing. Untuk sekadar menyebut beberapa kekhasan dalam qiraat Imam Nafi misalnya perihal mim shilah, bacaan taqlil dan imalah, perubahan bacaan ketika ada dua hamzah dalam satu kalimat, digantinya huruf ya (ي) menjadi hamzah (ء) pada kalimat al-Nabiy (النبي) dan kekhasan lainnya.
Ketokohan seseorang, biasanya juga tampak dari para muridnya atau para santrinya. Terkait ini, untuk menyebut dua saja dari santri utama Imam Nafi’ adalah Qalun Isa bin Mina bin Wirdan dan Warsy Utsman bin Sa’id. Pasca wafatnya Imam Nafi’, Qalun dapat disebut sebagai pewaris atau penerima tongkat estafet pengajaran Al-Quran dan qira’at Imam Nafi’ di Madinah. Karenanya, banyak para pencari ilmu baik dari Madinah maupun luar Madinah yang berguru dan mengaji kepadanya.
ADVERTISEMENT
Diinformasikan, Qalun memiliki keterbatasan kemampuan mendengar. Namun Allah menganugerahinya kemampuan mendengarkan bacaan Al-Quran dengan sangat baik. Saat mengajar Al-Quran, ia akan mampu melihat kesalahan muridnya “hanya” dengan melihat gerak lidah muridnya, lalu mengoreksinya. Demikianlah Isa bin Mina, santri Imam Nafi’. Mendapat julukan “Qalun” dari gurunya sebagai pujian atas keindahan dan ketepatan bacaan Al-Quran-nya.
Selanjutnya, santri utama kedua Imam Nafi’ adalah Warsy yang sangat masyhur di Mesir di zamannya. Warsy bukanlah nama aslinya. Nama aslinya adalah Utsman bin Sa’id. Warsy disebut merujuk kepada jenis makanan terbuat dari susu. Disandarkan kepada Utsman bin Said karena kulitnya sangat putih laksana susu. Informasi lain menyebut, nama Warsy disematkan oleh Imam Nafi’, gurunya, sebab Utsman memiliki suara merdu dan indah laksana burung warsy.
ADVERTISEMENT
Bermodal kesungguhan, ketekunan, dan keindahan bacaan Al-Quran-nya, Warsy diijinkan gurunya untuk pulang kembali ke Mesir guna mengajarkan Al-Quran, padahal Warsy berguru kepada Imam Nafi’ dalam tempo yang singkat. Kemampuan Warsy yang luar biasa, menjadi daya tarik bagi para santri Imam Nafi’ lainnya. Jika Qalun wafat di tahun 220 H pada usia 100 tahun, maka Warsy wafat di tahun 197 H pada usia 87 tahun.
Perkenalan dengan Imam Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Madani ini, akan kita sudahi dengan mengutip bagian ayat pertama Q.S. Al-Anfal [8], sebuah potongan ayat Al-Quran yang menjadi wasiat terkahir Imam Nafi’ menjelang wafatnya di usia sekitar 99 tahun. Ayat Al-Quran yang sangat penting untuk selalu kita pegangi selamanya:
ADVERTISEMENT
Untuk Imam Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Madani, dan untuk semua guru kita, serta untuk semua santri Quran, al-Fatihah…
Wallahu a’lamu..
Ditulis oleh Muhammad Bisyri, Direktur LSP Daarul Qur’an.