Pernah Nekat Kabur dari Pesantren, Kini Jadi Kandidat Ketua OSDAQU

Konten dari Pengguna
30 September 2021 9:54 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cerita Santri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sosok Caca yang pernah nekat kabur dari pondok.
zoom-in-whitePerbesar
Sosok Caca yang pernah nekat kabur dari pondok.
ADVERTISEMENT
Siang itu Caca berjalan ke arah gedung belakang pesantren yang kebetulan sepi. Langkahnya dipercepat menyusuri area persawahan, melewati ilalang dan tanaman yang lebat.
ADVERTISEMENT
"Intinya, Caca mau pulang," gumamnya tanpa berfikir panjang.
Langkahnya terhenti ketika mendengar seseorang memanggilnya dari arah pesantren.
"Ca... Caca !"
Ia mengenal sumber suara itu yang tak lain adalah Fristi, Ketua Organisasi Santri Daarul Qur’an atau OSDAQU, Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Malang, waktu itu. Namun, Caca tak bergeming. Ia kembali melanjutkan langkahnya.
"Ibu, maaf, apa ibu lihat seorang perempuan lewat sini barusan?" tanya Fristi ke seorang ibu petani yang kebetulan ditemuinya di area persawahan.
"Ada nduk, tadi berjalan ke arah sana," tunjuk ibu itu mengarah ke area persawahan yang agak jauh dari pesantren. Spontan Fristi berlari menuju arah yang ditunjuk sang ibu.
“Caca… Caca, Caca ayo kembali…"
Berulang kali Fristi memanggil nama tersebut. Pandangannya berkeliling mencari sosok perempuan yang selalu bercerita kebosanannya di pondok hingga berani melakukan hal nekat ini. Fristi berteriak sambil terisak. Ia sangat sedih akan kelalaiannya menjaga temannya.
ADVERTISEMENT
Sang pemilik nama yang sedari tadi dipanggil-panggil terdiam merenungi tangis temannya dari kejauhan. Ia ingat Fristi adalah teman yang selalu mendukungnya, mendengar semua ceritanya dan memberikan motivasi dalam hidupnya. Tak kuasa melihatnya, akhirnya ia berjalan kembali ke arah pesantren menemui temannya itu.
Caca semakin yakin kalau Fristi adalah anak yang baik, mandiri dan pandai. Caca ingin menjadi sepertinya. Kejadian ini membawa Caca kian teguh untuk maju menjadi kandidat Ketua OSDAQU, melanjutkan langkah Fristi.
Bersama sang rival, Rani.
Caca lahir dan besar di Probolinggo, Jawa Timur. Kota yang berjarak sekitar 113 km dari tempanya mondok saat ini, di Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Malang, yang berlokasi di Kecamatan Karang Ploso, Malang, Jawa Timur.
Nama lengkapnya Nasywa Syalomahayu Putri Handoyo. Masuk pondok di usia 11 tahun pada jenjang SMP, perjalanannya kini sampai pada masa persiapan menghadapi pemilihan Ketua OSDAQU sebagai calon Ketua, berdampingan dengan wakilnya, Nur Adzelina atau Lina, menghadapi sang lawan, Maharani Putri Aurantifelia Adjie Saputro, santri asal Bali yang juga teman sekelasnya. Lawannnya itu berpasangan dengan seorang santri bernama Nafia Mumtazia.
ADVERTISEMENT
OSDAQU merupakan organisasi santri di internal Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an yang mengurusi berbagai bidang terkait keseharian santri di sekolah maupun asrama. OSDAQU juga mengakomodir berbagai kegiatan baik even maupun lomba, baik hubungan internal maupun ekternal para santri. Organisasi ini layaknya OSIS di sekolah umum. Begitu banyak tanggung jawab yang diampu membuat posisi Ketua OSDAQU begitu strategis lagi sakral.
Kisah Caca di Pesantren Daqu Malang bermula dari permintaan sang ibu. Permintaan tersebut membuat Caca berfikir;
"Mau jadi apa Caca di tempat kuno seperti itu?"
"Tempat yang kuno, kurang update, membosankan."
Berbagai alasan penolakan ia lontarkan pada sang ibu yang ingin anaknya memiliki masa depan cerah dunia akhirat. Namun, naluri ibu selalu mengerti yang terbaik untuk buah hatinya. Tak henti-hentinya ia berdoa dan memberi semangat serta nasihat pada Caca.
ADVERTISEMENT
"Tidak apa nak. Tidak ada salahnya untuk mencoba dulu. Mama ingin kamu mempunyai masa depan yang cerah, punya pendirian yang kuat, belajar mandiri. Nanti kalo memang Caca belum bisa, boleh kembali," tutur sang ibu.
Caca pun luluh. Ia berdamai dengan penolakan dirinya dan bersedia mengikuti seleksi tes masuk Pesantren Tahfizh Daarul Qur'an Malang.
Tibalah waktu pelaksanaan tes masuk pesantren. Bermodalkan hafalan yang masih “satu-dua ayat” dan bacaan yang masih “pas-pasan”, ia memberanikan diri mengikuti seleksi.
Setibanya di lokasi tes, pandangan Caca berkeliling melihat banyak peserta lain yang sibuk menyiapkan hafalan. Hatinya mulai gundah melihat semangat peserta lain, sedang dirinya memilih pasrah apapun hasilnya nanti.
Dengan perasaan putus asa dia mendekati lalu memeluk ibunya, berharap rasa cemasnya mereda. "Tidak apa nak, yang penting Caca sekarang berusaha semaksimal mungkin. Untuk hasilnya kita pasrahkan kepada Allah SWT," ujar sang ibu.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya tangis haru terukir di wajah orangtua Caca, terlebih sang ibu, yang mendengar kalau anaknya berhasil lulus seleksi. Ia pun bisa merasakan yang diinginkan semua orangtua kepada anaknya, yakni punya buah hati yang hafal Qur’an.
Caca tidak mau masuk pesantren karena dianggap kuno dan membosankan.
12 Juli 2020, kali pertama Caca menginjakan kaki di pesantren berstatus santri. Ditemani keluarganya, tangisan disertai kalimat penolakan untuk mondok kembali terlontar dari bibir Caca ketika keluarga akan berpamitan kembali ke Probolinggo.
"Semangat, Ca… papa yakin kamu bisa."
Kalimat dari sang ayah itulah yang masih teringat jelas di pikiran Caca, yang membuatnya memberanikan diri memasuki tempat yang sama sekali tidak pernah ia fikirkan.
Hari-hari pertama di pesantren entah sudah berapa tetes air mata membasahi pipinya, di saat belum satupun kawan ia miliki. Pulang, pulang dan pulang. Hanya itu yang difikirkannya. Halaqoh tahfidz hanya sekedar hadir. Caca juga enggan belajar KAIDAH DAQU, tilawah dan menghafal.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan kemudian saat banyak santri yang lulus KAIDAH DAQU dari satu halaqohnya, hati Caca mulai luluh. Ia juga ingin membuktikan kemampuannya di pesantren dengan memberikan kabar bahagia kepada ayah dan ibunya. Mulai saat itu ia berkomitmen menjadi seorang hafidz Qur'an.
Ternyata tidak seperti yang diharapkan. Perasaan ingin pulang kembali datang. Saat ia mulai bosan belajar dan mengahafal, godaan untuk kabur dari pesantren kerap menghantui. Bahkan tak jarang ia ceritakan keinginannya itu kepada teman-temannya dan juga ustadzah pengurus di pesantren.
Caca benar-benar merasa lelah, bosan, sedih dan kalang kabut. Pulang, pulang dan pulang masih saja menghantui jiwanya. Hingga akhirnya peristiwa kabur dari pesantren itu pun benar-benar terjadi.
Kepedulian Fristi kepada Caca ketika peristiwa kabur tersebut seolah menjadi titik balik bagi Caca untuk memantapkan hati di pondok. Ia akhirnya mau membuka diri. Satu per satu teman-teman seperjuangan mendekat.
ADVERTISEMENT
Kini Caca menjadi pribadi yang lebih antusias dan penuh rasa optimis. Bagi Caca, pesantren adalah keluarga baru yang selalu ada di kala suka dan duka. Memberikan banyak wawasan dunia akhirat. Mengajarkan arti sabar dan keikhlasan.
Caca juga aktif mengikuti berbagai kegiatan di pesantren. Dalam ekstrakulikuler, Caca bergabung dengan tim basket pesantren. Basket merupakan olahraga yang amat Caca gemari. Tak jarang ia berbagi ilmu seputar teknik kepada teman-temannya. Caca juga mengikuti ekskul Bahasa Inggris sembari terus memupuk keinginannya agar dapat melanjutkan kuliah di luar negeri.
Nyatanya keaktifan Caca di sekolah sudah bermula saat dirinya menginjak bangku SD. Ia pernah menjadi dokter cilik, lalu menjabat wakil organisasi Pramuka dan aktif dalam ekstrakurikuler tari daerah sampai mengikuti lomba menggambar dan mewarnai.
ADVERTISEMENT
Bekal tersebut ia bawa untuk maju dalam pencalonan Ketua OSDAQU. Di samping itu ia menjadikan pengalaman nekat kaburnya sebagai dinamo pelecut untuk “nekat” mengajukan diri memimpin organisasi yang disegani para santri di pondok tersebut.
Kedua calon Ketua OSDAQU siap tempur bersama pasangannya masing-masing.
Namun sebetulnya Caca tidak pernah menyangka akan menjadi kandidat ketua OSDAQU. Ditambah saat mengetahui kalau rivalnya adalah teman sekelasnya yang terkenal aktif berorganisasi, pintar serta punya banyak kelebihan. Sempat timbul perasaan pesimis dalam hati Caca.
"Kenapa saya?" berulang kali terbesit di benaknya.
"Semangat, Ca, yakin kamu bisa," berulang kali pula teman-teman dan ustadzah di pondok meyakinkannya
"Mungkin ini adalah cara Allah memberikan pelajaran baru untuk Caca, biar Caca jadi pribadi yang bertanggung-jawab dan lebih baik," begitulah pesan tambahan yang kerap terlontar dari orang-orang yang menyayangi Caca.
ADVERTISEMENT
Tentu hal tersebut membuatnya tambah semangat. Tapi, jangan lupakan Fristi. "Caca lihat Fristi jadi anak yang bijaksana, dewasa, dan bertanggung jawab. Mungkin dengan Caca belajar menjadi ketua OSDAQU, Caca bisa dapat banyak pelajaran," kata Caca yang begitu kagum oleh sosok seniornya di kepengurusan OSDAQU tersebut.
Berulangkali ia menyemangati diri sendiri melawan semua rasa putus asa. Tapi, kerapuhan tersebut tidak hanya ada pada dirinya, namun juga sang partner. Disinilah ia harus bertempur dengan keadaan hatinya. Pasangan ini tidak boleh layu sebelum berkembang. Caca pun mencoba terus mensupport partnernya.
"Ayo Lina kita harus semangat. Masalah terpilih atau tidak kita serahkan kepada Allah, yang penting berusaha semaksimal mungkin karena Allah. Ustadz serta teman-teman kita memberikan kita kepercayaan yang besar," ucap Caca, meski terasa getir sebab hatinya sendiri masih bimbang.
ADVERTISEMENT
Lambat laun rasa optimis akhirnya mendominasi kedua pasangan ini. Terkhusus Caca, sebagai calon ketua, ia mulai memikirkan apa yang akan dikerjakan jikalau terpilih kelak.
Yang paling utama ia ingin para santri bisa lebih mengembangkan bakat-bakat mereka. Banyak program yang bisa disusun. Pelatihan, lomba, even, parade, atau apapun bentuknya. Yang penting jangan sampai ada bakat santri yang tidak bisa dieksploitasi untuk mengharumkan nama Pesantren Daqu Malang.
Tak lupa program ibadah juga harus ditekankan. Salah satu keinginannya ialah membuat program Sedekah Jum’at di mana hasil yang terkumpul bisa diguanakan untuk kesejahteraan para santri.
Visi dan Misi pasangan Caca-Lina
Caca dan Lina tinggal menunggu waktu pemilihan yang akan berlangsung 8-9 Oktober 2021 nanti. Ikhtiar dan doa yang selalu dipanjatkan menjadi senjata pamungkas sebelum bertempur di medan perang.
ADVERTISEMENT
Kisah Caca yang mendekonstruksi pemikirannya bahwa pesantren itu kuno dan membosankan lalu merubahnya menjadi tempat membangun cita-cita dan tanggung jawab membawa pesan agar jangan pernah takut mencoba hal baru. Apalagi hal tersebut jelas kebaikannya dan berhubungan dengan keberkahan Allah dan iringan restu orangtua. Caca kini mampu membuktikan kalau ia sungguh-sungguh ingin menjadi hafizh Qur’an serta berprestasi di pesantren kepada keluarganya.
Diceritakan oleh: Hanalia Nur Lailatul Zahro, Santri Pengabdian Pesantren Daqu Malang, Alumni Pesantren Daqu Takhassus Banyuwangi