Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Relevansi Al-Qur’an
10 Januari 2022 11:28 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Cerita Santri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Abadi, terjaga, dan tidak dapat dirubah merupakan nilai absolut dari kemukjizatan Al-Qur’an. Tetapi akan muncul pertanyaan terkait konsekuensi dari kemukjizatan tersebut, terutama relevansinya terhadap zaman. Karena memang dunia ini terus berputar dan zaman terus berkembang. Maka dipastikan banyak peristiwa dan permasalahan baru yang muncul. Sedangkan Al-Qur’an yang dijadikan sebagai rujukan itu masih dalam bahasa yang sudah berabad-abad lamanya. Lalu kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan, apakah Al-Qur’an masih relevan dengan berbagai problematika zaman sekarang?
ADVERTISEMENT
Bermula dari "iqro", yang artinya "Baca, Membaca". Peristiwa ketika malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Muhammad di Gua Hiro. Tetapi dalam riwayat tidak dijelaskan di sana ada yang tertulis. Tak ada huruf, infografis atau teks aksara. Kenyataannya memang Muhammad sebagai penerima tidak bisa membaca dan menulis. Tetapi hal itulah yang menjadikan Al-Qur’an abadi dan terjaga di setiap katanya. Karena kitab suci merupakan firman-firman tuhan yang dituangkan dalam bahasa manusia.
Namun yang perlu kita pahami tentang Al-Qur’an adalah, setiap kitab suci memiliki dua dimensi, yaitu ideal immateril (mempresentasikan Tuhan) dan empirik materil (mempresentasikan manusia). Dengan karakteristik tersebut, Al-Qur’an mempersyaratkan adanya kompatibilitas. Maka dari itu, manusia butuh upgrading diri agar kompatibel dengan Al-Qur’an, sehingga dapat menemukan titik terang dalam menyelesaikan atau menghukumi problematika yang ada pada zaman sekarang.
Para ulama tentunya sudah membicarakan tentang keselarasan Al-Qur’an dengan zaman sekarang yang terus berkembang. Syekh Abdul Halim Mahmud begitu detail ketika membicarakan tentang perkembangan zaman. Beliau mengungkapkan bahwa zaman boleh berkembang tapi islam tidak. Syekh Abdul Halim Mahmud menjelaskan kesalahpahaman terhadap pemaknaan kata "berkembang". Dalam artian, tidak semua kata cocok jika disandingkan dengan kata “berkembang”. Jadi ketika kata berkembang disandingkan dengan islam, maka ada yang perlu dipertanyakan, yaitu apa yang berkembang (dari islam). Karena jika kata tersebut disandingkan dengan islam, ada beberapa konsekuensi terutama berkaitan dengan hukum dan Al-Qur’an sendiri sudah memberikan keputusan final tentang hukum-hukum Islam.
ADVERTISEMENT
Tetapi di antara para ulama ada yang memberikan konsep pemecahan masalah terhadap hukum-hukum tertentu yang belum pernah terjadi pada masa Al-Qur’an diturunkan, yaitu dengan cara menggunakan kejernihan akal dan ketajaman analisis pemikiran ilmiah untuk memahami dan mengembangkan dari sumber baku yaitu Al-Qur’an dan Sunah, lalu mengkorelasikan sesuai dengan tuntutan dan perubahan zamannya hingga bertemu benang merah masalah tersebut. Para ulama mengistilahkan proses tersebut dengan ijtihad. Hasil ijtihad atas dasar para ulama berupa fatwa, yang bersifat relatif, sementara, dan dhonni (pendapat yang beralasan kuat), bukan merupakan hasil keputusan yang mutlak.
Namun Al-Qur’an tetap menjadi prioritas utama dalam menentukan kebijakan hukum yang terjadi pada masa kini, karena memang ilmu Tuhan dalam Al-Qur’an itu teramat luasnya, seandainya air laut sebagai tintanya yang tak akan cukup untuk menulisnya. Bahkan Syekh Abdullah Sahl Attustariy dalam kitab Mafatihu Tadabbur Al-Qur’an mengungkapkan walaupun seorang hamba diberi seribu pemahaman pada setiap huruf dalam Al-Qur’an maka tidak akan sampai pada puncaknya kepada firman-firman Allah yang tersimpan dalam kitab-Nya, karena firman-firman-Nya adalah sifat-sifat-Nya dan sifat-sifat-Nya tidak terbatas.
Jadi tidak ada akhir dalam memahami Al-Qur’an. Karena sebenarnya ilmu Tuhan yang dituang dalam Al-Qur’an memang hanya Tuhan sendiri yang mengetahuinya secara utuh dan umat manusia sepanjang sejarah kehidupannya hanya bisa memahami sebagian dari aspek-aspek ilmu Tuhan sesuai dengan latar belakang budaya yang melingkupi hidupnya dan problematika kehidupan yang ada.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, ijtihad berfungsi sebagai sumber dinamika yang menerima perkembangan pemikiran yang menjadikan Al-Qur’an selalu relevan pada setiap zaman. Walaupun hasil ijtihad para ulama bersifat sementara dan relatif, tetap perlu dipegang selama belum ada pendapat yang lebih kuat lagi.
Ditulis oleh: Nizar Nurfadillah, santri Pesantren Tahfizh Daarul Qur'an angkatan 10 yang sedang menempuh studi Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.