Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten Media Partner
Ruang Hidup Masyarakat Sagea dan Kiya, Halmahera Tengah, Terancam Tambang
28 Agustus 2022 19:24 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Kehadiran PT FPM dinilai berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat di Desa Sagea dan Kiya, Weda Utara, Halmahera Tengah , Maluku Utara .
ADVERTISEMENT
Informasi yang diperoleh cermat, perusahaan pertambangan itu berencana membangun industri pengolahan nikel seluas 1.000 hektar di Sagea.
Akademisi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Masri Anwar, mengatakan lokasi industri PT FPM berada di antara Gua Bokimoruru dan Danau Legayelol.
"Rencana ini akan mengancam ekosistem karst Gua Bokimoruru, kebun masyarakat, hingga kelestarian lingkungan sekitar," ujar Masri kepada cermat, Minggu (28/8).
Padahal dalam SK Bupati Nomor 556/kep/382/2021 dan Peraturan Bupati Nomor 35 Tahun 2021, status Gua Bokimaruru sedang diusulkan sebagai kawasan bentang alam karst yang harus dilindungi.
Masri yang tercatat sebagai dosen hukum lingkungan UMMU ini, menuturkan bentangan karst sampai di kawasan perbukitan Danau Legayelol.
"Hampir semua karst di Sagea melindungi Gua Bokimoruru, sekaligus sumber kehidupan warga sekitar," ujar Masri yang juga warga Sagea ini.
ADVERTISEMENT
Adlun Fiqri, salah satu pemuda Sagea, mengungkapkan saat ini ia dan beberapa rekannya sedang berupaya, agar pemerintah mencabut izin operasi PT FPM.
Sikap yang digalakkan sejak 2015 itu bukan tanpa alasan. Gua Bokimaruru yang dikelola warga dua desa itu, memberi dampak ekonomi yang signifikan.
"Alhamdulillah, nilai ekonominya tinggi. Torang (kami) takut ketika perusahaan beroperasi, sungai Sagea yang bersih akan keruh," ujarnya.
Disamping itu, akan berpengaruh pada ekonomi masyarakat. "Orang so tara (tidak) datang lagi, karena kondisi gua so rusak," ucapnya.
Pemilik lahan perkebunan di Sagea, Supriyadi Sudirman, mengatakan saat ini pembebasan lahan sedang berlangsung. "Tapi ditolak mahasiswa dan masyarakat," tandasnya.
Menurutnya, izin perusahaan harus dievaluasi sebelum bicara kesepakatan harga. "Karena perusahaan diduga tentukan sendiri nilai tanahnya," katanya
ADVERTISEMENT
Apalagi, kata Supriyadi, jarak antara perusahaan dan perkampungan tak sampai 1 kilometer. "Beh, torang (kami) hancur bolo," tuturnya.
Ia bilang, ada 3 klasifikasi lahan yang ditentukan perusahaan. Pertama, lahan di kawasan pegunungan dipatok Rp 12.500 per meter.
Kedua, kontur lahan yang miring Rp 15.000 per meter. Ketiga, lahan datar Rp 20.000 per meter. Di sini, perusahaan diduga mengabaikan hak masyarakat pemilik lahan.
"Apalagi bukan cuma lahan kaplingan, tapi ada juga lahan perkebunan milik warga," sesal Supriyadi.
Pengurus Daerah Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Maluku Utara, Deddy Arief, menjelaskan tambang dalam konteks izin harus sesuai dengan komoditi.
Deddy bilang, jika dilihat dari sebaran bebatuan, wilayah Sagea dan Kiya adalah kawasan karst. "Di situ ada batu gamping," tandasnya.
ADVERTISEMENT
Tak Ada Kandungan Nikel di Sagea
Menurutnya, peta geologi sangat jelas bahwa batas kandungan nikel secara regional hanya sampai di Desa Gemaf. "Ini saya bicara saintek," tegasnya.
Dari Desa Gemaf hingga batas konsesi PT Weda Bay Nikel adalah batuan gamping. "Di Sagea ada karst," ujarnya.
Bagi Deddy, tidak semua batu gamping adalah karst, dan tidak semua gua adalah karst. "Ada klasifikasi," ucap Deddy menambahkan.
Deddy lalu memperlihatkan peta geologi. "TPEL-nya batu gamping. Tidak ada nikel," ucap Deddy. "IAGI siap memberi gambaran hingga solusi."
"Mari kita telaah untuk sama-sama selamatkan ini. Kita anggap saja IUP itu keluar karena mereka belum tahu fungsi karst," ujarnya.
Ia bilang, keberadaan karst karena Sagea memiliki air bawah tanah hingga perkembangan ornamen gua yang sangat sempurna.
ADVERTISEMENT
"Klaster karst di Sagea itu nomor satu, makanya IAGI ikut mendorong Gua Bokimoruru sebagai kawasan bentang alam karst," ujarnya.
Deddy memaparkan, untuk karst di wilayah Sagea, air mengalir pada celah rekahan dan cenderung dari bawah tanah.
"Tiba-tiba dapat air, hilang, dapat air, hilang. Karena nyungsep di bawah tanah. Kami menyebut sungai yang multibasinal," jelasnya.
Multibasinal adalah pola aliran sungai yang terdiri atas aliran-aliran yang terputus, tidak menerus, dan di antaranya terdapat cekungan tertutup.
Pola aliran multibasinal umumnya terdapat pada daerah yang disusun oleh batu gamping, dengan topografi karst seperti Sagea dan Kiya.
Deddy tak menampik kerusakan yang signifikan jika ada eksploitasi. "Air bawah tanah hingga ornamen karstnya akan rusak," katanya.
ADVERTISEMENT
Bahkan, potensi bencana cukup besar. Di mana, ketika hujan, banjir, hingga longsor, maka Desa Sagea dan Kiya akan terdampak.
"Habis semua itu. Karena aliran sungai yang seharusnya menyerap sudah tidak ada," ungkapnya.
Sejatinya, kata Deddy, IUP dikeluarkan berdasarkan potensi. "Nah, kalau potensinya bukan itu ya jangan nikel dong," ucapnya.
Ia menegaskan, syarat IUP adalah hasil kajian tentang potensi sumber daya alam. "Tapi sebetulnya, IUP ini keluar fungsinya ekonomi," katanya.
"Saya dikasih izin beli cengkeh, tapi kalau misalnya yang ada hanya pisang, gimana?," turur Deddy menganalogikan IUP.
Padahal, karst punya potensi jangka panjang yang tidak akan mati. "Tambang 30 tahun selesai, generasi selanjutnya jadi apa," ucapnya.
Sementara, Bupati Halmahera Tengah, Edy Langkara, saat dikonfirmasi terkait hal ini tak merespons. Panggilan masuk ke nomor ponselnya tak diangkat.
ADVERTISEMENT
Permohonan wawancara yang dilayangkan cermat ke nomor WhatsApp pun tak digubris, meski pesannya bercentang biru tertanda telah dibaca.