Ancaman Rusaknya Ekosistem Mangrove di Tidore

Konten Media Partner
16 Agustus 2019 15:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mangrove jenis rhizophora yang ditanam Komunitas Peduli Mangrove Kota Ternate di kawasan pesisir Kelurahan Rua, Kecamatan Pulau Ternate, Kota Ternate, Maluku Utara. Foto: Olis/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Mangrove jenis rhizophora yang ditanam Komunitas Peduli Mangrove Kota Ternate di kawasan pesisir Kelurahan Rua, Kecamatan Pulau Ternate, Kota Ternate, Maluku Utara. Foto: Olis/cermat
ADVERTISEMENT
Ancaman masih terus terjadi pada hutan mangrove di seluruh Indonesia. Penyebabnya, selain batang mangrove dijadikan kayu bakar, juga terjadi peralihan fungsi oleh berbagai pihak. Seperti pengembangan usaha di sebuah kawasan hutan kota mangrove di Rum Balibunga. Tentunya, pemanfaatan yang tidak tepat bakal menghancurkan ekosistem mangrove.
ADVERTISEMENT
Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, Rahmawaty, saat dikonfirmasi cermat, Jumat (16/8/2019), mengaku selalu monitoring setiap triwulan. "Kami lakukan wawancara," katanya.
Hasil wawancara, kata dia, sebagian warga mengaku mengambil kayu mangrove untuk dijadikan kayu bakar. "Katanya nyala api dari kayu mangrove itu paling bagus," ujarnya. Selain itu, lanjut Rahmawaty, batang pohon mangrove kerap dimanfaatkan sebagai obat kampung, atau dalam istilah lokal disebut 'rorano'.
"Jadi kebanyakan faktor kerusakan itu dari masyarakat sendiri. Selain itu ada juga faktor lain, yakni sampah laut. Akhirnya dengan sendirinya merusak ekosistem mangrove tersebut," katanya.
Tumbuhan mangrove di pesisir pantai Kelurahan Mafututu, Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Foto: Olis/cermat
Untuk di Pulau Tidore sendiri, DLH memfokuskan di Kelurahan Tosa dan Rum Balibunga. Faktanya, area mangrove di kawasan Rum Balibunga kerap dimanfaatkan oleh sebagian warga untuk pengembangan usaha.
ADVERTISEMENT
"Ada yang bangun depot bensin, dan usaha batu tela (bata). Padahal itu masuk kawasan konservasi. Kami sudah menyampaikan ke mereka, tapi alasannya itu, mata pencarian," katanya.
Sedangkan di Tosa, pada tahun 2017 DLH sempat melakukan rehabilitas atau penanaman kembali. Karena mangrove di wilayah tersebut mulai berkurang. "Faktornya ya itu tadi. Pemanfaatan kayu bakar dan sampah laut," katanya.
Saat ini, upaya rehabilitas telah dilakukan di pesisir Oba dan Oba Tengah. Di situ terdapat dua jenis yang ditanam. Salah satunya yaitu rhizophora. "Kalau yang satunya saya lupa. Tapi jenis yang paling banyak ditanam rhizophora. Karena akarnya rimbun," katanya.
Sedangkan bibitnya langsung dibeli di masyarakat sekitar. Mulai dari Desa Togeme, Tauno, Lola, dan Loleo. Anggarannya sebesar Rp 900 juta dari Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH DR) dari Kementerian Lingkungan Hidup. "Waktu itu jumlah yang ditanam sekitar 144.625 bibit. Dan masyarakat sendiri yang menanam," katanya.
ADVERTISEMENT
Ke depan, DLH berencana melakukan pengayaan dengan melibatkan Pemerintah Kelurahan. Termasuk dari Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Ake Lamo Ternate, serta Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara. "Karena mereka punya peta penyebaran," tandasnya.
Secara terpisah, Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Kota Tidore Kepulauan, Halis, kepada cermat menuturkan, persoalan mangrove kerap disalah kaprah. "Dikatakan rusak. Saya heran. Rusak bagaimana. Karena saya juga pernah mengajar soal mangrove," katanya.
Ia menjelaskan, jika luas area (penyebaran mangrove) kecil, maka tidak akan bisa dideteksi menggunakan citra satelit. Itu harus melalui survei langsung di lapangan. "Tapi selama ini Bapelitbang tidak pernah survei secara langsung, karena itu bukan tugas kami," katanya.
ADVERTISEMENT
Jika areanya luas, boleh memakai citra. Namun tidak seluruh daerah dapat tercover. Sebab biayanya mahal. "Kami bikin begitu, gambarannya nih, kami fasilitasi untuk daerah Gita dan sekitarnya, Payahe dan sekitarnya, tapi itu biayanya Rp 70 juta. Sementara daerah ini luas," katanya.
Bapelitbangda, kata dia, kerap menggunakan teknologi google art. Sayangnya, sistemnya mengupdate setiap 2 tahun. "Nah, masalahnya di situ. Jadi selama 2 tahun itu kami terlambat informasi. Kalau mau cepat pakai citra, itu pun terlambatnya 6 bulan," katanya.
Teknologi citra satelit sendiri disediakan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Dalam pemodelannya, terdiri dari resolusi tinggi, sedang, dan rendah. "Resolusi rendah gratis. Tapi setahun baru dapat hasil pemotretannya. Memang bisa menggunakan drone. Tapi bukan tugas kami. Itu tupoksi kehutanan provinsi," katanya.
ADVERTISEMENT
---
Reporter: Olis