Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Bahasa daerah di Maluku Utara mengalami keterancaman. Banyak hal yang membuat hal itu terjadi, salah satunya mulai minimnya para penutur jati.
ADVERTISEMENT
Hal itu diakui Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Gufran Ali Ibrahim, saat ditemui cermat, usai kegiatan Sinergitas Perlindungan Bahasa, yang digelar di Aula BPCB Maluku Utara, Kamis (13/6).
Sebelumnya dalam forum diskusi sinergitas itu, juga tampak hadir sebagai pembicara, yakni Kepala Kantor Balai Bahasa Maluku Utara, Syarifuddin, Kepala Bidang Sastra dan Bahasa Dinas Kebudayaan Ternate, Marlina Nawi, dan Kepala Seksi Pemerintahan Bappeda Ternate, Yakub.
Gufran bilang, bahasa daerah di Maluku Utara ini, memang sedang mengalami gejala ketergerusan. "Generasi penutur jati di Maluku Utara itu mulai tidak menggunakan bahasa ibu mereka, di kampung antara teman bermain dengan orangtua mereka," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, ada banyak sebab yang membuat bahasa daerah atau ibu mengalami ketergerusan. "Tapi sebab yang paling utama adalah orangtua penutur jati bahasa itu tidak lagi membiasakan penggunaan bahasa daerah di lingkungan rumah," katanya.
Ia mengatakan, selain itu, sikap ayah atau ibu dari anak-anak yang merupakan penutur jati bahasa itu, tidak lagi menggunakan bahasa ibu mereka, tapi memilih bahasa lain, seperti melayu Ternate sebagai lingua franca.
"Motifnya macam-macam, pertama mungkin karena anak-anak mereka bisa berkomunikasi dengan dunia luar, tidak hanya teman di kampung saja. Tapi di sisi lain, motif itu akan menggerus bahasa daerah atau ibu di lingkungan keluarga," ungkapnya.
Bahasa daerah di Maluku Utara, diakuinya jumlahnya bervariasi melalui beberapa data. Ada yang menyebut jumlahnya 28, 31, hingga 36 bahasa. Dari semua itu, menurutnya, semua nyaris mengalami gejala ketergerusan.
ADVERTISEMENT
"Faktanya ada beberapa bahasa daerah yang betul-betul sudah terancam punah. Seperti bahasa Ibo di Halmahera Barat dan bahasa Kao di Halmahera Utara," ucapnya.
Bahasa Ibo, dijelaskannya, tinggal empat penutur jatinya. Sementara bahasa Kao, para generasi muda jarang menggunakan bahasa mereka saat berbicara antar teman di kampung.
"Kalau boleh saya mengatakan secara hipotetis, bahasa daerah yang paling cepat tingkat ketergerusannya, pertama bahasa Ternate, kedua bahasa Tobelo, ketiga bahasa Kao, keempat dan kelima bahasa Makeang Luar dan Makeang Dalam, seterusnya bahasa-bahasa yang lain," jelasnya.
Ia mengaku, salah satu bahasa di Maluku Utara yang lambat tingkat kepunahannya adalah bahasa Tidore. "Banyak penutur bahasa Tidore yang masih memelihara bahasanya dengan setia. Jadi semuanya terpulang pada kesetiaan menjaga bahasa ibu di kampungnya sendiri," katanya.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan masalah tersebut, dari Pusat Pengembangan dan Perlindungan BPPB, pada 2019 ini fokus pada pemetaan bahasa di Indonesia Timur, yang meliputi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan NTT.
"Di tahun ini, bulan Oktober nanti kami akan luncurkan buku dan peta bahasa di Indonesia terbaru. Baik yang manual maupun digital. Nanti kedepan akan didorong dengan program revitalisasi dan konservasi. Tujuannya agar bahasa-bahasa yang terancam punah itu bisa terselematkan dari ancaman kepunahannya," pungkasnya.
---
Rajif Duchlun