Konten Media Partner

Cerita Sultan Ternate saat Doru Gam di Afe Taduma

4 Mei 2022 22:37 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sultan Ternate, Hidayatullah Sjah bersama Boki atau permaisuri saat mengikuti ritual Joko Kaha dalam prosesi Doru Gam atau menyapa rakyat di Afe Taduma, Pulau Ternate. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Sultan Ternate, Hidayatullah Sjah bersama Boki atau permaisuri saat mengikuti ritual Joko Kaha dalam prosesi Doru Gam atau menyapa rakyat di Afe Taduma, Pulau Ternate. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Sehari setelah salat idul fitri 1443 Hijriah, Sultan Ternate Hidayatullah Sjah menggelar doru gam di Afe Taduma, Pulau Ternate, Kota Ternate, Selasa (3/4).
ADVERTISEMENT
Doru gam adalah mengunjungi atau menyapa bala kusu se kano-kano--sebutan untuk masyarakat adat Kesultanan Ternate.
Dalam kesempatan itu, Sultan Hidayatullah mencoba mengangkat cerita asal mula Ternate terbentuk sebagai sebuah kerajaan.
Berawal dari 4 momole atau marga tertua di Ternate, yaitu Tabanga, Tubo, Toboleu, dan Tobona.
Dulu, kata Hidayatullah, jumlah masyarakat di Ternate masih sedikit. Seiring waktu, Ternate pun menjadi perhatian dunia.
"Itu setelah ditemukan cengkeh oleh Bangsa China yang diperdagangkan di kawasan Asia," katanya.
Dari situ, muncul kesadaran dari 4 momole bahwa perlu dibentuk sebuah lembaga untuk mengatur kehidupan masyarakat Ternate.
Maka dibentuklah kololamo dengan sistem yang masih sederhana. "Kesepakatan ini untuk mengatasi persoalan kemasyarakatan," katanya.
Sultan Ternate, Hidayatullah Sjah, memberikan sambutan di sela-sela prosesi Doru Gam di Afe Taduma, Pulau Ternate. Foto: Istimewa
"Waktu itu belum ditunjuk siapa yang harus menjadi sultan atau kolano," ucap Hidayatullah menambahkan.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, dinamika perdagangan mulai ramai dan berkembang ketika Ternate dihuni oleh para pendatang.
"Akhirnya 4 momole ini bersepakat mengangkat Cico Bunga atau Baab Masyur Malamo sebagai kolano Ternate yang pertama," katanya.
Hidayatullah mengaku saat ini sedang menggarap buku tentang sistem politik, atau cara kerja pemerintahan Kesultanan Ternate.
"Dalam buku itu saya tidak menyebut kesultanan, tapi saya lebih suka menyebut ke-kolano-an," katanya.
Sultan, menurut Hidayatullah, baru dikenal ketika terjadi interaksi dengan Bangsa Arab.
"Bahkan negerinya pun belum bernama Ternate, tapi Gapi. Negeri Gapi," jelasnya.
Sejalan dengan cerita yang berkembang, lanjut Hidayatullah, datang seorang keturunan Rasulullah SAW di Ternate bernama Syeikh Jafar Sadik.
Lantaran kedatangannya dinilai luar biasa, sehingga masyarakat Ternate kala itu menganggap sang syeikh sebagai diki amoi atau orang yang memiliki kekuatan luar biasa.
ADVERTISEMENT
Di Ternate, Syeikh Jafar Sadik diceritakan menikahi salah satu dari 7 putri penguasa Ternate bernama Siti Nur Syafa.
Hasil pernikahan dengan Siti Nur Syafa, lahir 8 orang anak. "4 laki-laki dan 4 perempuan," ungkap Hidayatullah.
Dari situ terbentuk sebuah kesepakatan 4 momole dengan sumpah jo ngon dada madopo fangare ngom alam ma diki.
"Bahwa kekuasaan ke-kolano-an Ternate diserahkan pada keturunan Jafar Sadik," terangnya.
Maka dalam sistem pemilihan Sultan Ternate tidak mengenal marga. "Karena sudah ada sumpah dari 4 momole tadi," katanya.
Lalu sturktur lembaga adat di Kesultanan Ternate pun berkembang, sehingga dibentuklah Komisi Ngaruha.
Sejalan dengan langkah Ternate memperluas syiar Islam di wilayah terluar, sehingga dibentuklah Bobato 18.
Sedangkan 4 momole dirubah menjadi Fala Raha sebagai sebuah penghargaan, dan dileburkan dalam struktur Bobato 18.
ADVERTISEMENT
"Di dalamnya, terdapat perwakilan dari luar yang menjadi pemangku adat di Kesultanan Ternate," jelasnya.
Hidayatullah bilang, perkembangan zaman turut memengaruhi pola pikir masyarakat, sehingga dipandang perlu untuk membentuk struktur.
Warga di Afe Taduma melakukan prosesi Oro Barakat dari Sultan Ternate Hidayatullah Sjah. Foto: Istimewa
"Banyak struktur yang baru dibentuk. Tentu tanpa mengurangi apa yang menjadi sumpah dari sultan ketika melantik seseorang," ujarnya.
Menurutnya, kolano atau sultan memiliki hak prerogative untuk membentuk struktur dalam rangka memenuhi kebutuhan zaman.
Dulu, kata Hidayatullah, tidak ada Kapita Kadaton atau Fanyira Kadaton.
Tapi Sultan ke 48, Mudaffar Sjah merasa perlu untuk mengangkat seseorang, yang bertugas menjaga kedaton.
"Maka diangkatkah Fanyira Kadaton dan Kapita Kadaton. Karena dinamika Kesultanan Ternate sangat dipengaruhi perkembangan zaman," jelasnya.
Hidayatullah mengaku berguru dengan ayahnya, Sultan Mudaffar Sjah, selama 10 tahun. "Saya dalami soal struktur Kesultanan Ternate," katanya.
ADVERTISEMENT
Di mana, Bobato 18 punya kekuasaan untuk memilih dan menolak. "Bahkan berhak memberhentikan sultan, dan itu pernah terjadi," tandasnya.
Ia bilang, Sultan Muhammad Ali yang membangun kedaton, pun putranya tidak mengantikannya. "Tapi jatuh pada saudaranya," katanya.
"Ini satu bukti, bahwa lembaga punya peran dan kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur kesultanan ini," jelasnya.
Hidayatullah pun bertekad mengembalikan kekuasaan lembaga, meskipun keputusan terakhir ada pada kolano.
"Tapi saran dan pertimbangan lembaga tetap saya dengar, kalau aku ua ya aku ua," ujarnya.
Menurutnya, peran seperti ini yang harus dipahami. "Bukan sepotong-sepotong atau katanya, katanya, katanya," tandasnya.
"Sekali lagi, kekuasaan di Kesultanan Ternate sudah diserahkan ke Ahlul Bait Rasulullah SAW, dengan sumpah 4 momole jo ngon dada madopo fangare ngom alam madiki," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Ia mengakui, banyak yang sempat bertanya soal kisruh pemilihan Sultan Ternate beberapa waktu lalu.
"Tapi saya bilang, dalam pemilihan Sultan Ternate pasti ada gonjang-ganjing," katanya.
Dinamika itu bahkan terjadi di masa kekuasaan kakeknya, Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah.
"Hingga berlanjut di ayah saya, Sultan Mudaffar Sjah. Dan itu hal biasa," tandasnya.
Sultan Ternate bersama perangkat adat Kesultanan Ternate dalam prosesi Doru Gam di Afe Taduma, Pulau Ternate. Foto: Istimewa
Berangkat dari pengalaman itu, Hidayatullah pun meminta Bobato 18 menyusun kembali aturan berdasarkan dinamika yang terjadi.
"Yang memungkinkan menjadi referensi adalah pemilihan Sultan Muhammad Djabir Sjah dan Sultan Mudaffar Sjah," tandasnya.
Ia menegaskan, tidak boleh berpatokan dengan pemilihan sultan di 600 tahun silam.
"Ini sudah berpatokan dengan 600 tahun lalu, baru salah lagi," tuturnya.
Ia berharap ke depan tidak ada lagi polemik. Karena keputusan Bobato 18 bersifat final dan mengikat.
ADVERTISEMENT
"Yang terpenting, mari kitorang sama-sama jaga kesultanan ini," pungkasnya.