Cerita Warga Santiong, Ternate: Bertahun-tahun Hidup Berdampingan dengan Kuburan

Konten Media Partner
6 Agustus 2020 10:47 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah rumah milik warga di Kelurahan Santiong, Ternate, yang berdekatan dengan makam. Foto: Rizal Syam/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah rumah milik warga di Kelurahan Santiong, Ternate, yang berdekatan dengan makam. Foto: Rizal Syam/cermat
ADVERTISEMENT
Sebuah pengukur tinggi badan melingkar di lehernya, matanya jeli menangkap setiap lipatan pada kain berwarna biru yang digelar di atas sebuah meja. Sebatang rokok kretek yang nyaris tandas terselip di sela jari tangan kirinya. Sementara tangan kanannya menggerak-gerakan sebuah gunting.
ADVERTISEMENT
“Awalnya saya biasa menjahit di Gamalama, tapi semenjak dibongkar saya pindah ke pasar yang dekat terminal. Tapi sewa tempatnya terlalu mahal, jadi saya putuskan bikin usaha di depan rumah saja,” ucapnya sembari sesekali menghisap rokoknya.
Persis di sebelah kiri dari tempatnya berdiri, terdapat sebuah bilik berukuran sekitar 3 x 2 yang salah satu sisinya tertulis “Sangkur Taylor”.
Torang (kami) tinggal di sini karena memang susah. Kalau punya kelebihan tentu torang su (sudah) cari tanah di tempat lain untuk bangun rumah,” tuturnya.
Ia adalah Upi, lelaki berusia 51 tahun yang selama bertahun-tahun hidup berdampingan dengan kuburan. Tepat di depan rumahnya, terdapat sebuah makam yang tampak tak lagi terurus. Pada salah satu sisi makam itu tertancap kaki-kaki sebuah bangku yang terbuat dari kayu.
ADVERTISEMENT
“Beliau yang dimakamkan di sini dulunya sering ke rumah. Ia perempuan hamil. Keluarganya tak pernah datang ziarah,” kata Upi.
Upi, warga yang pertama kali membangun rumah di kawasan Pekuburan China, Ternate. Foto: Rizal Syam/cermat
Sore itu, Rabu (5/8) cermat menyambangi rumah Upi yang terletak di kawasan Pekuburan China, Kelurahan Santiong, Ternate Tengah, Maluku Utara. Belakangan ini, kawasan tersebut mengundang banyak perdebatan. Pasalnya, sebanyak 102 Kepala Keluarga atau 421 jiwa yang sudah bertahun-tahun mendiami lokasi itu terancam angkat kaki.
Rumah-rumah yang berada di kawasan tersebut memang mayoritas merupakan bangunan semi permanen yang berdiri di sela-sela makam milik warga Tionghoa.
6 Juli 2020 lalu, sebuah yayasan bernama Yayasan Cahaya Bhakti mengeluarkan surat yang berisi perintah agar warga yang bermukim di tempat tersebut segera pindah. Hartono Tilan, ketua yayasan itu mengatakan, pihaknya memberikan waktu sebulan --sejak surat tersebut diterbitkan-- bagi warga untuk minggat. Namun dari pantauan cermat, tak terlihat adanya gelagat dari warga untuk pindah.
ADVERTISEMENT
“Kami tetap akan melawan, karena keadaan begini (susah). Mereka bikin kami ini seperti binatang, binatang saja ada kandangnya. Pemerintah harus berpihak pada masyarakat,” katanya.
Menurut penuturan Hartono, pihak yayasan memiliki surat bukti kepemilikan lahan itu, yakni dengan adanya tanda bukti pajak yang diterbitkan pada tahun 1917 atau istilahnya Eigendom Verponding.
Berdasarkan UU nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, eigendom wajib dikonversi menjadi dokumen hak atas tanah. Menyangkut apakah Yayasan Cahaya Bhakti sudah mengonversi dokumen tersebut, Kepala Badan Pertanahan (BPN) Kota Ternate, Achmad Ady mengaku pihaknya belum memiliki data.
“Mereka juga tidak serta-merta langsung mengusir, karena ini sama-sama tidak punya hak. Mereka hanya punya eigendom,” kata Upi.
ADVERTISEMENT
Budayawan Maluku Utara, Sofyan Daud, pernah berkisah tentang sejarah Pekuburan China yang identik dengan semangat toleransi warga Tionghoa di Ternate. Menurutnya, konon lahan Pekuburan China dan Pekuburan Islam yang lokasinya berdekatan itu pemiliknya adalah dua orang berkebangsaan China yang kemudian dihibahkan.
Mayoritas rumah yang berdiri di kawasan ini merupakan bangunan semi permanen. Foto: Rizal Syam/cermat
Kisah tersebut dibenarkan oleh sejarawan Unkhair, Irfan Ahmad. Menurut Irfan, penghibaan lahan itu terjadi pada tahun 1959. Pemiliknya adalah dua bersaudara bernama Nya Eng dan Nya Kem.
“Beliau berdua ini masuk Islam dan tidak menikah, sehingga banyak tanah waktu itu yang dihibahkan, termasuk tanah di Sigi Cim,” kata Irfan.
Santiong sendiri diketahui merupakan perubahan pelafalan dari kata 'sentiong', yang di dalam KBBI bermakna 'Pekuburan China'.
Menurut Yayasan Cahaya Bhakti, tanah milik mereka sebenarnya seluas 17 hektar, namun 10 hektarnya telah dihibahkan untuk tiga Kelurahan, yakni Santiong, Kalumpang dan Kampung Makassar. Sisa lahan 7 hektar inilah yang dihuni oleh Upi dkk.
ADVERTISEMENT
Upi sendiri mengaku sebagai orang pertama yang membangun rumah di kawasan tersebut. Ia membangun rumah di kawasan itu pada tahun 1996, beberapa saat setelah menikah. Sebelumnya, di lokasi tersebut hanya terdapat sebuah rumah usaha pembuatan pagar bowling, tempat Upi bekerja.
Sebelum mendirikan rumah, Upi mengaku sudah terlebih dahulu meminta izin kepada pihak kelurahan. Ia menolak anggapan yang menyebut bahwa warga di kawasan tersebut semuanya merupakan pendatang. Sebab ia mengaku sebagai warga asli Santiong. Rumah orang tuanya persis berada di depan rumah yang ia tinggal sekarang.
Serupa dengan Upi, Gazali Alting juga mengaku dirinya merupakan warga Santiong dan bukan pendatang. Lelaki yang berprofesi sebagai pembuat nisan ini mengatakan bahwa bapaknya adalah mantan kepala kampung Santiong. Setelah menikah, ia membangun rumah di perbatasan antara Pekuburan China dan Pekuburan Islam. Ia mengaku mendirikan rumah tersebut hanya berselang beberapa bulan saja setelah Upi membangun rumah.
Gazali Alting ketika bersantai di teras rumah Upi. Foto: Rizal Syam/cermat
Hidup bertahun-tahun berdampingan dengan kuburan sudah menjadi hal biasa bagi keduanya. Buat mereka, semenjak ramainya orang membangun rumah, kawasan tersebut tak lagi terkesan seram, tak seperti dulu.
ADVERTISEMENT
“Sekarang coba lihat, anak-anak kecil banyak yang bermain-main di dekat kuburan sampai malam. Kalau dulu jam 8 malam pun sudah tidak ada yang berani keluar rumah,” kata Upi.
“Di rumah saya, kalau ada tamu yang datang, sering melihat hal-hal mistis, tapi kami sendiri tidak pernah (melihat),” timpal Gazali.
Mendengar bunyi kereta yang kerap digunakan sebagai pengantar jenazah sudah menjadi hal biasa bagi keduanya.
Kendati merupakan warga asli Santiong, namun keduanya memang tak menampik ada juga tetangga mereka yang merupakan pendatang. Upi bahkan mengakui bahwa selepas tragedi kerusuhan yang melanda Maluku di tahun 1999 menjadi masa di mana mulai banyak yang membangun rumah di kawasan tersebut.
Sejumlah makam di kawasan tersebut tampak tak lagi terurus. Rerumputan tumbuh di dan sela-sela makam. Foto: Rizal Syam/cermat.
Ada satu hal yang terasa aneh di benak Upi dan Gazali. Keduanya mengaku, isu-isu tentang penggusuran selalu mampir tiap kali mulai dekatnya momentum politik. Pada Desember 2020 nanti, warga Kota Ternate bakal kembali memilih Wali Kota yang baru, sebab Burhan Abdurrahman, Wali Kota saat ini telah menjabat selama 2 periode.
ADVERTISEMENT
“Selalu saja begitu. Dulu pas pemilihan presiden dan legislatif pun begitu, ada keluar surat agar segera pindah. Bikin tra bisa tidur,” kata Upi.
Kini tidur Upi, Gazali, dan ratusan warga lainnya di kawasan itu masih belum nyenyak. Polemik dengan yayasan belum juga tuntas, dan ancaman untuk angkat kaki masih terus terbayang.
“Ya, torang berharap ada solusi dari pemerintah. Minimal perhatikan torang yang orang susah begini,” pungkasnya sembari menghembuskan asap rokok yang membuat asap nikotin berpilin-pilin di teras rumahnya.