Jejak Orang China dan Keberagaman di Ternate

Konten Media Partner
29 Januari 2020 14:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Klenteng di Ternate, Abad XIX. Sumber: Cengkeh.co/ koleksi Ahmaddeny Tuela.
zoom-in-whitePerbesar
Klenteng di Ternate, Abad XIX. Sumber: Cengkeh.co/ koleksi Ahmaddeny Tuela.
ADVERTISEMENT
Keberagaman tak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah Kota Ternate. Sebagai wilayah yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, Kota Ternate telah menjadi persinggahan pelbagai bangsa di dunia. Salah satu bangsa yang datang, hingga menetap di kaki Gunung Gamalama ini, adalah bangsa China.
ADVERTISEMENT
Menurut sejarawan Universitas Khairun Ternate, Irfan Ahmad, hubungan bangsa China dengan Ternate sudah sejak masa Dinasti Tang (618-906 Masehi). Semula para pedagang China itu, kata Irfan, datang secara diam-diam. Mereka bersembunyi di jalur-jalur menuju Maluku.
Irfan, dalam tulisannya di cengkeh.co mengatakan, dalam catatan sejarah, jauh sebelum keberadaan orang asing (Arab, Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris) tiba di Dunia Moloku (Maluku), telah tiba lebih awal orang China untuk melakukan perdagangan dan mencari keberadaan buah cengkeh.
Orang China menyebut buah cengkeh sangat bervariasi, diantaranya: Cheng Hui, Chi-She Hsiang, (lidah ayam), Ting Hsiang (benda mirip jarum), Ting Hsiang, Chian Che Ghianche, atau Chanque (Donkin, 2003).
“Saat itu, orang China melakukan proses perdagangan dengan cara barter dengan orang Maluku, atau menukarkan buah cengkeh dengan piring, mangkuk, dan kain sutera buatan China,” tulis Irfan.
ADVERTISEMENT
Irfan juga mengatakan bahwa pada masa VOC menguasai Nusantara, orang China mendapat kontrol langsung oleh VOC dan mata rantai perdagangan antara orang China dan masyarakat Maluku terputus. Kontrol VOC atas China karena China membeli cengkeh dengan harga yang tinggi.
“Sementara VOC (membeli cengkeh) sangat murah. Inilah yang membuat pedagang China dicekal masuk ke Maluku,” ucap Irfan saat dihubungi cermat, (29/1).
Baru pada tahun 1824, lanjut Irfan, ketika jalur perdagangan bebas diberlakukan, bangsa China yang diisi oleh para saudagar sukses kembali berdatangan.
Di ternate, permukiman China masa itu dibagi menjadi dua bagian, tergantung agamanya. Mereka yang beragama Konghucu menempati bagian selatan Benteng Oranje, sementara yang beragama Islam mendiami sebelah utara benteng.
ADVERTISEMENT
Namun, boleh dibilang, di lokasi sekitar benteng tersebut tak hanya didiami oleh bangsa China semata, melainkan juga bangsa lain. Di utara benteng misalnya, kini dikenal dengan nama Kampung Makassar sebab dipercaya banyak ditinggali oleh orang-orang dari Makassar. Selain itu, berdekatan dengan perkampungan Cina di sisi selatan benteng, terdapat pula Kampung Palembang, lalu bangsa Arab.
Bergeser sedikit ke selatan lagi, bisa ditemukan perkampungan yang dikenal dengan sebutan Kedaton Tidore, yang mana banyak dihuni oleh warga Tidore. Sedikit ke barat, ada juga Kelurahan Tanah Raja, yang konon dahulu menjadi tempat bermukimnya elite-elite Kerajaan Bacan.
Setelah bangsa Eropa mulai menginjakkan kaki di Ternate, mulai terbentuklah perkampungan yang dikenal dengan nama Kampung Sarani, tempat tinggal bagi mereka yang beragama Nasrani. Letaknya tak jauh dari Tanah Raja.
ADVERTISEMENT
Menurut Budayawan Maluku Utara, Sofyan Daud, perkampungan itu menunjukkan bahwa kemajemukan di Ternate sama tua dengan narasi sejarahnya.
“Karena dalam usia Ternate sejauh ini, saya kira peradaban modern Ternate adalah peradaban yang sangat majemuk. Sangat plural. Saya membayangkan kawasan Gamalama di tahun 1700an itu semacam kosmopolit kecil, ada kemajemukan. Jejaknya masih kita lihat hingga sekarang,” ucap Sofyan, saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Tanah Tinggi, Ternate Tengah, Sabtu (25/1).
Salah satu jejak yang bisa dilacak hingga sekarang adalah terdapatnya Klenteng Thian Hou Kiong di sisi selatan Benteng Oranje, kini merupakan wilayah Kelurahan Gamalama, Ternate Tengah.
“Kita sangat tahu bahwa kawasan Gamalama waktu itu dihuni oleh mayoritas muslim, itu menunjukkan komunitas China tumbuh di tengah ruang interaksi. Dan semuanya harmonis,” katanya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, lanjut Sofyan, jejak lain yang bisa dilihat adalah dalam konteks kebahasaan. Kata dia, mata uang bangsa China pada masa dinasti Tang adalah Fang. Hingga kini, di beberapa kelompok masyarakat, Fang merujuk pada kata ‘uang’. Tak cuma fang–kata dalam bahasa Mandarin yang mengalami asimilasi dengan keseharian masyarakat Ternate—ada pula diksi-diksi seperti ‘Ko’ dan ‘Ci’ (paman dan tante).
Ada kisah yang menurut Sofyan sangat menarik untuk menunjukkan ihwal hubungan bangsa China dengan masyarakat Ternate, yakni lahan pekuburan Islam di Kelurahan Santiong, Ternate Tengah. Konon, kata dia, lahan perkuburuan Islam itu awalnya milik seorang yang berbangsa China yang kemudian dihibahkan untuk pekuburan.
Kisah ini dibenarkan oleh Irfan Ahmad. Menurut sejarawan berkacamata itu, penghibahan lahan tersebut terjadi pada tahun 1959. Pemiliknya diketahui dua bersaudara bernama Nya eng dan Nya Kem.
ADVERTISEMENT
“Beliau berdua ini masuk Islam dan tidak menikah, sehingga banyak tanah waktu itu yang dihibahkan, termasuk tanah di Sigi Cim,” kata Irfan.
Sigi Cim atau kini bernama Masjid An-Nur adalah satu dari empat masjid kesultanan Ternate, selain Sigi Lamo, Sigi Heku, dan Langgar Koloncucu.
Menurut Sofyan Daud, sejauh ini, hubungan antara komunitas China dengan masyarakat Ternate terjalin dengan baik. Ia, sampai saat ini, belum menemukan referensi yang menyebutkan adanya keretakan hubungan antara keduanya yang berujung pada konflik.
Ia bilang, hal itu terjadi dikarenakan kehidupan komunitas China sudah begitu berkeliaran erat dengan keseharian masyarakat Ternate. Penulis Buku 'Ternate Mozaik Kota Pusaka' ini mengatakan, hubungan kedua etnis ini saling membutuhkan sehingga minim terjadi konflik. Bahkan, di saat Ibu kota negara tengah membara pada tahun 1998 dan menjadikan etnis China sebagai korban, hal semacam itu tak terjadi di Ternate.
ADVERTISEMENT
Kehadiran bangsa China, kata Sofyan, bahkan diakui secara formal oleh kesultanan Ternate. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya jabatan Kapita Cina di dalam kesultanan. Kapita Cina ditugaskan sebagai pemimpin sekaligus wakil bangsa China di dalam kesultanan.
“Selain itu, saya menduga karena dalam sejarah panjang bangsa China di Ternate, cenderung kurang tertarik masuk ke dalam ruang-ruang politik. Mereka lebih fokus ke niaga. Terus karena populasi yang sedikit, mau tak mau memperkerjakan orang lokal,” katanya.
Eratnya hubungan etnis China dan masyarakat Ternate ini boleh dibilang disebabkan juga oleh praktik perkawinan di antara keduanya. Misalnya, kata Sofyan, ada marga di Ternate yang sampai saat ini masih bisa terlacak asal mulanya dari etnis China, yakni marga Tan dan Teng. Selain itu, ada pula marga lain seperti Bopeng dan Tjan.
ADVERTISEMENT