Jelajah Falajawa, Melihat Pembuatan Kue hingga Arsitektur Khas Ternate

Konten Media Partner
19 Mei 2019 13:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto bersama para peserta jelajah di depan rumah Noni Bin Syech Abubakar. Foto: Rajif Duchlun/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Foto bersama para peserta jelajah di depan rumah Noni Bin Syech Abubakar. Foto: Rajif Duchlun/cermat
ADVERTISEMENT
Cuaca cukup cerah pada Sabtu sore (18/5). Saya bergegas menuju Kampung Falajawa di Kelurahan Muhajirin, Ternate Tengah, Ternate, Maluku Utara. Sore itu, memang saya akan ikut jelajah bersama Ternate Heritage Society (THS).
ADVERTISEMENT
THS merupakan salah satu komunitas di Ternate yang fokus pada pelestarian serta jelajah pusaka. Sebelum mulai, peserta jelajah melaksanakan salat Ashar berjemaah di Masjid Muhajirin. Setelah itu, berkumpul di bundaran Pantai Falajawa, yang juga berada tepat di depan masjid.
Ketua THS, Didit Prahara, membuka kegiatan jelajah. Ia bilang, tujuan dari kegiatan itu mengajak peserta melihat langsung wilayah jelajah, terutama Kampung Falajawa, yang punya banyak sejarah.
"Wilayah Falajawa menjadi gerbang masuk kebudayaan karena berdekatan dengan pelabuhan, sehingga corak ragam dan kultur setempat perlu dipelajari. Mengingat dari sekian banyak kampung di Ternate, penggunaan alat bakar ‘forno’ masih digunakan di kampung tersebut," ujar Didit.
Gerbang Falajawa di Kelurahan Muhajirin, Ternate Tengah, Kota Ternate, Maluku Utara. Foto: Rajif Duchlun/cermat
Didit kemudian mempersilakan Lurah Muhajirin, Faisal Karim, berbicara sebelum kegiatan jelajah dimulai. Faisal dalam kesempatan itu, mengatakan kegiatan ini sangat baik, sebab di Falajawa ada banyak informasi sejarah yang bisa didapat.
ADVERTISEMENT
"Kampung ini mempunyai sejarah, mempunyai nilai. Mudah-mudahan dengan kegiatan ini bisa memberikan manfaat dan nilai bagi rekan-rekan. Sehingga dari sini, kalian bisa saling berbagi kepada yang lain," ucap Faisal.
Jelajah pun dimulai. Ramainya kendaraan memadati jalan utama Falajawa. Tampak para penjaja takjil berderet sepanjang jalan. Orang-orang sudah berjubel membeli takjil. Bersama peserta, kami menerobos padatnya lalu lintas. Berjalan kaki menuju ke arah pemukiman, tempat yang akan kami kunjungi.
Rumah-rumah warga sendiri berada di belakang Masjid dan bangunan toko. Kami tiba di tempat pertama. Sebuah rumah dengan arsitektur khas Ternate. Di rumah itu, kami akan melihat alat pembakar kue tradisional. Warga di sini menyebutnya dengan ‘forno’.
Seorang perempuan paruh baya, Noni Bin Syech Abubakar, mempersilakan masuk. Ia sendiri meminta agar tidak memotretnya. Sebelumnya, kami memang sudah diingatkan, bahwa sosok yang akan memberikan kami penjelasan mengenai proses penggunaan forno itu, tidak begitu suka difoto.
Forno, alat pembakaran tradisional milik Gamar Albar, salah satu rumah produksi oleh-oleh kue khas Ternate. Foto: Rajif Duchlun/cermat
Satu per satu masuk. Kami diarahkan menuju ke dapur. Perempuan paruh baya itu kemudian mulai menjelaskan kegunaan forno. Ia bilang, alat pembakaran tradisional itu sudah jarang digunakan saat ini. Ia sendiri memakainya untuk membuat kue khas Ternate, seperti Bagea dan Makrom.
ADVERTISEMENT
"Ini tampa (tempat) bakar-bakar bagea, makrom. Cuma sekarang roti so (sudah) bakar di oven. Dulu roti bakar di sini. Cara bakar bagea itu, bara apinya harus kase (kasih) kaluar. Kalau biskuit makrom tetap kase tinggal bara di dalam," ujarnya.
Ia mengaku, memakai alat tersebut sejak 1981. Kendati begitu, sebelum tahun itu, forno diakuinya sudah digunakan oleh orang tuanya.
"Sudah lama. Hanya banyak yang sudah beralih ke oven. Sisa beberapa saja yang masih pakai. Tapi kalau bakar pakai ini, kue pe (punya) rasa lebih enak," katanya, lalu mengambil kayu bakar, menaruhnya di dalam forno, sembari mencontohkan cara membakar kue kepada peserta jelajah.
Kami diminta untuk tidak berlama-lama, sebab akan mengunjungi dua tempat lagi. Saat keluar, saya sempat melihat sejumlah pajangan foto dan beberapa bingkai berisi informasi susunan silsilah keturunan nabi yang dipajang di dinding rumah. Kampung Falajawa sendiri memang familiar sejak lama dihuni komunitas Arab.
ADVERTISEMENT
Dosen dan peneliti arsitektur kota dan urban heritage dari Universitas Khairun, Maulana Ibrahim, yang ikut dalam kesempatan itu mengaku, awal melakukan penelitian di Falajawa sempat bingung.
Fahri Suleman (berkaos putih) salah satu pekerja di Depot Muhajirin, sedang menjelaskan proses penggunaan forno. Foto: Rajif Duchlun/cermat
Sebab secara penamaan, kata ‘fala’ dalam bahasa daerah Ternate berarti ‘rumah’. Sementara Jawa, merujuk sebuah pulau di Indonesia bagian barat. Itu artinya, orang umumnya memahami kampung ini sebagai ‘rumah Jawa’.
Hanya saja setelah ditelusuri, dikatakan Maulana, belum ditemukan ciri khas Jawa yang kuat atau orang-orang dari Pulau Jawa yang menetap di sini sejak lama.
"Tidak ada bukti seperti itu. Malah buktinya orang-orang Arab yang datang berdagang (dan) bermukim di sini. Sebenarnya sudah ada Kampung Tenga, salah satu pemukiman orang Arab juga di Ternate, hanya di sana sudah terbatas, jadi ada yang tinggal di sini. Karena dekat pelabuhan, jadi akses keluar-masuk barang gampang," paparnya di sela-sela jelajah.
ADVERTISEMENT
Maulana bilang, dikenal dengan nama Falajawa, sebab dulu di daerah itu terdapat sebuah gerbang besar yang disebut ‘Gerbang Falajawa’. Di dalam arsitektur Ternate, rumah bangsawan dan bangunan-bangunan utama seperti masjid atau kedaton (bangunan kerajaan) di depannya memang selalu ada gerbang.
"Ada beberapa gerbang itu yang diberi nama Falajawa. Atau rumah Jawa, kenapa demikian, karena memang asrsitekturnya sekilas mirip arsitektur dari Jawa, seperti susunan atap bertumpang, padahal sebenarnya itu bukan atap dari Jawa juga sih, itu atap khas nusantara," ungkapnya.
Penyebutan ‘Gerbang Falajawa’ itu, dijelaskannya, semata-mata untuk memudahkan orang-orang untuk mencari alamat. Namun, di Kampung Falajawa, juga terdapat komunitas Tionghoa yang sudah kawin-mawin serta berasosiasi dengan komunitas Arab.
Akhirnya kami tiba di tempat kedua. Sebuah rumah milik Gamar Albar yang juga sekilas mirip dengan tempat sebelumnya. Melalui pintu dapur, kami dipersilakan agar bergegas masuk.
ADVERTISEMENT
"Inilah salah satu tempat produksi oleh-oleh kue khas Ternate terbesar di Ternate. Depot Muhajirin namanya," ujar Maulana.
Selain menggunakan forno, proses pembuatan kue juga menggunakan oven. Tampak Fahri sedang meletakkan loyang di dalam oven tersebut. Foto: Rajif Dchlun/cermat
Kala masuk, forno dalam keadaan tertutup. Salah satu pekerja di tempat itu, Fahri Suleman, lalu membuka penutup alat pembakaran tradisional. Sontak saja, peserta jelajah langsung berdesak-desakan, berusaha mendekat sembari mengarahkan kamera ke arah lubang forno.
Memang saat dibuka, terlihat sejumlah talam besar yang sudah berisi Roti Kanari atau sebagian orang Ternate mengenalnya dengan biskuit kenari.
"Selain buat roti kenari dan makrom, ada juga yang paling suka pakai ini untuk bikin bagea. Dalam forno ini berisi sekitar 12 loyang. Dan dalam sehari itu bisa dua kali produksi," ucap pria 40 tahun itu.
ADVERTISEMENT
Forno besar itu, dikatakan Fahri, yang membuatnya kuat dan mampu menyimpan suhu panas, karena terbuat dari batu bata merah. "Iya batu bata merah kan bisa simpan suhu panas," jelasnya.
Saya kemudian masuk ke bagian paling belakang. Tampak sejumlah rak tempat menaruh talam besar atau loyang. Terlihat, beberapa kue juga dibuat menggunakan oven. Kami tak punya banyak waktu di tempat itu.
Mengenal Arsitektur Rumah Tua Ternate
Seorang anggota THS meminta kami agar bergegas ke tempat selanjutnya. Di tempat ini, tentu kami tidak akan melihat proses pembuatan kue. Para peserta diajak melihat sebuah bangunan rumah berarsitektur khas Ternate.
Menyusuri lorong dan setapak, tiba juga kami di rumah tua itu. Pemilik rumah, Ibrahim Slamet Ali Hanafi, menyambut kami dan sontak memperlihatkan foto rumah tersebut yang menurutnya diperkirakan sudah ada sejak 1889.
ADVERTISEMENT
"Rumah ini sudah lama sekali. Lihat itu (sambil menunjuk dinding rumah) ada lobang bekas tembakan zaman dulu," ujar Ibrahim.
Sayangnya, foto yang diperlihatkannya sudah dalam bentuk fotokopi. Ia mengaku, foto asli pernah dipinjam seorang mahasiswa asal China. Mahasiswa tersebut lalu mengembalikan foto itu dalam bentuk yang sudah tidak asli.
Salah satu rumah tua di Ternate dengan gaya arsitektur indische. Perpaduan rumah Eropa dengan kebudayaan orang Ternate. Foto: Rajif Duchlun/cermat
"Dia bawa yang asli, dia kase (kasih) pulang yang fotokopi," ucap pria keturunan Arab-Cina itu, sambil memperlihatkan bentuk rumah tersebut saat sebelum ada reklamasi. Tampak dalam gambar, hanya beberapa meter sudah terdapat garis pantai.
Maulana dalam kesempatan itu, ikut menjelaskan arsitektur rumah. Ia bilang, rumah tua yang kami kunjungi itu merupakan perpaduan rumah Eropa dan kebudayaan lokal orang Ternate.
ADVERTISEMENT
"Kita menyebutnya arsitektur indische. Indische itu kebudayaan yang berpadu antara kebudayaan Eropa dan kebudayaan lokal nusantara," ungkapnya.
Rumah tersebut, dipaparkan Maulana, terdapat kolom di depan. Mulanya ada enam kolom. Tiga di sebelah kanan, tiga di sebelah kiri. Hanya saja, sekarang yang tersisa hanya dua kolom utama, dan yang lain adalah kayu.
Ibrahim Slamet Hanafi saat memperlihatkan foto rumah tuanya kepada para peserta jelajah THS. Foto: Rajif Duchlun/cermat
Namun, sebelum adanya pengaruh kolonial di sini, menurutnya, arsitektur di Ternate itu sesunggunya adalah rumah kayu. "Jadi ketika kebudayaan Eropa masuk, dia hanya menyesuaikan saja. Buktinya di dalam kolom ini ada kayu yang dibungkus dengan batu," jelasnya.
Dinding rumah ini hanya setengah, atau orang Ternate menyebutnya rumah setengah batu. Biasanya bagian atas dinding menggunakan material papan. Tapi rumah ini sudah direnovasi. Bagian atas dinding menggunakan seng. Kemungkinan besar seng itu dipakai ketika Jepang masuk di Indonesia. Mereka yang membawa material tersebut.
ADVERTISEMENT
Maulana bilang, ruang dalamnya cukup luas. Denahnya mirip rumah bangsawan orang Ternate zaman dahulu. Teras dan ruang tamunya cukup besar. Kemudian terdapat dua kamar. Ada ruang makan dan sebuah teras di belakang.
"Jadi rumah ini ada teras depan, ada teras belakang. Sesudah itu dapurnya terpisah. Dapur rumah-rumah Ternate itu terpisah. Itulah perpaduan Eropa yang memiliki kolom, dinding-dinging yang tebal, rumah yang tinggi, karena daerah tropis dengan kebudayaan Ternate yang dapurnya terpisah. Dari sisi pembagian kamar jelas antara ruang privat dan publik," paparnya.
Memang diakuinya, orang-orang zaman dahulu sangat tahu menjaga ruang privasi. Itu dapat dilihat dari arsitektur kamarnya.
"Kamar rumah ini punya pintu-pintu kecil yang menghubungkan ke bagian belakang, sampai ke kamar mandi. Jadi kalau ada tamu di sini, orang yang di kamar ini tidak perlu keluar, karena dia punya pintu kecil yang bisa tembus sampai di dapur dan kamar mandi," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya masih banyak lagi yang bisa dipelajari dari rumah khas Ternate itu. Hanya saja, jarum jam sudah menunjukkan pukul 18.20 WIT. Kami diminta untuk segera kembali ke tempat semula.
Kegiatan jelajah itu ditutup dengan tantangan untuk para peserta mencari makanan atau kue khas Ternate dan Eropa. Foto: Rajif Duchlun/cermat
Namun, peserta jelajah diberikan sedikit tantangan. Mereka diajak mencari kuliner khas Ternate dan Eropa. Kue-kue khas yang dibeli itu lalu dibawa ke bundaran Pantai Falajawa. Tiba juga waktu berbuka puasa. Matahari sudah memerah di kaki langit. Azan magrib terdengar jelas dari sejumlah masjid.
Saya menikmati sebotol air mineral dan sebuah kue yang kerap menjadi andalan sebagian orang Ternate saat berbuka puasa. Lalampa, namanya. Terbuat dari beras ketan, ikan, serta dibungkus dengan daun pisang. Lumayan, bisa mengganjal perut hingga usai tarawih nanti.
ADVERTISEMENT
---
Rajif Duchlun