Kasus Asusila Terjadi dalam Tiga Tahun di Ternate

Konten Media Partner
14 Maret 2019 23:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus asusila seorang ayah terhadap anak kandung di Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Maluku Utara yang terkuak pada Selasa (12/3) kemarin, memperpanjang daftar kasus asusila di kota Ternate, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Data yang diolah cermat menunjukkan, dalam kasus asusila di ruang privat terjadi di tiga tahun berturut-turut sejak 2017. Ketiga kasus tersebut dialami oleh anak yang masih di bawah umur, bahkan ada yang terungkap setelah berlangsung sekian tahun.
Hal tersebut dikuatkan dengan dukungan data dari Komnas Perumpuan yang menyebutkan sekitar 71 persen kekerasan dialami perempuan terjadi pada ranah privat alias dilakukan oleh orang terdekatnya sendiri. Hal ini menujukkan ruang privat yang sejatinya menjadi tempat aman dan nyaman bagi anak dan perempuan mulai tercemari oleh perilaku menyimpang orang dekat, salah satunya ayah kandung.
Dalam catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan tahun 2018, terdapat beberapa kasus tindak kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan, namun yang terjadi justru sang perempuan takut untuk melawan atau setidaknya membongkar tindakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Akademisi Psikologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Saiful Bahri, fenomena asusila di ruang privat ini bisa terjadi karena dipengaruhi oleh lingkungan dan pergaulan hidup pelaku.
Apalagi, secara psikis anak akan merasa serba salah dan tertekan sehingga menuruti semua yang diminta oleh orang tuanya.
“Biasanya, orangtua seperti ini, dalam kehidupan sehari-harinya lebih tertutup, tidak sadar diri, karena kesadaran dirinya rendah sehingga dia tidak mampu menjaga moralnya,”kata Saiful.
Orang yang melakukan asusila kepada anaknya, secara psikologis, biasanya hubungan interaksi sosialnya kurang bagus, cenderung menutup diri dari lingkungan sosial.
“Bisa jadi juga karena pengaruh media, seperti nonton film porno. Apalagi dipengaruhi juga oleh minuman beralkohol,” katanya.
Dalam kondisi mabuk, tambah Saiful, membuat pelaku semakin di luar kendali. Apalagi ditambah dengan penolakan dari istri atas ajakan suami membuat para peluku akan memendam hasartnya.
ADVERTISEMENT
“Anak jadi sasaran dari sikapnya tidak sadar diri karena lama memendam hasratnya. Anak terintimidasi dan serba salah karena diancam pelaku,” katanya.
Di sisi lain, kasus asusila yang dialami oleh Puspa (nama samaran) dengan pelaku adalah ayahnya sendiri, SD (36), dikenal sehari-hari suka bergaul.
Menurut penjelasan dari tetangga, pelaku pemerkosaan tersebut dalam keseharian dinilai supel atau mudah bergaul. "Dia sebenarnya orangnya suka bertegur sapa," ucap tetangga pelaku yang meminta tak disebutkan namanya itu.
Dalam kasus kekerasan seksual yang dialami oleh Puspa, lekat adanya relasi kuasa ayah terhadap anak, sehingga korban memilih untuk diam. Dalam kasus ini, Pusma bahkan diancam akan dibunuh oleh ayahnya. Dia, korban dilarang bergaul dengan teman di luar rumah.
ADVERTISEMENT
Beberapa warganet bahkan, menyalahkan korban karena tidak melapor kasus tersebut sejak awal. “Sekali lagi. Korban sangat membutuhkan dukungan sosial, bukan sanksi sosial,” tegas Syaiful Bahry.
Untuk mencegah hal seperti itu terulang kembali, Syaiful menegaskan pentingnya peran pemerintah, tokoh masyarakat, serta lingkungan yang saling peduli. Bahwa program psikoedukasi pencegahan kekerasan terhadap anak perlu diseriusi.
Syaiful bilang, sikap saling peduli menjadi faktor penting. Namun alih-alih mendukung atau setidaknya menciptakan situasi yang nyaman bagi korban (dan mengubah stigma).
Peran Kesultanan Dibutuhkan
Menurut Dosen Sosiologi di Universitas Terbuka Ternate, Budi Sahabu, fenomena ini merupakan perlilaku menyimpang yang terjadi dari dua faktor yakni seks dan ekonomi.
Budi menyoroti, fenomena asusila seperti ini tak bisa dilepas dari bergesernya tradisi dan budaya di tengah tingginya kebutuhan masyarakat kota. Olehnya itu, peran aktif lembaga kesultanan dalam mengontral masyarakat sangatlah diperlukan.
ADVERTISEMENT
Budi meminta agar kesultanan kembali berperan dalam mengontrol masyarakat. “Misalkan mengidupkan kembali tradisi dan budaya, bila perlu memberi sanksi sosial yang melakat pada pelaku,” katanya.
Fungsi kontrol pemerintah, diakuinya sangat lemah. Pemerintah sebagai kelas atas menurutnya harus bekerja sama dengan pihak kesultanan. “Ini upaya pencegahan dari aspek budaya,” ucapnya.
Budi juga mengkritisi peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang konsen terhadap isu perempuan dan anak yang dinilai belum maksimal menunjukkan peranya.
“Kalau dilihat dari angkanya ini cukup mengkhawatirkan karena terjadi di setiap tahun. Oleh karena itu dibutuhkan peran lebih LSM yang lebih prenventif agar masalah asusila seperti ini bisa dicegah lebih awal,” katanya.
---
Rizal Syam, Firjal Usdek