Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kekerasan Jurnalis di Tidore: Ini Pandangan Pemerhati dan Praktisi Hukum
13 September 2022 12:07 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Kasus kekerasan jurnalis yang menimpa Nurkholis Lamaau, redaktur cermat.co.id menjadi perhatian publik, setelah beberapa berita dimuat terkait Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, melalui kuasa hukumnya akan mempolisikan Nurkholis.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kuasa hukum Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen ini, sedang mengkaji beberapa akun medsos dan akan melaporkan.
Melihat itu, salah sau pemerhati sosial yang juga wartawan senior, Asghar Saleh, angkat bicara. Kata Asghar, kekerasan terhadap jurnalis dalam bentuk apa pun dan alasan apa pun tidak dibenarkan. Ada mekanisme yang diatur dalam UU Pers jika jurnalis/media melakukan kekeliruan dalam menyampaikan opini dan berita. Karen telah dilaporkan ke polisi maka kasus ini seharusnya diselesaikan sesuai prosedur hukum.
“Olis (Nurkholis Lamaau) menulis opini berdasarkan fakta yang dia dapat, jika ada yang keberatan terhadap opini tersebut seharusnya dilakukan klarifikasi melalui press release ke media atau membuat opini untuk meluruskan sesuai kebutuhan pihak yang merasa dirugikan,” ujar Asghar, Selasa (13/9).
ADVERTISEMENT
“Sudah saatnya kita mendorong debat terbuka melalui penulisan opini yang berkualitas jika ada perbedaan pendapat terhadap satu permasalahan. Tidak menggunakan tindak kekerasan,” tambahnya.
Jika kuasa hukum Wawali akan mempolisikan Olis ya silakan saja. Catatan pentingnya adalah bagaimana sikap polisi atas laporan Olis? Organisasi Pers harus membela Olis sebagai bentuk solidaritas dan tanggungjawab terhadap kerja kerja jurnalisme,” tegasnya.
Asghar bilang, polisi harus menggunakan UU Pers untuk gugatan kuasa hukum (Laporan tim hukum Nurkholis harus dilihat menggunakan UU Pers). Sedangkan untuk kekerasan tetap gunakan KUHP. “Masih ada jalan lain yakni mediasi untuk mempertemukan pihak yang bersengketa jika memang dikehendaki,” ujarnya.
Selain itu, kata Asghar, untuk media sosial bisa gunakan UU ITE tapi tetap dilihat konteks masalahnya. Apakah ada penyebaran konten palsu, ujaran kebencian dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam lima tahun terakhir, katanya, kekerasan terhadap jurnalis masih sering terjadi. Ini menyedihkan karena berpengaruh tak hanya pada kebebasan pers tapi juga indeks demokrasi yang juga relatif rendah.
“Saya melihat organisasi pers juga belum maksimal lakukan pendidikan dan advokasi terhadap jurnalis. Hampir 100 media cetak dan online di Malut tapi jumlah besar itu belum sebanding dengan kualitas jurnalis maupun Berita yang diproduksi. Kasus Olis juga penting untuk jadi refleksi pembelajaran bagi semua jurnalis dan media bahwa tantangan ke depan akan makin berat karena media sering digunakan untuk kepentingan politik. Padahal media harus menjaga netralitas dan tetap independen,” katanya.
Sementara itu, Hendra Kasim, praktisi hukum mengatakan, upaya hukum yang mau ditempuh oleh Wakil Wali Kota Tidore adalah hak konstitusional yang dilindungi Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
“Pada prinsipnya, karena itu dilindungi Undang-Undang, kami hargai itu. Tapi, di dalam demokrasi, sepatutnya, hak demikian dipertimbangkan kembali. Karena demokrasi perlu dibangun oleh semua pihak terutama oleh pejabat publik. Jika menempuh jalur hukum menjadi cara utama, hal ini perlahan akan mendiskreditkan kebebasan berpendapat, dan itu berbahaya bagi demokrasi,” kata Hendra.