Konten Media Partner

Ketika Tambang Masuk Wilayah Nelayan Weda

4 Januari 2023 10:43 WIB
·
waktu baca 16 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perahu nelayan di kawasan pesisir Desa Lelilef Woebulen, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Nurkholis Lamaau/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Perahu nelayan di kawasan pesisir Desa Lelilef Woebulen, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Nurkholis Lamaau/cermat
ADVERTISEMENT
Jubair Saleh memilih berbaring di atas dipan usai menggulung jaring. Siang itu, 'dewi fortuna' seakan belum berpihak ke pria berusia 52 tahun itu.
ADVERTISEMENT
"Jaring kotor pece (lumpur). Tara (tidak) dapat ikan," ucap Jubair saat disambangi cermat, pada Senin, 26 Desember 2022.
Jubair adalah warga Desa Waleh, Weda Utara, Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara (Malut), yang masih bertahan sebagai nelayan.
"Sekarang cari ikan susah. Kalau air laut keruh, ikan menjauh. Jaraknya bermil-mil dari pantai," keluh Jubair.
Ikan yang diburu Jubair umumnya jenis Pelagis seperti komo, sorihi, dan julung. "Ikan julung yang paling jauh," ungkapnya.
Jubair akui, keberadaan mangrove di sepanjang pesisir pantai desa adalah rumah bagi ikan, terutama jenis julung. "Mangrove tempat julung bertelur,” katanya.
Saat hujan, kata Jubair, lumpur hampir menutupi sepanjang pantai dengan jarak sekitar 200 meter ke arah laut.
Tapi siang itu, cermat hanya melihat material lumpur mengendap di dasar laut. Kata Jubair, itu yang membuat air keruh. "Ini hampir terlihat setiap hari," katanya.
ADVERTISEMENT
Aktivitas menjaring telah digeluti Jubair, jauh sebelum konflik horizontal melanda Malut pada Oktober 1999.
Kala itu, mencari ikan sangat mudah. Ikan bahkan bergerak masuk hingga ke muara Sungai Waleh.
"Jadi kalau ditanya seberapa parah, sangat parah. Harus bergeser sedikit jauh dari pantai. Karena warna air kuning kecokelatan," ujarnya.
Sejak perusahaan tambang bercokol di Weda Tengah dan Weda Utara, Jubair juga menjual hasil tangkapannya ke perusahaan. Tapi jumlahnya dibatasi.
Biasanya 1 – 2 kilogram. Jika 20 kilogram, perusahaan sudah tidak terima. “Kalau so begitu, saya langsung jual di penduduk sini. Enam ekor Rp 20 ribu," ujarnya.
Jika hasil tangkapan banyak, Jubair bisa meraup Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu. "Tapi harus menjaring jauh," kata Jubair, yang memiliki satu unit katinting buatan sendiri.
ADVERTISEMENT
Seingat Jubair, dampak dari aktivitas perusahaan mulai terasa saat Abdul Gani Kasuba menjabat sebagai Gubernur Malut di periode pertama.
"Sekarang nelayan aktif tersisa 6 orang. Saya salah satunya. Kalau dulu hampir sekitar 50 orang," ungkapnya.
Persoalan yang sama diutarakan Suraji Halil, warga Desa Sagea, Weda Utara. "Sekarang orang mangael (memancing) untuk konsumsi sehari-hari saja," katanya.
Dalam ingatan pria berusia 28 tahun itu, jauh sebelum perusahaan tambang hadir, para nelayan Sagea dan Lelilef saling bersaing.
"Orang Sagea jual ikan ke Lelilef, begitu juga sebaliknya. Karena hampir semua aktivitas masyarakat di laut," ungkapnya.
Apalagi, saat itu area tangkapan cukup dekat. Mancing di belakang rumah pun sudah dapat ikan. "Sekarang harus ratusan meter dari pantai," katanya.
ADVERTISEMENT
Kini, warga rata-rata memperoleh ikan di luar Weda seperti Halmahera Barat, Halmahera Utara, Halmahera Timur, dan sebagian dari Pulau Gebe, Halteng.
"Dulu Rp 10 ribu dapat 20 ekor. Bahkan Rp 20 ribu sudah dapat satu baskom besar. Sekarang Rp 20 ribu dapat 4 ekor," ujarnya. “Sekarang orang so tara cari ikan.”
Perahu nelayan di pesisir pantai Desa Kiya, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Nurkholis Lamaau/cermat
Luas daratan kabupaten berjuluk 'Fagogoru' itu 2.276,86 kilometer persegi. Sedangkan lautnya 6.104,65 kilometer atau 73 persen dari luas daratan.
Dalam catatan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Halteng, dari 70 lebih desa, kurang lebih 95 persen adalah desa pesisir.
“Hampir semua aktivitas masyarakat pesisir bergantung pada laut,” ungkap Kepala DKP Halteng, Mufti A. Murhum, kepada cermat, pada Selasa (27/12).
Ia menjelaskan, saat ini jumlah nelayan sekitar 3.500-an. Terdiri dari nelayan utama, sambilan, dan sambilan pemula.
ADVERTISEMENT
"Setiap desa terdapat 20 kepala keluarga (KK), 30 KK, 50 KK, 100 KK, hingga 200 KK yang berprofesi nelayan," ujarnya.
Tapi saat ini, teluk Weda telah ditetapkan dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN Tahun 2020-2024 sebagai Kawasan Industri Nasional berbasis mineral.
Mufti tak menampik jika dalam jangka panjang, desa-desa di sepanjang pesisir Teluk Weda akan mengalami penurunan produktivitas hasil tangkap.
Sebab, sebagai kawasan industri, terdapat aktivitas di perairan sekitar yang begitu masif. "Ada kapal tanker, kapal barang, kapal tugboat, dan kapal-kapal lainnya," katanya.
Tapi dalam aturan, menurut Mufti, nelayan lokal diperbolehkan melaut hingga 12 mil. "Kalau modal besar, mereka bisa melaut sampai di atas itu," katanya.
Namun, perahu nelayan di Halteng rata-rata berukuran 2,5 sampai 3 Gross Tonage (GT). Sedangkan yang sudah dilengkapi mesin sekitar 700 armada.
ADVERTISEMENT
Dari jumlah itu, 600 unit adalah bantuan. Sisanya dibuat sendiri oleh nelayan. Mufti berharap para nelayan bisa melaut di atas 12 mil. "Karena di perairan pesisir sudah pasti ikan berkurang," katanya.
Mufti mengakui, ikan di Halteng hampir rata-rata dipasok dari luar. Sebab, jumlah penduduk di Halteng bukan seperti di 2017 – 2018. “Sekarang sudah 120.000 lebih penduduk,” katanya.
Keluhan Jubair, nelayan Desa Waleh, soal hasil tangkapan yang tak semuanya terserap ke perusahaan, dikatakan Mufti, kawasan industri butuh ikan dengan volume yang banyak.
"Kalau hanya berharap dari nelayan Weda, Patani, Gebe, masyarakat kita mau dapat ikan dari mana, " katanya. "Makanya kita atur."
Karena armada nelayan lokal rata-rata hanya 2,5 GT hingga 3 GT. "Ya, paling sekali melaut hanya dapat 5 kilo sampai 10 kilo," ucap Mufti.
ADVERTISEMENT
Sementara, perusahaan industri pertambangan butuh kontinuitas. Di samping itu, mengutamakan safety. "Keamanan pangan diterapkan," katanya.
Tapi Mufti mengeklaim, kondisi perairan Halteng masih aman. "Kita hanya menjaga rantai suplai ke masyarakat saja," jelasnya.
Menurutnya, keberadaan ikan di suatu perairan tergantung musim. Tapi persepsi masyarakat sejauh ini adalah dampak dari aktivitas tambang.
"Itu betul. Memang ada dampak juga. Tapi kami tetap bantu. Misalnya beri mesin 15 PK, rumpon, serta mendorong perusahaan lewat CSR," tuturnya.
Laut Tercemar
Pesisir pantai Desa Waleh tampak lengang. Hanya 8 unit perahu nelayan yang ditambat di pohon.
Di atas dermaga, seorang perempuan asyik memancing. Siang itu, perairan sekitar tampak keruh kecokelatan.
Dilansir dari one map ESDM, wilayah Weda Tengah dan Weda Utara bercokol 6 perusahaan yang bergerak dalam produksi nikel dan batu gamping.
ADVERTISEMENT
Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halteng, Syamsul Bahri Ismail, mengatakan dugaan pencemaran di Sungai Waleh sudah berulang kali.
Warna air laut di kawasan pesisir Desa Waleh, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, tampak keruh kecokelatan. Foto: Nurkholis Lamaau/cermat
"Mulai dari tahun 2020. Kalau tidak salah sudah tiga kali. Tapi yang paling parah itu Sungai Kobe," kata Syamsul kepada cermat, pada Selasa (27/12).
Di tengah wawancara, Syamsul urung menjelaskan lebih jauh. Ia beralasan sudah tidak menjabat sebagai kepala DLH. "Cukup ya," ucapnya menyudahi.
Senada dengan Syamsul, Kepala Bidang Penataan dan Penaatan Lingkungan Hidup (PPLH) DLH Halteng, Abubakar Yasin, menyebut, keruhnya perairan di Desa Waleh sejak perusahaan hadir.
"2019-2020, masyarakat Desa Waleh sempat mengadu soal pencemaran di laut. Memang ada fakta yang ditemukan di lapangan," katanya.
Saat itu, aktivitas perusahaan dihentikan. Dari situ, ditemukan satu sumber masalah. "Ada aliran yang masuk ke sungai," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, DLH tak menemukan parameter yang melampaui baku mutu. "Karena itu kan bukan pencemaran permanen," katanya.
Ia menjelaskan, standar dalam mengukur baku mutu air dapat ditelaah dari aspek fisik, kimia, dan biologis. "Secara fisik, oke, warna air berubah. Tapi apakah melampaui baku mutu?"
Dari konteks itu, kata Abubakar, tidak bisa menjustifikasi bahwa ada pencemaran. "Karena standarnya ada di baku mutu," katanya.
Meski begitu, Abubakar mengakui, aspek pengawasan DLH Halteng masih lemah. “Karena dari sisi SDM, yang bertugas mengawasi hanya satu orang,” katanya.
Ini kemudian tak didukung anggaran. Padahal, langkah pengawasan di Halteng secara umum butuh biaya besar. "Memang perlu digenjot lagi," katanya.
DPRD Halteng dalam kasus di Desa Waleh, juga sempat mengeluarkan rekomendasi ke bupati untuk menghentikan operasional perusahaan, yang lokasi miningnya tak jauh dari sungai.
ADVERTISEMENT
"Kami gunakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup," ujar Sekretaris Komisi III DPRD Halteng, Munadi Kilkoda, kepada cermat pada Selasa (27/12).
Saat itu, aktivitas operasi hanya dihentikan sementara. Dengan catatan, perusahaan segera memperbaiki skema perencanaan dan sedimen pond.
"Kami temukan itu sekitar 2019. Jadi sumber masalah keruhnya Sungai Waleh itu dari situ," ungkap Ketua Fraksi NasDem ini.
Pihak perusahaan pun tak bisa mengelak, setelah tim dari DPRD turun mengecek lokasi dan mendokumentasi.
"Itu bukan mengarang. Jadi mereka laksanakan rekomendasi kita," katanya. "Pihak perusahaan akui pengelolaan sedimen pond belum bagus."
Namun setelah perbaikan, DPRD belum turun mengecek apakah sudah berjalan semestinya atau tidak. "Kami belum tahu," kata pria asal Desa Mesa itu.
ADVERTISEMENT
Sebab, lokasi perusahaan jauh di tengah hutan. "Jadi mereka bikin apa, kita tidak tahu," katanya. Apalagi kurang pengawasan dari pemda."
Munadi bilang, jika musim hujan, ada material yang ikut mengalir hingga ke laut. "Tapi kalau musim kemarau lantas air keruh, patut dicurigai," tandasnya.
Kendati demikian, Munadi juga belum bisa menyimpulkan, apakah pencemaran melewati ambang baku mutu atau belum. "Karena DLH belum pernah mengambil sampel untuk diuji," ungkapnya.
Tapi menggunakan kacamata Amdal Kijang, jika air berubah warna, dapat dikategorikan tercemar. Tidak hanya melewati ambang baku. "Secara kasat mata juga," jelasnya.
Saat itu, Munadi yang juga Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Malut, ini menginginkan agar pemda mengevaluasi Amdal perusahaan.
ADVERTISEMENT
Artinya, jika ditemukan kelalaian, maka pemerintah bisa rekomendasi Kementerian ESDM mencabut izin operasi perusahaan. "Itu sudah disampaikan ke pemda," katanya.
Munadi tak menampik isu yang beredar soal 'tangan-tangan kuat' di balik keberadaan perusahaan ekstraktif tersebut. "Lingkaran oligarki yang bermain di balik itu pasti ada," tandasnya.
Kerap menyoroti persoalan tambang, mantan Anggota Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Malut itu, pun tak luput dari ancaman.
"Mulai dari ancam pakai preman saat saya di Jakarta, pakai aparat, bahkan sampai diancam PAW lewat partai," tuturnya.
Masih Normal
Kepala Balai Konservasi Kelautan dan Perikanan DKP Malut, Sahruddin Turuy, mengatakan sejauh ini belum ada laporan soal pencemaran di perairan sekitar kawasan perusahaan.
Ia mengaku sempat mengamati kawasan pesisir pantai Desa Lelilef Sawai – Woebulan hingga Sagea – Kiya sekitar tiga pekan lalu. "Masih normal," ungkap Sahruddin kepada cermat, pada Selasa (6/12).
ADVERTISEMENT
Bahkan, dalam kegiatan rencana pemanfaatan ruang laut pada awal November 2022, tim dari DKP Malut menyelam di pantai Lelilef. "Tidak ada pencemaran," katanya.
Suasana di pesisir pantai Desa Waleh, Keamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Nurkholis Lamaau/cermat
Menurutnya, aktivitas perusahaan pada kawasan pesisir hanya di dermaga. "Air limbahnya juga dari PLTU. Itu pun sudah sesuai aturan," katanya.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 tahun 2021. "Bahwa segala sesuatu diatur sesuai peruntukannya," katanya.
Bahkan dalam rencana pengembangan dan pengelolaan perikanan atau RP3K yang terbaru, kata Sahruddin, pun sudah diatur.
"Mana yang boleh dan tidak, dan mana yang boleh dengan izin. Itu yang harus dipatuhi perusahaan," katanya. "Kalau tidak, ya sanksi."
Bahkan dalam rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL-RPL), ada hak dan kewajiban yang harus dipatuhi perusahaan.
ADVERTISEMENT
"Dalam satu klausul disebutkan, perusahaan harus memberi akses ke nelayan yang secara rutin melintasi perairan sekitar," katanya.
Meski sudah melakukan survei, diakui Sahruddin, DKP Malut sejauh ini belum melakukan uji laboratorium terhadap biota di sekitar kawasan industri.
"Karena kami tidak melihat sampai di tingkat ikan. Tapi berdasarkan data kondisi, terumbu karang di wilayah sekitar masih bagus," katanya.
Mangrove Terancam
Masyarakat yang tergabung dalam Komunitas Coral Mangrove dan Barahima bersama tim CSR PT IWIP pada 17-19 Januari 2022, menanam sejumlah bibit pohon mangrove di sekitar wilayah pesisir Desa Lelilef.
"Kegiatan ini dilaksanakan rutin sebulan sekali," demikian keterangan yang dikutip cermat dari laman resmi PT IWIP.
PT IWIP pada 2018 sempat melibatkan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate, untuk merehabilitasi ekologi pesisir berupa penanaman mangrove dan terumbu karang.
ADVERTISEMENT
Tapi saat itu, pihak fakultas menawarkan agar programnya diganti dengan peningkatan kapasitas agar masyarakat memiliki skill, mulai dari pembibitan, penanaman, hingga perawatan.
"Tawaran kami diterima," ucap Nurhalis Wahidin, pengajar Pengelolaan Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan Unkhair, kepada cermat, pada Selasa, (6/12).
Pihak fakultas pun mulai mengkaji berapa luas kawasan mangrove, terumbu karang, hingga menentukan lokasi penanaman.
"Saat itu perusahaan siapkan lahan sekitar 1,5 hektare dengan 3.500 bibit mangrove," katanya.
Di tengah perjalanan, COVID-19 melanda. Program pendampingan sempat tersendat, kemudian berlanjut dan baru berakhir di 2021.
"Dari situ saya tidak bisa menjamin apakah pasca pendampingan programnya jalan terus atau tidak," katanya.
Nurhalis mengakui, saat ini wilayah tutupan mangrove berkurang. Terlebih ketika perusahaan membuat pelabuhan di Tanjung Ulie.
ADVERTISEMENT
Meski tersisa beberapa, tapi di sisi timur Bandara Cekel (kawasan perusahaan), nyaris sudah terkonversi menjadi lahan darat. "Saya belum hitung berapa luasnya," ujarnya.
Selain mangrove, pihak fakultas juga diminta monitoring terumbu karang setiap tahun. Termasuk memantau sedimentasi. "Tutupan sedimen cenderung menurun," klaim Nurhalis.
Tapi ia tak menampik jika sedimentasi tetap akan terjadi. Karena ada pembukaan lahan hingga proses runoff. Apalagi jika mekanisme pembuangan melalui sungai. "Pasti akan ke laut," katanya.
Sedimentasi, kata Nurhalis, akan mengurangi kualitas air dalam bentuk penetrasi sinar matahari ke badan air. "Soal kandungan apa di dalam sedimen, butuh penelitian," ucapnya.
Jika logam berat, maka akan terakumulasi sampai ke rantai makanan yang paling besar. "Termasuk manusia," tandasnya.
ADVERTISEMENT
Dalam pelaksanaan program rehabilitasi ekologi pesisir, pihak fakultas berfokus di semua desa pesisir kawasan lingkar tambang.
Saat focus group discussion, hampir semua perwakilan dari desa hadir. "Target kita waktu itu setiap desa 10 orang," katanya.
Namun ketika eksekusi di lapangan, hanya Desa Lelilef Sawai dan Woebulen yang berpartisipasi. Itu pun dari dua desa tersebut hanya 10 orang.
"Tidak ada instruksi dari pemda setempat. Saya juga tidak tahu kenapa. Memang kendala kita di situ," katanya.
Kepala Desa Lelilef Woebulen, Faisal Jamil, mengatakan saat ini hutan mangrove di pesisir desa sudah habis.
"Ditimbun semua. Jadi harus diganti," katanya. "Makanya saya sangat mendukung kegiatan dari Perikanan Unkhair."
Kondisi tersebut pun dibenarkan Kabid PPLH DLH Halteng, Abubakar Yasin. "Memang kita harus jujur, di sepanjang pantai itu mangrove terganggu," katanya.
ADVERTISEMENT
Tapi persoalan mangrove, menurut Abubakar, ranah Kehutanan. Di sini perlu kolaborasi. "Karena Halteng dikepung investasi," ucapnya.
Meski pun itu kepentingan negara, tapi dalam konteks lain, kata Abubakar, pengawasan perlu diperkuat. "Harus ada kerja sama," tandasnya.
Teluk Weda Sebelum Tambang Datang
Seorang perempuan paruh baya memancing ikan di pesisir pantai Desa Waleh, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Nurkholis Lamaau/cermat
Ingatan Munadi Kilkoda melayang ke beberapa tahun silam, saat Weda Tengah belum disusupi perusahaan industri pertambangan.
Kala itu, pesisir pantai Desa Lelilef adalah tempat ikan berkumpul. Muara Sungai Kobe menjadi lokasi berlabuh kapal nelayan.
"Terutama saat musim barat," kata Munadi, yang sejak SMP hingga SMA ikut mencari ikan bersama para nelayan. "Istilahnya masanae."
Kini, nelayan harus berlayar jauh hingga ke perairan Gane Timur, Halmahera Selatan. "Karena sekitar teluk Weda sudah tidak aman," katanya.
ADVERTISEMENT
Apalagi salah satu perusahaan pernah membuang Ore di perairan sekitar yang mengakibatkan sedimentasi. Saat ini, muara Sungai Kobe mengalami pendangkalan. "Dulu dalam sekali," ungkapnya.
Menurut Munadi, hampir semua wilayah pesisir di kawasan industri pertambangan mengalami sedimentasi. "Terutama saat hujan," katanya.
Selain pesisir pantai, Telaga Lagaelol di Desa Sagea, Weda Tengah, pun tak luput dari dampak aktivitas tambang. "Jarak telaga dengan salah satu perusahaan hanya 200 meter lebih," katanya.
Padahal, telaga itu adalah ruang hidup bagi warga Sagea. "Kalau musim angin selatan sehingga tidak bisa melaut, mereka masuk ke telaga cari ikan di situ," katanya.
Bagi Munadi, harus ada langkah ikhtiar. Karena industri nikel sebagai bahan baku baterai, bukan kepentingan masyarakat Weda Tengah dan Weda Utara.
ADVERTISEMENT
"Apakah orang Sawai butuh baterai? Mereka hanya butuh makan dan minum. Baterai adalah kebutuhan global. Tapi masyarakat sekitar yang terkena dampak," ujarnya.
Munadi mafhum, elektirifikasi berbasis baterai bertujuan menekan emisi karbon. "Tapi kita bicara hulu dulu, apakah praktiknya ramah lingkungan," katanya.
Soal upaya perusahaan dalam menjaga ekologi pesisir seperti penanaman mangrove hingga perbaikan terumbu karang, bagi Munadi, hanya kamuflase.
"Sesuatu yang tumbuh alami, tiba-tiba direklamasi, hilang, lalu ditanam kembali seolah-olah, ya kamuflase saja itu," tandasnya.
Tak Ada Jaminan
Lantas apakah industri pertambangan dapat berjalan selaras dengan ekologi pesisir? Nurhalis Wahidin, sebagai akademisi perikanan Unkhair yang masuk dalam tim penilai dokumen Amdal, mengaku tak bisa menjamin.
"Kalau dalam konteks ideal ya silakan ada pembangunan. Tapi tidak boleh mengurangi fungsi ekosistem," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sebab ada beberapa jenis mangrove yang masa pertumbuhan 1 meter butuh waktu selama 12 tahun. "Ada juga yang cepat," ucapnya.
Berdasarkan RZWP3K Malut, Teluk Weda ditetapkan sebagai zona perikanan tangkap pelagis dan demersal, serta zona potensial wisata alam bawah laut.
Sebagai kawasan yang termasuk coral triangle, Kecamatan Weda, Weda Tengah, Weda Utara, dan sebagian Weda Selatan, tersebar 1.733,6 hektare mangrove.
Jenis mangrove yang ditemukan di pantai Teluk Weda 13 spesies dengan 7 spesies mendominasi, yaitu Bruguiera gymnorizha, Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa Xylocarpus granatum, dan Ceriops decandra.
Nelayan di Desa Kiya, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, menambat perahu di sela-sela pohon mangrove. Foto: Nurkholis Lamaau/cermat
Djamhur M. dkk dalam jurnal berjudul Perencanaan Kawasan untuk Pengembangan Ekowisata Perairan di Teluk Weda (2014), menyebut, ada 85 gugusan karang yang teridentifikasi menyebar di perairan Teluk Weda.
ADVERTISEMENT
Di mana, luas secara keseluruhan 1.773,41 hektare. Sedangkan gugusan karang berpasir 18 gugus seluas 418,05 hektare.
Tapi temuan dari jejaring simpul Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) di Weda Tengah dan Weda Utara, kerusakan lingkungan sudah tampak.
"Mulai dari daratan sampai pesisir," ungkap Kepala Divisi Hukum JATAM, Muhammad Jamil, kepada cermat, Senin (2/1).
Bagi Jamil, di Weda Tengah dan Weda Utara, JATAM tidak lagi berbicara soal potensi dampak. "Karena sudah terjadi," tandasnya.
Di JATAM, tambang nikel disebut ekstraktivisme babak keempat setelah migas, emas, dan batu bara. "Dan kita gagal membangun industri yang kuat," tandasnya.
Jamil menjelaskan, transisi energi yang mengarah pada elektrifikasi berbasis baterai berangkat dari wacana zero emisi karbon.
Sementara, 30 persen cadangan nikel dunia berada di Indonesia yang tersebar dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, hingga Papua.
ADVERTISEMENT
"Termasuk di Halmahera Tengah. Di sini, nelayan di wilayah lingkar tambang berada dalam situasi yang tidak menguntungkan," katanya.
Bicara soal nikel, kata Jamil, dari era revolusi industri metodenya sama. "Bongkar hutan, gali perut bumi, lalu jual hasilnya," katanya.
Menurutnya, tidak butuh kecerdasan untuk mengelola industri ekstraktif yang selaras dengan lingkungan. "Itu industri primitif, usang," tandasnya.
Dari persoalan ini, menurut Jamil, tak banyak yang bisa diharapkan dari pemerintah. "Karena mereka pelaku utama," katanya.
Sebab, pemerintahlah yang memberi izin ke perusahaan. "Kalau tidak kasi izin ya tidak mungkin dong beroperasi," ucapnya.
Saat izin dikeluarkan, pemerintah harus siap dengan segala konsekuensi. Termasuk hak-hak makhluk hidup di sekitarnya.
"Pemerintah tidak boleh lepas tangan. Tapi pada akhirnya perusahaan justru mengganti peran negara," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Bagi Jamil, pembangunan akses jalan, rumah ibadah, sekolah, dan sejumlah infrastruktur lewat dana CSR adalah suatu keanehan.
"Ini merendahkan martabat negara. Pemerintah harus malu. Karena praktik seperti itu seakan memperlihatkan pemerintah tidak berdaya," ujarnya.
Negara, kata Jamil, harus bersikap sebagai panglima jika ada perusahaan yang membangkang, terutama yang abai pada aspek lingkungan.
"Karena pemerintah punya hak feto. Tapi akan sulit jika sudah ada relasi dan kepentingan," ujar Jamil.
Kebutuhan atas industri pertambangan perlu dihitung seberapa besar konsekuensi yang diterima oleh masyarakat dan lingkungannya.
Sebab, tidak semua wilayah yang memiliki kandungan mineral layak untuk tambang. "Seperti di daratan Halmahera," katanya.
Karena belum ada teknologi yang bisa diterapkan, dengan tidak menyisakan kerusakan lingkungan hingga menyingkirkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Jadi apa salahnya nikelnya dibiarkan dulu di perut bumi, sampai ada metode atau teknologi yang bisa dipakai tanpa merusak lingkungan," tuturnya.
Namun, Penjabat Bupati Halteng, Ikram Malan Sangaji, menilai kondisi pantai dan nelayan di Weda Tengah dan Weda Utara perlu dikaji.
"Apakah kondisi perairan sekitar disebabkan aktivitas tambang?," tanya Ikram kepada cermat, usai sertijab di Kantor Bupati Halteng, Selasa (27/12).
Menurutnya, penurunan sumber daya ikan hampir terjadi di mana-mana. Termasuk daerah non-industri. Maka dalam konteks ini, perlu pertimbangan para ahli.
"Kebetulan saya doktor perikanan tangkap," kata Asisten Deputi Pengelolaan Perikanan Tangkap, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim pada Kemenko Marives itu.
Sebab, final investment decision (FID) adalah keputusan final dari sebuah investasi yang memasukkan aspek lingkungan dan sosial dalam perizinan. "Jadi jangan sampai ada pemikiran yang menyalahkan tambang," katanya.
ADVERTISEMENT
Ia mengaku akan buktikan bahwa perikanan tangkap skala kecil dalam suatu kawasan industri pertambangan tidak akan terpengaruh secara signifikan.
Caranya, FID diperkuat. Di samping itu, pemda juga harus membuat masyarakat terbiasa hidup di tengah industri. "Makanya saya (diutus) ke sini," tegasnya.
---
Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi cermat, barta1, dan internews