Kolonialisme di Negeri Rempah

Konten Media Partner
17 Februari 2019 19:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pintu depan Benteng Oranje yang menghadap ke laut.  Sebelumnya, Benteng ini bernama Benteng Malayo yang dibangun oleh Portugis. Hingga pada tahun 1607, Laksamana VOC Cornelis Matelieff de Jong, utusan Belanda itu, berhasil mengusir Spanyol dari Ternate. Setelah mengalahkan Spanyol, Matelieff kemudian membangun Benteng di atas lokasi Benteng Malayo. Foto: Faris Bobero/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Pintu depan Benteng Oranje yang menghadap ke laut. Sebelumnya, Benteng ini bernama Benteng Malayo yang dibangun oleh Portugis. Hingga pada tahun 1607, Laksamana VOC Cornelis Matelieff de Jong, utusan Belanda itu, berhasil mengusir Spanyol dari Ternate. Setelah mengalahkan Spanyol, Matelieff kemudian membangun Benteng di atas lokasi Benteng Malayo. Foto: Faris Bobero/cermat
ADVERTISEMENT
Angin laut berhembus. Wangi cengkeh (Syzygium aromaticum), pala (Myristica- fragrans), dan kayu manis berpadu. Saat itu senja beranjak turun. Sembari duduk di bawah pohon, setelah keliling Ternate pada Minggu sore, (17/2). Cermat memotret benteng-benteng peninggalan kolonial.
ADVERTISEMENT
Aroma rempah ini, pada abad ke-16 mendatangkan bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda ke Nusantara. Christopher Columbus bahkan terdorong menjelajahi separuh dunia untuk berburu rempah hingga akhirnya tersasar ke benua Amerika yang dikiranya Hindia tempat asal bumbu.
Aktifitas malam hari masyarakat Kelurahan Tarau, Ternate Utara saat musim panen cengkeh. Foto: Faris Bobero/cermat
Hingga abad pertengahan, cengkeh dan pala menjadi rempah yang paling diburu karena harganya lebih tinggi dibandingkan emas. Cengkeh dan pala saat itu digunakan sebagai penyedap aneka masakan, wewangian, kosmetik, obat-obatan berbagai jenis penyakit, hingga ramuan perangsang birahi. (Jack Turner, Sejarah Rempah).
Bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda saling berebut ingin menguasai jalur rempah. Monopoli perdagangan memuncak. Wangi rempah pun berbuah petaka di kepulauan rempah Maluku ( Ternate, Tidore, Moti, dan Bacan). Perebutan penguasaan ini karena rempah-rempah saat itu menjadi komoditi penting dalam pasar internasional.
ADVERTISEMENT
Peristiwa itu tercatat sebagai Hongi Tochten atau pelayaran membasmi cengkeh oleh Vereenigde Ostindesche Compagnie (VOC) atau Persekutuan Dagang Hindia Timur, yang dibentuk oleh perusahaan Belanda pada Abad ke-16.
Sistem hongi oleh Pemerintah Kolonial Belanda membuat keadaan jadi parah. Kebun cengkeh dan pala warga ditebang bahkan dibakar agar hasil bumi tak melimpah dan membuat harga komoditas turun di pasar Eropa. Hal ini berlangsung hingga abad ke-18.
“Tapi dahulu ada cerita yang berkembang, orang Belanda beli cengkeh dari akar, batang, cabang, ranting, sampai daun. Itu hanya ada di Makeang. Peristiwa pembabatan dan benar adanya tercatat dalam sejarah,” kata Irfan Ahmad, dosen Ilmu Sejarah, Fakultas Satra dan Budaya Universitas Khairun, ketika dihubungi beberapa pekan lalu.
Reruntuhan Benteng Kastela. Salah satu situs benteng terbesar dalam sejarah kolonialisme di Asia Tenggara. Benteng yang dibangun oleh Portugis ini terletak di selatan Kota Ternate. Kata Kastela sendiri merujuk pada kata Castel atau Castillo yang artinya istana atau benteng. Pada Tahun 1540, seluruh pembangunan benteng selesai dibangun dan diberinama Santo Pedro, kemudian dikenal dengan nama Nostra Senora del Rosario, atau Gadis Berkalung Bunga. Foto: Faris Bobero/cermat.
Kolonial tidak hanya merampas sumber daya alam di negeri rempah, namun lebih dari itu telah menguasai cara berpikir orang Maluku dengan “mengaburkan sejarah” bahkan membangun mitos-mitos di tengah kehidupan orang-orang Maluku. Riwayat kelahiran kerajaan-kerajaan di Maluku tidak terlepas dari mitos yang dibangun mirip dengan legenda yang ada di Pulau Jawa seperti legenda Jaka Tarub di Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Saat ini, tak sedikit orang yang memahami nama Maluku hanya sebatas wilayah administratif; Maluku itu Ambon. Padahal, dalam buku 'Kepulauan Rempah-rempah' yang ditulis M Adnan Amal menyebutkan asal-muasal nama Maluku ketika peradaban China, dalam hikayat Dinasti Tang (618-906), Kawasan ini bernama “Mi-li-ki” yang diperkirakan sebagai sebutan untuk Maluku.
Klenteng Thian Hou Kiong dibangun pada 1602 di Ternate. Bangunan aslinya ada sejak zaman VOC. Foto: Gustam Jambu
Penulis China dari zaman Dinasti Tang yang menyebutnya sebagai “Mi-li-ku”. Lalu, pada masa kemudian, barulah diketahui bahwa yang dimaksud dengan Mi-li-ku adalah gugusan pulau-pulau Ternate, Tidore, Makian, Bacan, dan Moti.
Tentu, dalam sejarah panjang Moloku Kie Raha tidak terlepas dari kisah heroik perlawanan rakyat terhadap kolonial bahkan sejarah miris bagaimana orang-orang Maluku diadu domba oleh penjajah.
Tarian Soya-soya pada gelaran Legu Gam di Ternate. Tarian ini dikenal sebagai tarian perang pada masa Sultan Baabullah mengepung Portugis di Benteng Kastela. Foto: Boby Hamsyir
Beberapa sumber mengemukakan peradaban di negeri rempah ini lebih jauh lagi. Hendry N. Ridley (1912) mengemukakan bahwa cengkeh sudah ditemukan bangsa China sejak 220 sebelum Masehi. Ia pun beragumen bahwa bangsa China yang pertama kali menemukan cengkeh di kepulauan Maluku. Jejak cengkeh juga sudah ada jauh sebelum abad pertama Masehi. Hal ini dapat dibaca pada catatan magnum opus-nya Herodotus, The Histories.
ADVERTISEMENT
Dalam dokumen-dokumen Portugis dan Spanyol, menyebut Maluku sebagai Negeri Asal rempah yang dinamakan “Batu China de Moro” sebagai penanda kepulauan milik orang China.
Benteng Tolluco berada di Kelurahan Dufa-dufa, Utara Kota Ternate. Berjarak kurang lebih 3,5 kilometer dari Badara Sultan Baabullah. Awalmulanya, benteng ini didirikan oleh Portugis oleh Francisco Serao pada 1512. Foto: Boby Hamsyir
Sejarah panjang dari berbagai sumber yang ada pun mengajak kita memahami Ternate tidak hanya pada batas administrasi, pulau yang kelilingnya hanya 42 kilometer dan laut sebagai pembatas. Lebih dari itu, orang harus memahami sejarah panjang. Bahkan, hubungan antara pulau-pulau yang ada.
ABD Rahman Hamid dalam bukunya 'Sejarah Maritim Indonesia' mengatakan laut Maluku yang berhadapan dengan kepulauan Philipina serta dekat dengan Mindanau dan Kepulauan Sulu, menghubungkan beberapa pulau rempah-rempah seperti Banda, Ambon, Seram, Ternate, dan Tidore.
***
Adnan Amal (2010: 53) menulis, pada 1250 terjadi eksodus besar-besaran orang-orang Halmahera—di bawah kerajaan Jailolo- ke beberapa pulau di bagian barat, pulau tersebut seperti pulau Ternate, Tidore, Moti dan, Makian.
ADVERTISEMENT
Di Ternate pun lahir komunitas yang disebut Adnan Amal sebagai komunitas tertua yang berkedudukan di Tobona yang dikepalai seorang Momole bernama Guna. Peristiwa ini ditandai sebagai pra kolano (raja). Seiring waktu, para imigran dari Halmahera bertambah dan membangun pemukiman di Foramadiahi sekitar tahun 1254 kemudian dipimpin Mole Matiti lalu terbentuk pula pemukiman ke tiga yakni Sampala yang dikepalai Momole Cico. Hingga pada 1257 terbentuklah kerajaan yang ditandai dengan pengangkatan Kolano (Raja) Ternate.
Periode Momole ini, menurut M. Saleh Putuhena, “baru merupakan kesatuan budaya, bukan merupakan kesatuan politik”. Ternate sebagai kesatuan politik, terbentuk pada periode kolano, ketika empat klan telah terintegrasi ke dalam suatu pemerintahan yang baik. (Sofyan Daud. 2012: 13).
Di sisi lain, dalam perbincangan saya dengan Sofyan Daud, Penulis Buku 'Ternate: Mozaik Kota Pusaka' mengatakan banyak sumber yang mengungkapkan tentang Ternate. Pada 1227 eksodus masyarakat dari Jailolo ke Ternate. Separuh sumber bahkan menyebutkan, eksodus dari kerajaan Loloda.
ADVERTISEMENT
Sofyan mengatakan banyak orang menelusuri Sejarah Ternate merujuk pada Naidah, seorang dari Klan Jiko (1859-1864) yang menjabat sebagai Hukum Soasio. Naidah menulis tentang “Hikayat Ternate”. Dalam bahasa Ternate dengan terjemahan bahasa Melayu kemudian diterjemahkan ke Bahasa Belanda yang merujuk pada terjemahan Melayu.
Catatan Naidah bahkan diterjemahkan oleh P Van der Crab, Residen Ternate (1863-1864). Terjemahan Crab itu diterbitkan pada 1878 dalam Bridragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlandsch Indie (BKI). Menurut Dr. Chris van Fraasen yang pernah meneliti naskah ini di Ternate dengan bantuan Abdul Habib Jiko, terjemahan yang ada banyak menyimpang dari naskah aslinya.
Dalam Buku 'Ternate Mozaik Kota Pusaka', Sofyan mengutip; Sejarah Maluku sebelum kedatangan Portugis adalah sejarah yang ‘diterka’ atau rekaan saja, karena memang tidak ada catatan sejarah dan peninggalan-peninggalan arkeologis penting (Alwi,2005;294). Kemudian istilah Maluku sendiri pun memiliki pengertian yang berbeda-beda dari masa ke masa.
ADVERTISEMENT
“Jangan mengenal Ternate sekena saja pada masa terbentuknya kerajaan. Jika merujuk pada sejarah cengkeh, peradaban kita jauh lebih tua, ribuan tahun sebelum Masehi,” ujar Bang Sof, sapaan akrap Sofyan Daud.
Tanggung jawab Sejarawan
Merujuk pada beberapa sumber yang ada, sejarah Ternate begitu singkat hanya pada era 1200-an, dengan hanya melacak pada peristiwa eksodus orang-orang Halmahera. Bagi Sofyan Daud, jika dilihat dari sejarah cengkeh, maka, kehidupan dan penduduk yang ada di Pulau Ternate lebih jauh dari tahun 1200-an.
“Kiranya, hal ini menjadi tanggung jawab dalam hal melacak lebih jauh tentang sejarah Ternate. Pertanyan mendasarnya adalah, siapa yang membawa cengkeh sejauh itu pada era sebelum masehi?” kata Sofyan.
---
Faris Bobero