Laporan JATAM di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Dibantah Harita Nickel

Konten Media Partner
27 Maret 2023 8:10 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, terlihat dari udara. Dok: JATAM
zoom-in-whitePerbesar
Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, terlihat dari udara. Dok: JATAM
ADVERTISEMENT
Harita Nickel melalui anak usahanya, PT Trimegah Bangun Persada (TBP), akan menambah modal melalui IPO saham dengan valuasi hingga Rp 15,1 triliun.
ADVERTISEMENT
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, hal itu akan menambah daftar derita warga Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Sebab, Pulau Obi yang dipadati penduduk itu akan diluluh-lantakkan oleh operasi tambang dan pabrik smelter milik Lim Hariyanto Wijaya Sarwono.
Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar, menyebut gelontoran dana segar hingga Rp 15,1 triliun dari IPO ini, akan digunakan untuk mempercepat proses produksi.
"Tentu untuk meraih keuntungan berlipat-ganda," ucap Melky dalam keterangan tertulis yang diterima cermat pada Jumat (24/3).
Melky bilang, upaya Harita mengumpulkan tambahan modal tidak lepas dari rencana pembangunan pabrik pengolahan nikel yang kedua di Pulau Obi.
Saat ini, kata Melky, PT TBP sudah memiliki satu pabrik pengolahan nikel di Desa Kawasi dengan menggunakan proses High Pressure Acid Leaching.
ADVERTISEMENT
"Yaitu PT Halmahera Persada Lygend, hasil kerja sama dengan perusahaan asal China, Lygend," ungkapnya.
Menurutnya, ekstraksi nikel yang dilakukan perusahaan di bawah Harita Group telah meninggalkan daya rusak yang panjang. "Tidak terpulihkan," tandasnya.
Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut. Semuanya berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem.
"Kemudian membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal," paparnya.
Menurutnya, dalam operasional industri tambang dan smelter nikel, seluruh suplai energi listriknya bersumber dari batu bara.
"Ini juga telah memicu pembongkaran pulau-pulau lain yang kaya akan batu bara," ujar Melky.
Bagi Melky, ulah Harita di Kawasi bukan hanya dari pembangunan pabrik pengolahan nikel semata, tapi juga dari operasi pertambangan nikel sejak 2010 lalu.
ADVERTISEMENT
Kawasi merupakan kampung tertua di Pulau Obi. Luasnya mencapai sekitar 286 KM2 dan dihuni lebih dari 1.118 penduduk. "Mereka hidup di daratan dan pesisir sejak 1980-an," ujarnya.
Mereka termasuk para pendatang dari Tobelo-Galela, Halmahera Utara, dan sebagian lagi dari Buton, Sulawesi Tenggara. Mata pencaharian warga adalah berkebun dan melaut.
"Sejak perusahaan tambang masuk dan beroperasi, Kawasi berubah menjadi area pertambangan. Kini, wilayah daratan, pesisir, dan laut luluh-lantak," ujarnya.
Mulai dari lahan yang dicaplok, tanaman perkebunan lenyap, sumber air tercemar, polusi udara, air laut keruh-kecoklatan, bahkan ikan-ikan tercemar logam berat.
Ironisnya, kata Melky, proses pencaplokan lahan warga diselimuti kekerasan dan intimidasi. Bahkan sebagian warga yang menolak lahannya digusur justru berhadapan dengan tindakan represif aparat.
ADVERTISEMENT
"Perusahaan selalu menggunakan siasat licik, dengan menerobos terlebih dahulu baru melakukan negosiasi," katanya.
Menurutnya, siasat ini, selain merugikan warga, juga mempersempit pilihan warga untuk bertahan atas tanah yang sudah dikepung oleh operasi pertambangan.
Di saat yang sama, perusahaan mengeklaim jika lahan yang diterobos paksa itu milik negara, meski warga telah menguasai puluhan tahun, bahkan membayar pajak.
"Hampir seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar, akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan," ungkapnya.
Sebelum tambang masuk dan beroperasi, kata Melky, warga bisa mendapatkan air secara gratis. Kini, harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih.
"Sebagian warga yang secara ekonomi kekurangan, terpaksa tetap bergantung pada sumber air yang telah tercemar," kata Melky.
ADVERTISEMENT
Ia mengungkapkan, Air Cermin dan Sungai Loji yang sebelumnya dipakai warga sebagai sumber air bersih, kini telah lenyap.
Sementara Sungai Ake Lamo, sungai terbesar di Pulau Obi, kawasan hulunya tengah dibongkar oleh perusahaan tambang.
"Bukit-bukit yang jadi daerah aliran dan badan sungai telah dikupas, menyebabkan sungai dalam kondisi tercemar dan rusak," tuturnya.
Setelah ruang hidup warga di darat dihancurkan, ruang laut tempat nelayan mencari ikan di Pulau Obi pun turut dirusak dan dicemari.
"Limbah-limbah yang dibuang ke sungai dan mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut berubah warna keruh-kecoklatan," ungkapnya.
Ia menyebutkan, pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan diduga mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar logam berat.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada penelitian Muhammad Aris dalam jurnal ‘Heavy Metal (Ni, Fe) Concentration in Water and Histophathological of Marine Fish, in the Obi Island, Indonesia’ (2020), polusi logam berat di perairan Pulau Obi terakumulasi dalam fisiologis ikan-ikan.
"Logam yang mengontaminasi perairan laut bisa dimakan plankton, lalu plankton dimakan ikan kecil dan ikan besar," tuturnya.
Setelah ruang hidup warga dicaplok dan tercemar, pihak perusahaan kini berencana memindahkan warga di Kawasi ke Ecovillage atau perumahan milik perusahaan.
Lokasi Ecovillage berjarak sekitar 5 kilometer di bagian selatan Kawasi. Perusahaan mengatakan, permukiman warga saat ini terlalu dekat dengan pabrik dan masuk zona rawan gempa bumi.
Sejalan dengan pihak perusahaan, pemerintah daerah juga turut berdalih bahwa pemukiman warga terlalu dekat dengan laut.
ADVERTISEMENT
"Katanya rentan terjadi bencana bila gelombang pasang atau tsunami terjadi," ucap Melky.
Alasan lain yang dipakai untuk menjustifikasi relokasi ini adalah Kawasi dianggap telah kumuh, sampah berserakan di mana-mana, lingkungan tidak sehat dan tak beraturan, serta sering terjadi konflik.
Sejumlah alasan relokasi yang digunakan perusahaan dan pemerintah di atas, kata Melky, adalah sesuatu yang mengada-ada dan ditolak keras warga.
Sebab, selain telah hidup ratusan tahun, justru aktivitas perusahaan tambang yang berada di atas zona gempa itulah yang punya risiko besar bagi keselamatan warga.
Namun, Harita dalam keterangan pers pada Minggu (26/3), membantah tudingan JATAM terkait kerusakan lingkungan akibat operasional pertambangan di Pulau Obi.
Kawasan Desa Kawasi dan pantainya di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Foto diambil pada Minggu (26/3/2023).
Harita menilai, laporan JATAM sangat menyesatkan dan dapat menimbulkan opini tidak baik terhadap upaya pembangunan Harita di Pulau Obi.
ADVERTISEMENT
Corporate Affairs Manager Harita Nickel, Anie Rahmi, menegaskan sistem operasional penambangan PT TBP selalu mengedepankan praktek penambangan terbaik.
PT TBP, kata Anie, mengacu pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 1827 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang Baik.
Dimulai dari pembersihan lahan, pengupasan tanah pucuk, pemindahan tanah penutup, pengambilan bijih limonit untuk diolah di pabrik HPAL dengan teknologi hidrometalurgi.
Kemudian pengambilan bijih saprolit untuk diolah dengan teknologi pyrometalurgi, penutupan lubang tambang, serta reklamasi dan re-vegetasi.
"Kamilah perusahaan pertama yang melakukan konservasi mineral. Artinya, mengurangi sisa batuan yang dimanfaatkan sebagai sumberdaya mineral untuk bahan baku baterai mobil listrik," ujarnya.
Terkait masalah pencaplokan lahan warga yang dituduhkan, kata Anie, seluruh area operasi Harita di Pulau Obi saat ini berada dalam kawasan hutan.
ADVERTISEMENT
Baik Hutan Produksi (HP) maupun Hutan Produksi Konversi (HPK). Bahkan Harita memegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) atas setiap bukaan lahan.
Sedangkan masyarakat yang telah menggarap diberikan tali asih untuk lahan, juga ganti rugi tanam tumbuh sesuai keputusan Pemda Halsel.
"Jadi tidak benar apa yang dituduhkan bahwa perusahaan menguasai lahan melalui tindakan represif, juga intimidasi ke warga," katanya.
Anie menambahkan, penguasaan lahan warga melalui proses transparan dan pembayaran yang menguntungkan bagi masyarakat.
Sementara, pernyataan bahwa hampir seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan, menurut Anie, sangat menyesatkan.
"Tidak ada pembuangan ore nikel ke sumber air warga Kawasi yang menyebabkan sedimentasi," tegas Anie.
ADVERTISEMENT
Selama ini, PT TBP menempatkan sisa hasil pengolahan nikel ke lubang bekas penambangan (Dry Stack).
Dry Stack dianggap sebagai metode yang aman dan ramah lingkungan, serta memenuhi standar nasional dan internasional.
"Tidak ada pembuangan limbah pabrik ke aliran Sungai Todoku dan Sungai Akelemo. Perusahaan selalu taat aturan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan," tegasnya.
Ia bilang, sisa hasil pengolahan tidak ditempatkan di Sungai Toduku maupun Akelamo, tapi di lahan bekas tambang (mine out) dalam bentuk dry tailings.
"Ini sesuai persetujuan teknis dan surat kelayakan operasional (SLO) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," ujarnya.
Memulai operasi pada 2010, perusahaan telah mengantongi izin lingkungan dan izin pengelolaan lingkungan hidup dari pemerintah.
"Kemudian pada 17 November 2020, pemerintah telah menetapkan Harita Nickel sebagai proyek strategis nasional," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Harita juga telah memiliki izin-izin serta persetujuan teknis dari pemerintah untuk pengelolaan sisa hasil proses atau limbah.
"Sisa hasil proses ini dikelola terlebih dahulu dan dilepaskan ke lingkungan dengan memenuhi baku mutu yang ditetapkan, dan dilaporkan berkala ke pemerintah," kata Anie.
Selama beroperasi, pengelolaan limbah perusahaan selalu mendapat inspeksi dan pengawasan berkala, baik dari pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten.
Anie juga menilai, pernyataan pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan diduga mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar logam berat, pun menyesatkan. "Tidak ada pipa eksplorasi ke laut," tegasnya.
Terkait hasil penelitian Muhammad Aris yang dijadikan rujukan, menurut Anie, tidak bisa menjadi kesimpulan bahwa ikan-ikan di Pulau Obi sudah tercemar.
ADVERTISEMENT
"Karena dari penelitian itu tidak disebutkan lokasi titik sampelnya di mana dan tercemarnya karena apa," ujarnya.
Tapi justru sebagian besar pasokan ikan untuk konsumsi karyawan Harita di Pulau Obi diperoleh dari supplier lokal, yakni Desa Kawasi dan Soligi.
Bahkan belum lama ini, Harita menggelar lomba mancing di Kawasi dan peserta dari Desa Kawasi dan Desa Soligi berhasil mengail seekor ikan berbobot 20 kilogram.
"Ini menunjukkan bahwa ikan di sekitar Kawasi masih melimpah. Itu berarti ekosistem laut, terutama di sekitar area tambang, masih terjaga," ujarnya.
Terkait isu relokasi pemukiman warga Desa Kawasi ke Eco-Vollage, kata Anie, merupakan program pemerintah yang didukung oleh perusahaan.
"Karena lokasi saat ini sudah terlalu padat dan berakibat menjadi lingkungan tidak sehat," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ia bilang, pemindahan ke lokasi yang baru luasnya tiga kali lipat dari luas yang ada saat ini. Bahkan semua unit rumah permanen.
"Dilengkapi juga sanitasi yang sangat baik, sekolah, fasilitas sosial, dan dilengkapi fasilitas air bersih, listrik 24 jam, dan fasilitas pendukung lainnya," ujarnya.
Pemukiman yang baru ini, kata Anie, akan meningkatkan kelayakan hidup masyarakat.
"Saat ini program Eco-Village sedang dalam proses penyelesaian dan didukung oleh sebagian besar masyarakat Desa Kawasi," tandasnya.