Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
![Gunung Dukono di Halmahera Utara, Maluku Utara, yang terus mengeluarkan abu vulkanik. Foto: Faris Bobero/cermat](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1574493462/f9dbvfu04y1q8zoezoyv.jpg)
ADVERTISEMENT
Kepulauan Maluku pernah dilanda gempa bumi dan tsunami skala besar. Dalam catatan sejarah, antara tahun 1600 hingga 2015, lebih dari 85 kali tsunami terjadi di kepulauan Maluku.
ADVERTISEMENT
Menurut Pengurus Daerah Maluku Utara Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), M. Fikri Abubakar, dari beberapa kasus yang ada, gempa bumi dan tsunami dengan skala yang besar dapat terjadi lagi.
“Jadi, gempa bumi dan tsunami dengan skala besar bisa terjadi lagi 10 atau 20 tahun kedepan. Olehnya itu, kita harus tahu apa itu gempa bumi dan tsunami. Maluku Utara juga butuh model mitigasi bencana untuk waspadai hal ini,” ujar Fikri, dalam diskusi yang digelar IAGI Maluku Utara (Malut) bertajuk ‘Sejarah Tsunami dan Seismisitas Halmahera’ di Resto Grand Fatmah, Moya, Ternate, Maluku Utara pada Rabu malam (20/11).
Selain Fikri, yang membawakan materi tentang Paleostunami, hadir juga Kepala Stasiun Badan Metiorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Ternate, Kustoro Hariatmoko.
ADVERTISEMENT
Fikri juga memaparkan, catatan sejarah dalam Catalogue of Tsunamis on The Western Shore of the Pacific Ocean yang disusun oleh S.L. Soloviev and Ch. N. Go (1974) serta catatan sejarah tsunami, yang menyebut wilayah Maluku pernah terjadi 85 peristiwa tsunami. Secara keseluruhan, di Indonesia telah tercatat sebanyak 2010 kejadian tsunami. Dengan demikian, kurang lebih 40% kejadian tsunami di Indonesia terjadi di Maluku.
Menurut Fikri, Malut memiliki tatanan geologi paling rumit di dunia, karena memiliki tiga lempeng tektonik yakni lempeng Eurasia, lempeng Pasifikmdan Lempeng Indo Australia.
“Jadi, sesar yang terjadi akibat dari aktivitas tiga lempeng ini,” ungkap Fikri, pada cermat, Kamis (21/11) malam, pukul 23.30 WIT.
Gempa berkekuatan M 7,1 pada Kamis (14/11) pukul 23.17 WIB ini pun menjadi alaram untuk mengantisipasi potensi bencana di masa datang.
Fikri bilang, stakeholder terkait, BNPBD misalnya, sudah memetakan soal tata kota dan mitigasi. Kajian yang dilakukan itu, telah membuat peta kawasan rawan bencana.
ADVERTISEMENT
“Di ternate, di daerah pesisir dan belakang gunung, pasti ada markah—penunjuk jaluar evakuasi maupun daerah rawan bencana,” katanya.
Sementara itu, Kepala BMKG Ternate, Kustoro Hariatmoko mengatakan, riwayat tsunami untuk sesar Sula-Sorong itu terjadi dua kali pada tahun 1963 dan 1998 di Pulau Mangoli, Kabupaten Kepulaun Sula. “Tapi riwayat gempa besar di wilayah Halsel itu juga ada. Di Selatan Gane juga pernah terjadi gempa besar,” ungkap Kustoro.
***
Kustoro bilang, soal mitigasi, masyarakat perlu mendapat informasi yang benar. Alat atau sistem monitoring gempa bumi dan tsunami juga sudah dipasang di Malut.
“Jadi, yang selama ini kita cuma punya 6, tahun ini kita tambah 6, jadi 12. Nanti di instal mulai dari bulan November sampai Desember tahun 2019. Pada tahun 2020 rencananya akan ada penambahan lagi sekira 7 atau 8 alat monitoring,” kata Kustoro.
ADVERTISEMENT
Sistem monitoring yang telah dipasang yankni di daerah Pulau Morotai, Galela, Ibu, Jailolo, Ternate, Wasile, Weda, Saketa, Pulau Makeang, Labuha, Obi, dan Sanana.
Tahun 2020 ada penambahan alat monitoring gempa dan tsunami untuk Taliabu, Mangoli, Bacan Timur, Gane, Maba Selatan, Gebe, Morotai, Kao, dan Mayau, Pulau Batang Dua.
“Di pulau Batang Dua itu permintaan warga, untuk pemasangan alat monitoring. Permintaan ini saya sampaikan ke pimpinan. Alhamdulillah alat itu dialokasikan tahun 2020,” ungkapnya.
Menurutnya, alat tersebut penting untuk masyakat Pulau Batang Dua karena pertama, lokasi tersebut paling dekat dengan gempa bumi. Yang kedua, sudah berapa kali gempa merusak di sana.
Kearifan Lokal
Beberapa daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal yang kuat untuk mitigasi bencana. Salah satunya yang terdapat di Kabupaten Simeulu, Provinsi Aceh. Kearifan lokal orang Simeulu menyebut smong (tsunami) dan linon (gempa). Kata smong dan kejadian tsunami 1907, pernah ditulis dalam buku Martinusnijhof, S-Gravenhage, tahun 1916, olah penulis Belanda. Saat itu Simeulu masih di bawah kekuasaan kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
Artikel "Syair Nandong Pengingat Smong" yang ditulis Adi Warsidi mengatakan, kearifan lokal tentang smong mengakar di Simeulu, menjadi budaya mereka. Adalah tsunami yang terjadi pada 4 Januari 1907 sebagai pemicunya. Banyaknya korban kala itu, kisah diteruskan ke anak-cucu, sampai kini.
Tsunami 26 Desember 2004 silam, hanya enam orang meninggal di Simeulu. Mereka bergerak cepat mengungsi ke bukit-bukit saat gempa 9,2 Skala Righter menggada perairan Aceh. “Soal bencana gempa, warga di sini sudah sangat mengerti, karena kearifan itu,” kata Naskah Bin Kamar, Sekretaris Daerah Simeulu.
Pengurus IAGI Maluku Utara, M. Fikri Abubakar mengatakan, saat ini, Maluku Utara perlu adanya penelitian terkait kearifan lokal untuk model mitigasi bencana kedepan. Fikri bilang, di Maluku Utara mengenal tsunami baru pada tahun 2004. Kata Tsunami sendiri berasal dari Jepang.
ADVERTISEMENT
Sekjen IAGI Maluku Utara, Budi Luhur Nur Ali mengatakan, IAGI Maluku Utara akan terus melakukan dialog dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan mitigasi bencana.
"Mitigasi bencana adalah keharusan. Kami, bahkan masyarakat umum di Malut perlu tahu apa itu gempa dan tsunami, waspada jika hal ini terjadi lagi," ungkap Budi.
Budi bilang, saat ini IAGI juga akan fokus ke anak-anak muda. Mereka akan masuk di sekolah-sekolah di kota Ternate, memberikan sosialisasi mitigasi bencana besama stakeholder terkait.