Mangrove Desa Kao Diusulkan jadi Kawasan Ekosistem Esensial

Konten Media Partner
18 Desember 2019 10:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga melintasi sungai di kawasan ekosistem mangrove Desa Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara. Foto: Adlun Fiqri/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Warga melintasi sungai di kawasan ekosistem mangrove Desa Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara. Foto: Adlun Fiqri/cermat
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kawasan mangrove di Desa Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara, memiliki keunikan tersendiri. Sungai yang mengalir di antara vegetasi mangrove hingga pesisir pantainya, menjadi lokasi bertelurnya penyu dan burung endemik Gosong Maluku. Kawasan ini juga menjadi ekosistem bagi 23 spesies burung.
ADVERTISEMENT
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku, Mukhtar Amin Ahmadi, memaparkan kawasan mangrove Kao memiliki sumber daya alam hayati yang bernilai penting.
Hal itu membuat pihaknya turut mendorong, agar dijadikan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).
"Fungsi kami di Balai KSDA Maluku adalah kegiatan memfasilitasi terkait terbentuknya kawasan ekosistem esensial, kebetulan di Halmahera Utara ini adalah hutan mangrove di Desa Kao," ujar Mukhtar dalam Sosialisasi dan Konsultasi Publik Deliniasi KEE Kao di Tobelo, Halmahera Utara, Senin (16/10) kemarin.
Dalam pengusulan KEE Kao, kata Mukhtar, telah dilakukan inventarisasi hingga delineasi kawasan oleh forum kolaborasi yang sebelumnya telah terbentuk.
"Hari ini dilakukan konsultasi publik. Mudah-mudahan tidak lama lagi diusulkan surat keputusan (SK) bupati, terkait penetapan KEE Hutan Mangrove Kao," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Mukhtar bilang, jika SK penetapan sudah ada, maka kegiatan pengelolaannya mulai diimplementasikan."Jadi itu dikelola secara rame-rame oleh stakeholder yang tergabung dalam forum kolaborasi," katanya.
Kawasan ekosistem mangrove Desa Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara. Foto: Adlun Fikri/cermat.
Taufick Max, Kepala Desa Kao, bercerita, luasan kawasan mangrove di desanya yakni 404 hektar. Pohon mangrove, kata Taufick, sering ditebang oleh sebagian warga untuk kepentingan ekonomis.
Mengatasi masalah tersebut, pihaknya mengeluarkan peraturan Desa tentang Pelestarian Lingkungan Hidup pada tahun 2017 dan giat melakukan sosialisasi hingga saat ini.
Saat ini, kata dia, salah satu visi Desa Kao ialah menjadi kawasan ekowisata mangrove."Itu telah masuk dalam RPJMD (rencana pembangunan jangkah menengah desa) Kao, sesuai kajian potensi dan masalah di desa," ujarnya.
Taufick bilang, untuk mewujudkan visi itu, desanya bermitra dengan berbagai pihak. "Kami lakukan konsultasi awal September lalu, mereka mengadakan workshop Kolaborasi Pengelolaan Mangrove dan Satwa Liar di Desa Kao," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kegiatan tersebut menghadirkan sejumlah mitra dari Pemerintah Daerah Halmahera Utara, Dinas Pariwisata, Balitbangda, Universitas Halmahera, PW AMAN Maluku Utara, Burung Indonesia, Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Balai KSDAE, Kelompok Pemangku Hutan, Forum Daerah Aliran Sungai dan sejumlah instansi lain.
Kepala Desa Kao, Taufick Max saat memaparkan usulan KEE Kao pada kegiatan konsultasi publik di Tobelo, Halmahera Utara. Foto: Universitas Halmahera
"Hasilnya dibentuk struktur forum kolaborasi dan kita menetapkan rencana aksi," tuturnya.
Forum Kolaborasi Pengelolaan KEE itu total berisi 18 anggota dan 19 mitra organisi, dengan kepala Desa Kao sebagai ketua forum.
"Salah satu rencana aksi kami adalah pengusulan kawasan KEE. Kemarin kami melakukan delineasi kawasan untuk diusulan menjadi KEE," ujarnya.
Dari hasil delineasi, lanjut dia, kawasan mangrove Kao yang diusulkan untuk ditetapkan menjadi kawasan ekosistem esensial seluas 300, 92 hektar.
"Waktu perencanaan ini kita sepakati selama 2019 dan 2020. Jika sudah ditetapkan, kami akan mulai pembangunan dan pengembangan pariwisata berbasis konservasi," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Taufick menambakan, saat ini mereka tengah melengkapi data pendukung pengajuan KEE Kao, agar segera ditetapkan oleh pemerintah.