Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten Media Partner
Melihat Kehidupan Para Lansia di Himo-himo Ternate (Bagian 1)
26 Agustus 2019 19:11 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB

ADVERTISEMENT
Siang itu, Rahmad sedang asyik menonton televisi. Jarak antara tempat ia duduk dengan layar kaca tak telampau jauh, bahkan kurang dari satu meter. Di samping Rahmad, tersandar satu alat penyangga untuk berjalan. Wajahnya riang menatap layar yang saat itu menampilkan program talkshow berbalut komedi.
ADVERTISEMENT
Tak berapa lama Hasan muncul dari bagian belakang wisma Flamboyan. Sama seperti Rahmad, wajah Hasan pun menampilkan senyuman yang khas kendati tak banyak giginya yang tersisa. Hasan berada di atas kursi roda, ia saat itu didorong oleh salah seorang petugas bernama Fadli.
“Dulu sempat keseleo, jadi kalau berdiri kaki saya sudah tak seimbang lagi antara kanan dan kirinya,” ucap Hasan sambil mencoba berdiri dari kursi roda.
Postur Hasan lebih kurus ketimbang Rahmad. Wajahnya tirus sehingga menampilkan tonjolan di bagian pipi. Hasan dulunya bekerja sebagai kuli bangunan. Ia berasal dari Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Ingatannya tak kunjung menemukan tahun pasti kapan ia menginjakkan kaki di Ternate.
“Waktu masih presiden Suharto,” kata Hasan, sebagai penanda awal ia ke Ternate.
Saat itu, ia datang ke Ternate untuk berdagang. Semula ia tinggal di Mangga Dua, tepatnya wilayah yang kini telah direklamasi. Hasan dan ratusan orang tergusur dan mesti pindah ke Fitu, Ternate Selatan.
ADVERTISEMENT
Hasan dan Rahmad adalah dua dari 60 penghuni di Himo-himo, panti sosial yang terletak di kelurahan Ubo-Ubo, Ternate Selatan. Satu-satunya panti yang menampung para lansia di Maluku Utara.
Lokasi Himo-himo tepat berada di depan jalan raya, namun begitu, kata Fadli, tak banyak orang Ternate yang pernah masuk ke sana. Ini berkaitan dengan stigma yang melekat pada panti tersebut.
“Orang berpikir di sini adalah tempat buangan. Padahal banyak dinamika yang terjadi di sini. Mulai dari sedih, lucu, hingga kegembiraan, semua ada di Himo-himo,” katanya.
Stigma seperti itu memang dirasakan oleh sebagian penghuni panti, terutama datang dari keluarga mereka. Salah satunya adalah Sumiati, perempuan paruh baya yang berasal dari Desa Pangauban, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Nama aslinya adalah Sadiah, namun semenjak tinggal di panti, namanya diganti menjadi Sumiati. Alasannya, kata dia, karena anak-anaknya merasa malu ia tinggal di panti. Padahal itu adalah keinginan dia sendiri.
Pribadi Sumiati cenderung mudah berteman. Sosoknya ramah dan penuh belas kasih, juga menaruh perhatian pada teman-temannya di dalam panti. Ia sering kali turut membantu mengantarkan makanan untuk warga panti.
Wajah Sumiati berubah miris tatkala perbincangan beralih kepada Hajija, warga panti yang tinggal persis di samping kamarnya. Hajija berasal dari Gorontalo, merantau ke Ternate setelah anak dan suaminya meninggal dunia.
Seperti Hasan, Hajija tak memiliki keluarga di Ternate. Kini ia sebatang kara dan mengidap penyakit yang cukup parah. Wajahnya kurus, pandangannya kosong, namun satu hal yang menarik adalah rambut Hajija masih tampak bagus terurai.
ADVERTISEMENT
Sumiati bercerita, selama di panti, Hajija jarang keluar kamar, ia hanya terbaring di tempat tidur. Untuk urusan makan, Hajija harus dibantu oleh Sumiati.
Kematian adalah barang lumrah di dalam panti. Mukdas Marsaoly, seorang petugas panti yang sudah bekerja di sana sejak tahun 1982 bercerita, ia berulang kali bersentuhan dengan meninggalnya penghuni panti.
Dulu, ia begitu dekat dengan seorang anggota panti. “Om Bakar namanya,” kata Mukdas. Selama seminggu sebelum meninggal dunia, almarhum selalu mewanti-wanti kepada Mukdas agar saat meninggal, dirinya tak dikebumikan di halaman belakang panti, ia ingin dimakamkan di Pekuburan Islam yang berada di kelurahan Santiong, Ternate Tengah.
“Setiap hari beliau selalu ingatkan kepada saya, ‘Das, ingat e kalau saya meninggal, kubur saya di kubur Islam,” ucap Mukdas menirukan perkataan almarhum saat itu.
ADVERTISEMENT
Pada suatu pagi, almarhum kembali mengingatkan keinginannya kepada Mukdas, namun tak hanya itu, pagi itu ia berkata ingin memakan papeda. Tak menunggu waktu lama, Mukdas lantas memerintahkan istrinya untuk membuatkan makanan tersebut.
“Namun belum sempat dibawakan papeda, beliau sudah wafat,” katanya. Permintaan almarhum kepada Mukdas pun segera ditunaikan.
Mukdas telah banyak memakan asam garam selama bekerja di Himo-himo. Awalnya, saat pertama kali bekerja, ia mengaku kesulitan, terutama merasa jijik ketika harus menangani penghuni yang tak lagi bisa melakukan apa-apa, termasuk mandi dan membersihkan diri usai buang hajat.
Semua itu telah dilakukan Mukdas. Tak heran, teman-temannya yang dulu memulai pekerjaan di sana sama-sama, tak kuat melanjutkan dan memilih keluar pada tahun kedua atau ketiga.
ADVERTISEMENT
Mukdas melayani orang tua ketika dirinya masih muda hingga saat ini usianya menginjak 60 tahun. Ia adalah orang tua yang masih melayani orang tua lainnya.
“Ada semacam kepuasan batin ketika torang (kami) bisa membersihkan mereka. Ketika mereka senang, saya juga senang,” katanya.
Awalnya ia merasa jijik, tapi kini, perasaan itu sudah tak lagi menghinggapinya. Dari sini, ia merasa hidupnya menjadi lebih memiliki arti.
Tak semua lansia bisa tinggal di Himo-himo, ada semacam persyaratan yang diberikan oleh pihak panti. Salah satunya adalah mereka yang telantar dan memiliki kesusahan secara ekonomi.
Mekanisme yang digunakan biasanya pihak panti menerima laporan, entah itu dari warga maupun pemerintah kelurahan. Dari situ petugas akan mendatangi calon penghuni untuk mencari tahu apakah yang bersangkutan dapat tinggal di Himo-himo atau tidak.
ADVERTISEMENT
Baca kelanjutannya: