Melihat Pembuatan Bagea, Kuliner Tradisional Khas Ternate

Konten Media Partner
21 Juli 2019 18:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu ibu sedang mengeluarkan bara api. Tempat bagea dimatangkan. Foto: Gustam Jambu/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu ibu sedang mengeluarkan bara api. Tempat bagea dimatangkan. Foto: Gustam Jambu/cermat
ADVERTISEMENT
Bagea namanya, salah satu penganan yang wajib dicicipi saat mampir di Kota Ternate, Maluku Utara. Teksturnya cenderung keras pada gigitan pertama, namun setelahnya adalah gurih yang terasa.
ADVERTISEMENT
Fauziah, Ella, dan Eli, pekerja purnawaktu Industri Kecil Menengah (IKM) milik Inayat Alhadar, berdiri melingkari sebuah meja. Di hadapan mereka ada tumpukan kacang kenari yang telah ditaburi garam. Sesaat kemudian, ketiganya tampak terampil mengaduk adonan tersebut.
Salah satu ibu saat membakar kayu di dalam Forno. Setelah itu, bara yang telah menjadi abu dikeluarkan, lalu dimasukkan adonan bagea. Hal ini sudah dilakukan tiga generasi mereka di Kampung Tenga, Ternate. Foto: Gustam Jambu/cermat
Bagea adalah salah satu jenis kue yang diproduksi di sini. Dalam sekali produksi, Inayat mengaku mampu membuat bagea sebanyak tujuh baki. “Dalam satu hari dua kali bikin,” katanya, beberapa waktu lalu.
Sebetulnya tak terlalu sulit membuat adonan penganan yang satu ini. Bahan-bahan yang diperlukan hanyalah kacang kenari, garam, telur –yang diambil kuningnya, dan bubuk sagu. Untuk komposisi setiap bahan, Inayat membutuhkan 7 kilogram kacang kenari, 25 butir telur, serta sagu sebanyak 5,5 kilogram.
ADVERTISEMENT
Setelah tercampur merata, adonan tersebut kemudian dibentuk menjadi semacam tabung kecil dengan menggunakan pipa.
Proses mengemas bagea. Foto: Rizal Syam/cermat
“Proses ini namanya baloco,” ucap Fauziah yang kemudian ditanggapi dengan tampang heran kru cermat.
Bukan apa-apa, frasa yang diucapkan Fauziah itu punya makna ganda yakni masyarakat lokal mengenal kata itu sebagai laku sensual. Kesulitan justru terdapat pada proses pembakaran.
Alih-alih menggunakan oven modern, Inayat memilih menggunakan forno, oven tradisional yang sejak dulu digunakan generasi pertama mereka, di Kampung Tenga. “Sebenarnya bisa saja kalau pakai oven gas modern, tapi bagea ini butuh panas yang tinggi,” kata Inayat.
Suasana di dapur, salah satu ibu saat menyapu di dapur, sambil menunggu nyala api menjadi bara di forno. Foto: Gustam Jambu/cermat
Benar saja, saat proses pembakaran, suhu di sekitar meningkat drastis. Dibutuhkan dua ikat kayu bakar untuk proses tersebut. Semula, kayu tersebut dibakar di dalam forno. Api membakar lubang forno, menghasilkan asap yang keluar melalui cerobong. Saking panasnya, dalam proses ini Fauziah harus mengenakan jaket, sarung tangan, serta helm. Sekilas ia seperti biker.
ADVERTISEMENT
Lalu, setelah api mulai mereda dan meninggalkan bara, tumpukan bara itu lantas diratakan hingga ke sudut forno. “Biar panasnya merata sampai ke dinding forno,” jelas Fauziah. Proses ini membutuhkan waktu 10 menit.
Inayat Alhadar berpose di depan jualan miliknya. Foto: Rizal Syam/cermat
Setelahnya, bara tersebut dikeluarkan. Loyang-loyang berisi bagea pun dimasukkan. Proses pembuatan bagea ini hanya menggunakan uap panas. Setelah dimasukkan, pintu forno ditutup dengan dilapisi karung basah. Alasannya agar uap panas tak menguap ke luar.
Proses penguapan ini butuh waktu 20 menit. Fauziah mengatakan, penguapan pertama bertujuan untuk mengeringkan adonan. Setelah itu, bagea yang sudah setengah matang dikeluarkan dari forno.
Loyang diganti dengan ukuran yang lebih besar, lantas dimasukkan kembali. Proses yang kedua ini, membutuhkan waktu lebih lama. “Sekitar dua jam lebih,” ucap Fauziah. Usai dua jam, bagea matang, dan sudah siap untuk dikemas ke dalam kantong plastik.
ADVERTISEMENT
Inayat menjalankan usaha penganan khas Ternate ini sejak 1997, ia meneruskan bisnis keluarga yang sudah berlangsung sejak lama. Ia memiliki sebuah toko mungil di sudut jalan Nukila, Kelurahan Gamalama, Ternate Tengah.
Kue-kue milik Inayat juga dijual di beberapa tempat seperti pusat Oleh-oleh Ternate dan Batik Tubo. Untuk satu bungkus bagea kenari dipatok seharga Rp 40 ribu
Usaha miliknya kini memiliki omzet yang terbilang besar, dalam sebulan ia berhasil mengumpulkan setidaknya Rp 20 juta–Rp 30 juta.
Terkait bagea, Inayat mengaku banyak pembeli yang terkejut dengan rasanya. “Mereka bilang awalnya keras, tapi pas gigitan selanjutnya rasanya gurih.”
Konon ada sebuah adagium tentang penganan bagea ini; bak manusia, di luarnya tampak begitu keras dan kokoh, namun di dalam dirinya ada sisi yang liyan; lembut dan bisa jadi rapuh seperti bagea.
ADVERTISEMENT
---
Reporter: Rizal Syam
Editor: Faris Bobero