news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menengok Kehidupan Suku Tobelo di Belantara Halmahera

Konten Media Partner
7 April 2019 12:21 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mengenal Orang Tugutil
Salah satu Orang Tugutil di Wilayah Wasile, Halmahera Timur, Maluku Utara. Ia baru saja mengambil kayu yang sudah mati di hutan untuk dijadikan perapian di dapur. (Foto: Faris Bobero/cermat)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu Orang Tugutil di Wilayah Wasile, Halmahera Timur, Maluku Utara. Ia baru saja mengambil kayu yang sudah mati di hutan untuk dijadikan perapian di dapur. (Foto: Faris Bobero/cermat)
ADVERTISEMENT
Kata "Tugutil" sebenarnya adalah sebutan yang dikemukakan oleh peneliti asal Belanda, J. Platenkamp, untuk Suku Tobelo yang hidup di belantara Halmahera. Platenkamp sendiri memang dikenal sebagai salah satu orang asing yang tertarik meneliti komunitas Tugutil.
ADVERTISEMENT
Platenkamp pernah tinggal lama di kompleks Dufa-Dufa, Tobelo, Halmahera Utara. Ia lama menelusuri di Kampung Kusuri hingga Iga Labi-Labi,” ungkap Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Syaiful Madjid, ketika ditemui di rumahnya di Jati, Ternate, Maluku Utara, Jumat (5/4).
Peneliti Suku Tobelo ini bilang, kata Tugutil sebenarnya ada dalam Bahasa Tobelo, yakni O’Tau Gutili atau rumah obat.
Syaiful, dalam penelitiannya, juga mengidentifikasi Suku Tobelo dengan menyebutkan Tobelo Dalam dan Tobelo Luar. Tobelo Dalam, dalam penyebutan orang Tobelo sendiri, yakni O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di dalam hutan), sedangkan Tobelo Luar, yakni O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di luar hutan).
Salah satu anak muda Orang Tugutil di hutan di Halmahera yang masuk wilayah Administrasi Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Ia sedang membersihkan daging untuk dimasak di dalam bambu. (Foto: Faris Bobero/cermat)
“Saya tidak suka dengar orang bilang Suku Tugutil primitif. Mereka, Tugutil juga punya makna soal kehidupan. Punya sistem nilai dan kepercayaan,” ungkap Syaiful, yang masa kecilnya berada di Dodaga, Halmahera Timur, tempat masyarakat Tobelo Dalam atau O'Hongana Manyawa bermukim.
ADVERTISEMENT
Dalam adat Tobelo, setiap kelahiran bayi perempuan dirayakan dengan lima bibit pohon, sedangkan bayi laki-laki ditandai dengan 10 bibit pohon. “Lelaki Tobelo bertanggung jawab dalam mencari nafkah, sehingga mereka harus menanam pohon lebih banyak. Tradisi ini menjadi contoh bagaimana manusia hidup harmoni dengan alam sekitar,” ujarnya.
Komunitas O'Hongana Manyawa mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dengan cara berburu, meramu, berladang-berpindah, dan mencari ikan atau kombinasi dari cara-cara tersebut. Pemenuhan kebutuhan komunitas ini masih bersifat subsisten, karena mereka hidup selaras dengan kondisi alam sekitarnya sesuai dengan nilai-nilai kearifan lingkungan.
Proses memasak daging buruan di dalam bambu oleh Suku Tobelo di dalam hutan Halmahera. (Foto: Faris Bobero/cermat)
Pengetahuan dan kepercayaan mereka pada kesatuan hutan itu menjadi kekuatan yang dapat memengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupan sehari-hari komunitas ini.
“Dalam alam pemahaman mereka tentang bagaimana memperlakukan hutan merupakan jaminan bagi ketahanan pangan mereka, hutan tidak hanya merupakan sumber daya ekonomi, tetapi telah menjadi suatu kosmos di mana aspek-aspek religi, sistem pertanian dan perburuan, serta aspek kebudayaan yang lain berinteraksi membangun suatu kehidupan yang utuh,” jelas Syaiful.
ADVERTISEMENT
Hal ini sangat berkaitan dengan pemaknaan kosmologi sosial komunitas O'Hongana Manyawa yang membagi lingkungan ekologi hutan ke dalam satu kesatuan (kesatuan rumah, kesatuan pemukiman, dan kesatuan hutan).
Bivak, tempat tinggal kakek Tulu, salah satu tetua orang Suku Tobelo, Orang Tugutil di Hutan Wasile Halmahera Selatan, Maluku Utara. Tulu tidak ingin tinggal di pemukiman yang disediakan pemerintah karena lebih betah di hutan. (Foto: Faris Bobero/cermat)
Konseptualisasi diri dan lingkungan O'Hongana Manyawa yang tertuang dalam tradisi lisan Wawango (hidup) dan Lilingiri (cari) menjadi acuan untuk menginterpretasi kehidupannya di lingkungan hutan, begitu juga perilaku sosial komunitas O'Hongana Manyawa dalam mengelola hasil hutan erat kaitannya dengan sistem nilai yang terdapat dalam tradisi lisan yang mengatur sikap dan pola tindakan dari komunitas O'Hongana Manyawa dalam melindungi hutan di kesatuan hutan masing-masing.
Bagi O'Hongana Manyawa pada umumnya, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Wowango ditempatkan untuk kepentingan komunitas O'Hongana Manyawa pada masa akan datang (masa depan), dalam arti: setiap warga komunitas dituntut untuk menjaga dan melestarikan hutan beserta isinya untuk kelangsungan kehidupan anak cucu mereka.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, nilai yang ada di dalam tradisi Lilingiri, yakni berisi aturan-aturan yang menentukan sikap dan perilaku O'Hongana Manyawa dalam pemenuhan kebutuhan meramu dan berburu di dalam kehidupan mereka di hutan.
“Bagi orang O’Hingana Manyawa, anak yang sudah sudah bisa berburu, memasang jerat, adalah mereka yang sudah bisa mengidentifikasi masa depan dan bertahan hidup,” katanya
Penyebaran Suku Tobelo
“Asal mula mereka itu dari Telaga Lina di Halmahera Bagian Utara, kemudian menyebar ke hutan-hutan di Halmahera, seperti Halmahera Tengah dan Halmahera Timur,” ungkap Syaiful Madjid.
Salah satu anak perempuan dan ibu di Hutan Halmahera. (Foto: Faris Bobero/cermat)
Syaiful bilang, Suku Tobelo Dalam terbagi menjadi empat, yakni Modole (mendiami Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Boeng (mendiami Halmahera Utara, Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Pagu (Halmahera Utara), dan Hoku.
ADVERTISEMENT
Terkhusus Hoku, sub suku ini disebut juga Canga atau orang Tobelo yang berada di pesisir. Sub suku ini, menurut Syaiful, dinyatakan punah. “Kemungkinan besar, suku yang berada di Naulu, Maluku, yang biasa dibilang Halefuru adalah orang Hoku, sebab, ada sebagian dialek yang mirip dengan Bahasa Tobelo,” ungkapnya.
Dalam catatan-catatan penelitian sejarah menyebutkan, daratan Halmahera bagian utara hingga tengah banyak dihuni oleh Suku Tobelo yang asal muasalnya dari Telaga Lina. Mereka adalah kelompok etnis paling banyak yang tersebar di Maluku Utara.
Perempuan Tugutil di Hutan Halmahera. (Foto: Faris Bobero/cermat)
Telaga Lina menjadi ‘rumah’ awal peradaban Suku Tobelo membangun kampung atau wilayah yang disebut hoana.
Leirissa dalam disertasinya tentang Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara menyebutkan, sejak pindah ke pesisir, masyarakat Tobelo terbagi menjadi empat hoana, dan ketika mereka pindah ke Distrik Kau (sekarang Kao, Halmahera Utara), terbentuk lagi empat hoana.
ADVERTISEMENT
Solidaritas setiap hoana tergantung pada cikal-bakal pemujaan yang dilakukan dalam tempat pemujaan bersama yang disebut O Halu.
Syaiful menyayangkan soal pemberitaan beberapa media yang cenderung menyudutkan O’Hongana Manyawa. Beberapa media bahkan menyebutkan suku ini belum beradab, primitif, kelaparan di hutan, dan sebagainya.
Padahal, O’Hongana Manyawa punya sistem kepercayaan dan sistem nilai.
---
Penanggungjawab cermat partner resmi kumparan 1001 media online