Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Mengenal Orang Togutil yang Hidup di Hutan Halmahera (Bagian 1)
26 Maret 2021 17:27 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, penyematan kata “Suku Togutil’ menjadi stereotip, untuk sub etnis Tobelo ini, yang tinggal dan bergantung hidup di hutan. Di beberapa tempat, cermat menemukan O’Hongana Manyawa juga berkebun. Lalu, bagaimana asal-usul O’Hingana Manyawa, sub etnis Tobelo ini?
Syaiful Madjid, Peneliti Sub Etnis Tobelo ini mengatakan, dalam penelitiannya, ia membagi dua kelompok untuk mengidentifikasi. Pertama, ia menyebutnya Tobelo Dalam. Hal itu berdasarkan penyebutan dari komunitas tersebut yang dalam bahasa Tobelo yakni O’Hongana Manyawa, atau orang (Tobelo) yang tinggal di hutan.
Sementara, yang kedua adalah Tobelo Luar, atau dalam bahasa Tobelo disebut O’Berera Manyawa yang artinya orang Tobelo yang tinggal di luar hutan atau pesisir.
Sejarah Orang Tobelo
Dalam beberapa sumber sejarah menyebutkan, sub etnis Tobelo ini, dahulu kala lari ke hutan karena menghindar pajak oleh pemerintah Kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
“Sebagian cerita rakyat juga menyebutkan bahwa Orang Tobelo yang tinggal di hutan itu lari dari blasting atau sistem pajak oleh pemerintah Kolonial Belanda,” ungkap Irfan Ahmad, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Khairun Ternate, Kamis (25/3).
Kata Irfan, berdasarkan catatan Leirissa (1990), sejak Orang Tobelo bersekutu dengan Kesultanan Ternate dan mengakui pemerintahan Kolonial Belanda pada Abad XVII, Orang Tobelo kemudian dibagi menjadi dua komunitas yakni, Tobelo Tia atau Tobelo Pedalaman, yang bermata pencarian utama sebagai petani dan Tobelo Tai atau Tobelo Laut yang bermata pencarian sebagai nelayan.
“Pembagian (komunitas) ini dilakukan oleh Kolonial Belanda, untuk mengetahui dan membedakan penduduk Tobelo yang sudah keluar dan hidup di pesisir pantai,” kata Irfan.
Sebelum orang Eropa tiba di Maluku (utara) khususnya Halmahera bagian utara (saat ini Tobelo). O’Hongana Manyawa yang masih menempati wilayah pesisir saat itu kemudian menamakan kelompok etnik dengan sebutan Tobelo.
ADVERTISEMENT
Kata Tobelo berasal dari dua suku kata, yaitu To yang berarti orang, dan Belo artinya sepotong kayu/tiang yang ditancapkan ke pasir (atau dijangkar). Suatu kisah lama menceritakan bahwa penduduk Halmahera datang lewat laut dan saat itu pemimpin mereka berteriak: O Ngotirini ya belo (Tancapkan belo supaya perahu tidak terbawa ombak dan arus).
O’Hongana Manyawa, orang Belo, dan Togutil sejak kedatangan Portugis mereka mengidentifikasi sebagai orang Alfur (mereka yang aktivitas sebagai petani).
“Mereka bagian dari kelompok rumpun Autro-Melanesia yang telah migrasi lebih awal yang diperkirakan terjadi sekitar 40.000 tahun sebelum kedatangan penutur Melayu-Polinesia,” ungkapnya.
Dugaan, katanya, tentu memiliki fakta sejarah dan arkeologi bahwa pernah ditemukan sisa kebudayaan berupa Kapak Lonjong di Tanjung Luari (Halmaera Utara) pertanggalan, 3.500.
ADVERTISEMENT
“Sekalipun kapak lonjong tidak banyak jumlahnya dan hanya ditemukan di Maluku Utara. Akan tetapi, temuan ini menegaskan bahwa kebudayaan Melanesia pada orang O’Hongana Manyawa,” katanya.
Selain itu, orang-orang O’Hongana Manyawa dahulu hanya mendiami Talaga Lina. Berdasarkan cerita turun temurun orang Tobelo, pemukiman para leluhur yang terdiri 9 Hoana (O’Hoana) atau kampung (juga disebut wilayah) yang mengacu pada hubungan kekerabatan, marga, atau keluarga, yang menetap di telaga Lina. Hal ini juga dikenal dengan istilah Soa (dalam bahasa melayu Ternate).
Hoana atau kampung di Telaga Lina tersebut adalah sebagai berikut:
Berkunjung ke Wangongira, Tempat Bermukim Suku Tobelo
Pada akhir November 2020 kru cermat menelusuri jejak O’Hongana Manyawa di kampung Wangongira di Halmahera Utara. Kampung tersebut, tidak jauh dari Telaga Lina, sekira 5 sampai 6 kilometer, yang disebut-sebut sebagai cikal-bakal tempat bermukim pertama Suku Tobelo ini, kemudian menyebar ke belantara Halmahera Lainnya.
ADVERTISEMENT
Di Wangongira, ada cerita terkait tanaman padi (oryza sativa) yang tumbuh di dalam sungai. Cerita tersebut tak terpisahkan dengan legenda nenek moyang mereka.
Abdon Ndatti, mantan Kepada Desa Wangongira saat itu bercerita, dalam legenda orang Tobelo, dahulu kala, ada seorang perempuan yang ke kebun mengambil padi ladang mengunakan saloi (Keranjang gendong, terbuat dari anyaman bambu). Saat pulang, perempuan tersebut melewati Kali Molulu. Nahasnya, perempuan tersebut tersungkur—jatuh ke dalam Kali Molulu. Padi yang ia bawa pun tumpah ke dalam sungai.
Dari kisah itu, warga Wangongira percaya, padi yang tumbuh di dalam sungai Molulu, asal mula ceritanya dari perempuan tersebut. Hingga kini, Kali Molulu menjadi tempat yang keramat—dan memberikan mereka sumber kehidupan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, padi yang tumbuh di Kali Molulu juga menjadi kalender alam bagi warga di sana.
“Jika padi di dalam sungai berbuah, itu petanda panen telah tiba. Jika padi di sungai itu rusak dimakan hama, berarti padi ladang dan tanaman lainnya di daratan juga rusak dimakan hama,” kata Abdon, hal itu sudah terjadi sedari zaman dulu.
Pada tahun 70 hingga 80-an, sebuah gereja protestan masuk untuk mengagamakan Orang Tobelo dari Telaga Lina. “Saat itu, sekira tiga rumah (dihuni oleh orang Tobelo) di Wangongira,” ungkap Abdon. Baru pada tahun 1986, mulai ada 7 rumah orang Tobelo. Hingga pada tahun 1988, semua orang Tobelo di Wangongira sudah memeluk agama Kristen.
Tahun 2002 dan 2003, kata Abdon, program pemerintah terus masuk memukimkan Orang Tobelo. Saat itu, katanya, mereka, pihak pemerintah ingin mengeluarkan Orang Tobelo dari Telaga Lina ke Desa Tobe atau Telaga Paca, yang sudah dekat dengan akses jalan dan perkampungan.
ADVERTISEMENT
Beberapa sumber peneliti juga menyebutkan, sejak tahun 1970-an, Pemerintah Indonesia sudah berupaya merelokasi mereka—Orang Tobelo dari dalam hutan ke perkampungan, menetap melalui program resettlement.
Namun, para orangtua menolak. Mereka sebenarnya menghargai arahan pemerintah, namun juga tak ingin meninggalkan sejarah dan menjaga sumber air. Dari situ lah, para orangtua memilih keluar dari Telaga Lina dan menetap di Wangongira saja.
“Balubaluhu nangoka dau. Kayoluku yohupu o’berera mahu moa ika. Mahe babu ona imatumu mangale o’akere. To ona manga wawango o’akere genanga. [Orangtua di sini tidak mau keluar karena mereka pertahankan sumber air sebagai kehidupan. Kami tinggal di sini/Wangongira saja. Karena ada sumber air untuk kehidupan],” Ungkap Abdon.
Kini, ada sekira 139 Kepala Keluarga atau 567 jiwa yang bermukim di Wangongira. Amatan di lapangan, hanya sedikit saja warga asli dari Telaga Lina yang bermukim. Sebagian adalah Suku Tobelo yang berasal dari Halmahera bagian barat, bahkan ada beberapa warga dari luar Maluku Utara, yang tinggal dan menikah dengan warga tempatan.
ADVERTISEMENT
Abdon bilang, warga asli yang tinggal di Wangongira adalah marga (fam) Gaza. Sebagian masih bertahan di Telaga Lina—hidup di belantara sekitarnya. Sayangnya, beberapa penelitian belum bisa mengidentifikasi secara pasti, jumlah Orang Tobelo yang masih nomaden di belantara—hutan Halmahera.
Abdon memang Suku Tobelo, namun berasal dari Halmahera bagian barat. Ayahnya Abdon, dahulu adalah seorang pendeta, yang mengajarkan Orang Tobelo di Wangongira mengenal agama Kristen. Abdon pun diasuh sejak kecil oleh Lukas Gaza dan Yohana Mongor, orang asli dari Telaga Lina yang juga bermukim di Wangongira.
Lukas, ketika ditemui, bercerita menggunakan Bahasa Tobelo. Katanya, sebelum mereka mengenal agama samawi, mereka masih hidup di atas pohon, selain bivak. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan orang Tobelo di hutan Halmahera bagian timur dan tengah.
ADVERTISEMENT
“Saat itu, karena orang Jepang sering masuk ke sini, kami lalu bersembunyi, tinggal di atas pohon agar tidak terlihat oleh orang Jepang,” kata Lukas. (Bersambung....)