Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mengenal Orang Togutil yang Hidup di Hutan Halmahera (Bagian 2)
29 Maret 2021 18:41 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Lukas Gazah terlihat tenang. Tak banyak bicara. Hanya sepatah kata--bercerita kisah hidupnya, saat masih di rumah pohon, di Telaga Lina, sebelum pindah bermukim di Wangongira, Halmahera Utara , Maluku Utara. Rambut dan jenggot panjang memutih, menunjukkan bahwa Lukas sudah sangat sepuh.
Baca artikel terkait, sebelumnya:
Sementara istrinya, Yohana Mongor lebih aktif bercerita. Yohana memang dikenal sebagai dukun. Ia kerap mengobati orang-orang di situ dengan cara tradisional . Bahkan, ada pula orang luar yang datang berobat.
“Dorang datang minta Nene biking aer ubat. Malahang ada yang minta aer ubat supaya capat dapa jodoh. [Mereka datang minta Nenek bikin air obat. Bahkan ada yang minta air obat supaya cepat dapat jodoh],” Kata Yohana. Aer ubat dari Hohana itu, adalah air biasa saja. Namun, orang-orang percaya bahwa mantra yang ditiupkan ke air tersebut sangat manjur.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan Tumbuhan dan Pengobatan
Radios Simanjutak, yang juga selaku peneliti Etnobotani Masyarakat O’Hongana Manyawa Sub Etnis Tobelo, di Desa Wangongira, dalam penelitiannya menyebutkan, bahwa masyarakat O’Hongana Manyawa memanfaatkan 153 spesies dari 54 famili tumbuhan yang dapat dikelompokkan dalam 12 tipe pemanfaatan.
“Tipe pemanfaatan terbesar adalah untuk obat-obatan dan pangan yang mengindikasikan kemandirian masyarakat pada bidang kesehatan dan pangan. Pemanfaatan bagian tumbuhan terbesar berasal dari buah, diikuti dari batang dan daun. Sementara itu habitus tumbuhan terbanyak yang dimanfaatkan adalah pohon, diikuti oleh herba, liana, dan perdu. Sebagian besar tumbuhan yang dimanfaatkan merupakan tumbuhan liar dan berasal dari habitat hutan,” tulis Radios, dalam penelitiannya.
ADVERTISEMENT
Ridos menuliskan, dari 153 spesies tumbuhan yang berasal dari 54 famili, terbanyak dimanfaatkan oleh O’Hongana Manyewa di Wangonira adalah spesies Arecaceae, Poaceae, Moraceae, dan Fabaceae.
Famili Arecaceae disebut juga dengan kerabat palem-paleman dengan batang yang tumbuh tegak ke atas tanpa cabang. Beberapa anggota famili ini setengah merambat misalnya rotan. Batangnya beruas dan tidak memiliki kambium sejati.
***
Hutan bagi O’Hongana Manyawa tidak sekadar tempat yang memberi mereka kehidupan. Safrudin Abd Rahman, Dosen Universitas Khairun Ternate mengatakan, makna hutan bagi O’Hongana Manyawa, adalah sumber penghidupan, memberi mereka makanan, dan tempat bersemayam roh-roh leluhur.
“Hutan paling disakralkan sebab ada O’Gomanga O’Hongana. Orang yang habis meninggal selama 40 hari roh mereka masih di situ (hutan),” ungkapnya. O’Hongana Manyawa paling takut dan menghargai roh leluhur. Sebab itu mereka menjaga hutan.
ADVERTISEMENT
Ada ritual yang masih dijalankan secara sembunyi, yakni Gomanga O’Hakai—ritual untuk memberi makanan pada Gomanga, yang dibuat saat bulan purnama.
Selain itu, ada pula proses ritual yang disebut Gomatere. Praktik ini, menurut Safrudin, dalam Bahasa Indonesia disebut samanisme. Proses ritual Gomatere adalah roh leluhur masuk pada dukun untuk mengobati orang yang sakit.
Selain itu, konsep rumah bagi O’Hongana Manyawa, kata Safrudin, tidak terbatas. Hutan adalah rumah bagi mereka. “Rumah bagi orang Togutil itu tidak berbatas. Petak (batas) itu ada di kepala,” katanya.
Cerita Penyebaran Orang Togutil
Orang Togutil atau O’Hongana Manyawa, Sub Etnis Tobelo ini, adalah suku besar di daratan Halmahera yang tersebar di bagian timur, barat, tengah, hingga selatan Halmahera. Dalam cerita rakyat, O’Hongana Manyawa yang cikal-bakal bermukim di Telaga Lina, di utara Halmahera itu, pernah turun ke pesisir karena terus diburu oleh kolonial Hindia-Belanda.
ADVERTISEMENT
Syaiful Madjid, Peneliti Suku Tobelo, Dosen Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, ketika ditemui cermat di kediamannya pada Minggu (28/3) mengatakan, pada 1884, Kolonial Hindia-Belanda terus melakukan sistem blasting atau pajak yang sangat besar.
“Hingga pada tahun 1912, O’Hingana Manyawa keluar dari Telaga Lina dan bermukim di Gam Hoku,” Kata Syaiful.
Gam Hoku adalah satu perkampungan di Halmahera Utara, yang dekat dengan pesisir. Kata Gam Hoku artinya kampung yang terbakar. Penamaan itu tidak terlepas dari sejarahnya.
“Kampung (Gam Hoku) itu kemudian dibakar oleh Kolonial. Sehingga, O’Hongana Manyawa berpencar he Halmahera Tengah, Timur, Barat, bahkan ke Halmahera bagian Selatan,” terang Syaiful. (Bersambung….)