Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
ADVERTISEMENT
Mendengar Cerita Rakyat Danau Tolire
ADVERTISEMENT
Minggu, Februari 2020, pekan kemarin, matahari sedang meninggi, menyinari seantero Ternate. Kala itu, saya berkesempatan ke Danau Tolire. Dengan mengendarai sepeda motor, saya menuju ke lokasi yang berada di Ternate Barat, ini.
Tentu ini bukan kali pertama saya mengunjungi danau ini. Beberapa tahun yang lalu, setiap pekan, sudah menjadi agenda rutin untuk mengunjungi tempat ini.
Danau Tolire berada di ujung Kelurahan Takome, berbatasan dengan Kelurahan Loto. Danau Tolire terbagi dua, Tolire Besar dan Tolire Kecil. Danau Tolire Kecil berada di tepi jalan raya, tidak jauh dari Tolire Besar. Untuk mencapai lokasi danau memakan waktu sekitar 30 menit dari pusat kota.
Sekitar 25 menit perjalanan, saya pun memasuki lokasi wisata Danau Tolire Kecil. Saya melirik sepintas ke arah genangan air di tepi jalan. Di benak saya, danau ini seperti sedang kesepian—di satu sisi, hamparan pasir hitam di tepi pantai, di sisi lain jalan raya dan hiruk pikuk manusia yang setiap saat melewatinya.
ADVERTISEMENT
Di gerbang masuk Danau Tolire Besar, seorang pria paruh baya sigap berdiri dari tempat duduknya sambil menyodorkan karcis. Masuk di sini per orang harus merogoh saku Rp2.000. Sementara untuk kendaraan beroda dua Rp3.000.
Jarak danau dari gerbang hanya sekitar 100 meter, jalan teraspal namun tidak rapi, bergelombang. Di kiri-kanan jalan ditumbuhi tanaman Syzygium Cumini atau warga Maluku Utara lebih mengenalnya dengan sebutan Jambulang. Bahkan tanaman ini sudah terlihat berjajar rapi memenuhi setiap lahan kosong sejak memasuki area Tolire kecil.
Saya pun mengikuti setapak yang sudah dipasang paving blok. Di suatu lokasi, mata saya langsung tertuju pada papan hijau yang bertuliskan 'Selamat Datang di Taman Wisata Mo Mina Jang'.
Sepintas taman ini sedikit berbeda dibandingkan taman wisata yang ada disekitar Danau Tolire lainnya. Posisi danau justru berada di sebelah kiri taman. Terlihat tepian tebingnya yang curam sudah dipasang dengan pagar dari kawat.
Di samping kiri terdapat dua gazebo dengan bentuk perahu, ayunan yang didesain unik, dan dua menara pohon untuk menikmati pemandangan danau dari ketinggian. Sungguh unik dan menarik. Pilihan bagus untuk mengabadikan indahnya Tolire dari sudut yang berbeda. Saya memilih duduk di gazebo perahu berwarna biru, posisinya tepat berhadapan dengan danau.
ADVERTISEMENT
Seorang ibu menghampiri, membawa air kelapa yang dicampur dengan gula aren dan juga susu yang sudah saya pesan sebelumnya. Sambil menikmati segarnya minuman, mata saya tertuju pada menara pohon. Terbuat dari kayu dengan tinggi sekitar dua meter, menempel pada pohon Jambulang.
Sontak rasa penasaran pun datang. Saya kemudian naik ke menara. Sungguh pemandangan luar biasa. Dari sudut ini, saya bisa melihat keseluruhan danau Tolire Besar maupun Danau Tolire Kecil dengan latar belakang Pulau Hiri.
Dalam cerita rakyat, Kampung Solea Takomi tenggelam karena ada hubungan terlarang antara ayah dan anak. Danau Tolire Kecil adalah anak perempuan yang lari ke tepi pantai, saat bencana terjadi di Solea Takomi. Perempuan itu pun meninggal di lokasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara, danau Tolire Besar adalah ayah dari perempuan itu, yang meninggal tepat di tengah kampung. Warga sekitar pun percaya, bahwa buaya yang ada di dalam Danau Tolire Besar adalah jelmaan dari penduduk terdahulu.
Sedangkan dalam beberapa literatur menyebutkan, Danau Tolire terbentuk akibat peristiwa Maar atau pengeluaran magma dari dapur magma (perut bumi) yang tidak terlalu dalam dari Gunung Gamalama.
Letusan itu terjadi pada 5-7 September 1775. Akibat erupsi Maar, berdampak parah pada sebuah Desa bernama Soela Tokomi. Saat kejadian letusan itu, erupsi didahului beberapa kali gempa beruntun skala besar.
Angin berembus sedikit kencang, saya mundur beberapa langkah dari pinggir menara yang menjorok ke danau. Adrenalin saya meningkat. Sekilas rasa takut muncul di pikiran, tapi rasa kagum dengan pemandangan yang luar biasa indah dengan cepat menetralkannya.
ADVERTISEMENT
Di tengah danau terlihat kumpulan burung Kuntul Perak (Estreta Intermedia) sedang berburu kawanan ikan. Selain spesies tersebut, danau yang terkenal dengan cerita buaya putih ini juga menjadi rumah dari berbagai satwa.
Ada burung Kakatua Putih (Cacatua Alba), Titihan Telaga (Tachybaptus Ruficolis) dan berbagai jenis elang seperti Elang Bondol, Elang Laut Perut Putih, dan masih banyak lagi. Saya pun mengambil beberapa foto pemandangan dan selfie untuk dokumentasi dan koleksi album pribadi saya.
Puas mengagumi keindahan, saya kemudian berjalan menuju sebuah rumah yang berada di sisi jalan sebelah kanan. Rumah panggung berukuran kecil dengan cat merah muda itu terlihat rapi. Namun, saya tidak melihat ada dagangan yang dipajang di beranda rumah seperti yang biasa ditemui di sekitar Tolire.
ADVERTISEMENT
“Tempat ini baru buka kira-kira dua bulan,” ujar ibu Ona, nama pemilik taman tersebut. Ia pun bercerita, taman ini adalah tanah milik suaminya yang merupakan penduduk asli Loto.
Awalnya taman ini hanya berisi tiga spot foto yang dibangun dengan bantuan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku Utara dengan janji akan diserahkan kepada suami ibu Ona dan kelompok usaha di daerah Loto untuk dikelola.
Sayangnya, Ibu Ona bilang, janji dari dinas tersebut tak kunjung ditepati. Ibu Ona dan suaminya pun kecewa dan mengambil alih—membangun kembali lokasi wisata itu, yang kini diberi nama Mo Mina Jang.
Nama Mo Mina Jang berasal dari bahasa Ternate yang berarti ‘Dia Perempuan yang Cantik/Bagus’. Nama ini dipilih karena mewakili gambaran kecantikan pemandangan yang bisa dinikmati ketika berkunjung ke taman ini.
ADVERTISEMENT
Uniknya, ada satu kebiasaan yang kerap dilakukan pengunjung saat tiba di danau ini, yakni melempar batu ke dalam danau. Orang-orang memang selalu dibuat penasaran, sebab batu yang mereka lemparkan, selalu saja tidak tampak jatuh ke tengah danau.
Di spot utama danau Tolire Besar bahkan terdapat penjual batu yang disediakan bagi para pengunjung yang ingin membuktikan kebenaran aksi tersebut. Namun, hal itu tidak saya temui di taman ini. Ibu Ona mengiyakan bahwa ia sengaja tidak menyediakan atraksi yang sama di sini.
Menurut dia, hal tersebut dilakukan untuk menghormati orang-orang yang ada di bawah sana. Orang-orang yang dimaksud itu adalah mereka yang ada di dalam danau, sebagaimana cerita rakyat yang sudah dituturkan secara turun-temurun.
ADVERTISEMENT
Perempuan berusia 45 tahun itu menuturkan, pada hari biasa, dirinya bisa mendapatkan omzet sebesar Rp500 ribu dan pada akhir pekan atau hari libur bisa meraup hingga Rp 1 juta dari penjualan makanan dan minuman.
Menu yang disediakan tidak berbeda dari tempat wisata di Ternate pada umumnya, yaitu air kelapa muda, air guraka (jahe), juga pisang goreng.
Pengelola berencana menambah sejumlah fasilitas di tempat ini secara bertahap. Di samping bangunan tempat kami berbincang ini, sedang dibangun bangunan permanen untuk tempat makan. Terlihat beberapa tukang sedang mengaduk campuran semen dan pasir.
Ibu Ona sendiri berharap lokasi Mo Mina Jang semakin dikenal luas oleh wisatawan agar ke depannya bisa membantu orang di sekitar yang ingin menyewa tempat untuk berjualan agar beliau bukan satu-satunya yang berjualan di taman ini.
ADVERTISEMENT
Usai berbincang-bincang dengan Ibu Ona, saya kembali ke gazebo perahu, menyeruput air kelapa muda, sembari menulis satu per satu cerita tentang tempat ini.
---
Reporter magang cermat (partner kumparan): Evka Mawar Putri