Konten Media Partner

'Nage Sidodego?' Sultan Ternate dan Legitimasi secara Hakikat

3 Desember 2021 20:40 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prosesi pengukuhan Hidayat Mudaffar Sjah sebagai Sultan Muda, Kesultanan Ternate di Kedaton Ternate, Kamis (2/11). Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Prosesi pengukuhan Hidayat Mudaffar Sjah sebagai Sultan Muda, Kesultanan Ternate di Kedaton Ternate, Kamis (2/11). Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Penulis: Busranto Latif Doa (Pemerihati Budaya Ternate)
"...Tike waro matiyahi sikara fosidiyahi. Jolo fosidiyahi maruwa, afa mara fotiyahi uwa toma maku sidiyahi madaha..." (Cari tahu yang sebenarnya barulah membenahi. Lebih baik tidak membenahi dari pada tidak betul dalam membenahinya).
ADVERTISEMENT
Syair-Dolabololo
Siapa pun yang jadi Sultan Ternate kelak, itu bukan persoalan, asalkan masih dalam garis keturunan "zuriyat" dan "nasab" dari sultan-sultan sebelumnya. Tapi bagaimana prosesinya? itu yang paling penting.
Apakah prosesi Khalifat Jou Kolano (penobatan sultan) di Kesultanan Ternate memang seperti hari kemarin itu? Dari mana rujukan yang dipakai? Memang tidak ada yang salah, hanya saja kurang lengkap secara adat istiadat setempat.
Khalifat disadur dari bahasa arab, yang berarti Khalifah yang berarti pemimpin. Penyematan mengingat melekat tanggung jawab sultan sebagai Tubbdirrasul (pemegang risalah rasul), di Jazirah Moloku Kie Raha.
Lantas siapa atau pihak mana yang nanti akan bertanggungjawab secara spiritual pada mereka para leluhur negeri keramat ini jika tata cara (Cara se Ngale) belum sesuai mekanisme tradisi ?!
Pembacaan doa saat proses pengukuhan Sultan Ternate ke-49. Foto: istimewa
Foto-foto dan video prosesi Sidodego Kolano (Mendudukkan Sultan) kemarin membuat orang Ternate yang melihat merinding. Satu hal mendasar secara kewenangan menurut tradisi turun temurun telah diabaikan, yaitu: Fala Raha (Empat klan tertinggi atau Dewan Kesultanan) yang komposisi bakunya berasal dari klan Marsaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Problemnya, perwakilan klan Marsaoli Tomagola dan Tomaito tidak Hadir, justru hanya perwakilan klan Tamadi yang hadir dan mengambil peran sentral dalam prosesi itu.
ADVERTISEMENT
Padahal itu bukan hak-nya klan Tamadi melakukan itu. Paling terpenting adalah tidak ada pembacaan Rorasa (Syair) Penobatan Kolano oleh salah satu pejabat senior dalam Fala Raha ?!
Kenapa pula para sultan-sultan Moloku Kie Raha lainnya (Tidore, Ternate dan Jailolo) atau perwakilannya tidak hadir ikut menyaksikan sebagai bentuk legitimasi langsung? Sebagaimana diketahui dalam sejarah masa lampau di satu abad terakhir selalu berlangsung seperti itu.
Lalu kenapa pula para pejabat perwakilan klan kewilayahan, yakni para Kimalaha, Sangaji, Fanyira, sebagai Soa Madopolo (Kepala Kampung/klan) sebanyak 41 Soa dalam teritori Gam-Raha tidak hadir menjadi saksi mewakili bala (rakyat) di Soa-nya dalam prosesi Khalifat Kolano mereka ?!
Mengapa juga pihak keluarga istana, yakni putra-sultan yang lain juga tidak ikut hadiri dan menjadi saksi kemudian mengikhlaskan? Yang paling utama apakah seluruh anggota Bobato 18 (18 Dewan Legislatif Kesultanan), perwakilan rakyat sudah bersidang soal Fin (figur) dan ikut hadir lengkap seluruhnya ?!.
ADVERTISEMENT
Walaupun fakta masa lampau dalam periode tertentu intervensi penguasa penjajah sangat besar dalam internal kesultanan Ternate (dan juga Tidore), tapi soal prosesi saat penobatan kedua kerajaan ini tetap dilakukan dengan tata cara tradisional, kecuali pada beberapa sultan yang dinobatkan menurut protokoler keresidenan karena dilakukan dalam benteng Oranye, kediaman Tuan Residen saat itu.
Prosesi awal sidodego (pengkuhan) sultan Ternate ke-49.
Pertanyaan hakiki; apakah nama sultan baru yang dinobatkan kali ini namanya akan dibacakan dan dilafadzkan dalam doa khutbah kedua di setiap kali salat jumat di mesjid kesultanan Sigi Lamo (Mesjid Besar) Kesultanan dan Sigi Heku (Mesjid Heku) dan mesjid-mesjid kesultanan lainnya di Soa dan kampung-kampung.
Pada khotbah kedua itulah khatib dalam lingkungan adat kesultanan Ternate wajib membacakan doa untuk keselamatan negeri, terutama doa keselamatan untuk sang sultan. Nama sultan yang sah dan diakui pastinya disebutkan dalam doa tersebut. Sebutan nama dalam doa menjadi letak legitimasi secara hakikat terhadap seorang sultan di Ternate.
ADVERTISEMENT
Jangan berharap nama mereka akan dicatat dalam daftar urutan sultan-sultan Ternate, kalau belum dilafalkan dalam doa khotbah kedua dimaksud.
Perlu diketahui bahwa, almarhum Sultan Mudaffar Syah II saja membutuhkan 10 tahun lebih untuk dilafalkan dalam doa khotbah. Itulah legitimasi secara hakikat, karena menunggu saat yang tepat dan layak untuk itu.
Dari pengalaman sejarah masa lalu, dari deretan foto para sultan yang himpun dari dokumen sejarah dan buat berserat seperti foto ini, hanya Sultan Muhammad Ilham atau Kolano Ara Rimoi saja yang tidak dilafalkan namanya karena hanya bertahta cuma 30 hari dan wafat, sehingga belum sempat dimasukan dalam teks khutbah Jumat saat itu.
Sedangkan di era kekinian, pasca wafatnya Sultan Haji Mudzaffar Syah II, nama Kolano Madoru ( nama Syarifudin Iskandar Muh Djabir Syah Kolano Masoa (Pejabat Sultan) dan Nuzuluddin Mudaffar Syah, tidak dilafalkan sampai hari ini dalam doa pada khutbah kedua tiap jumat di masjid-mesjid kesultanan yang ada. Itu berarti nama mereka tidak harus dituliskan dalam daftar nama-nama sultan yang pernah bertakhta di kesultanan Ternate.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya bentuk legitimasi Bobato Akhirat (Imam dan Khatib) terhadap pengakuan keabsahan seorang sultan di Ternate bukan saja secara syariat saat melakukan ritual dalam prosesi pencaharian figur, serta prosesi penobatan saja. Tapi salah satu bentuk legitimasi Bobato Akhirat secara hakikat juga ada dan itu tersirat di situ, dalam lafal doa untuk sang sultan pada khutbah kedua setiap hari jumat di Sigi Lamo, Sigi Heku, dan sigi kampung-kampung. Jadi siapapun yang dikatakan absah secara hakikat itu pasti namanya akan dilafalkan dalam doa khotbah kedua dimaksud. Selama ini hanya sedikit orang yang tau dan memahami soal itu, dan kenapa begitu.
Siapakah nama yang akan dilafalkan oleh Bobato Akhirat melalui khatib dalam bacaan doa khutbah kedua dimaksud akan menjadi misteri?
ADVERTISEMENT
Apakah nama Kolano Madoru ataukah nama Kolano Masoa, (Pejabat ataukah nama Jo Ngofa (Anak Sultan) Nuzuluddin yang juga pernah dinobatkan memakai mahkota, ataukah nama Jo Ngofa Hidayat yang baru prosesi hari kemarin, ataukah mungkin bisa jadi masih ada prosesi terhadap putra sultan yang lain lagi nanti yang belum berkesempatan dinobatkan.
Wallahu wa'lam... Yang jelas nama-nama sang sultan yang dilafalkan hingga saat di masjid-mesjid itu pada doa khutbah kedua masih nama almarhum Sultan Haji Mudaffar Sjah, yang menerima amanah sebagai Tubaddir Rasul seperti pendahulu sultan sebelumnya yakni; Sirajul Mulki Amiruddin Maulana Sultan Iskandar Muhammar Djabir.
Terkait dengan tata cara prosesi dan legitimasi secara hakikat dalam praktik ritual oleh Bobato Akhirat diharapkan berorientasi pada Sigoko Loa se Banar (Penegakan kebenaran) dan juga Sigodiho Doka Sosira (kembalikan seperti dulu/semula). Tidak lebih
ADVERTISEMENT