Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8

ADVERTISEMENT
Pemerintah Kota Ternate, Maluku Utara akan membentuk Komite Disabilitas Kota Ternate, untuk kota yang ramah terhadap disabilitas. Rencana tersebut setelah rapat koordinasi terkait pemenuhan dan pelindungan hak penyandang disabilitas di aula Kantor Walikota, Rabu (3/7).
ADVERTISEMENT
Rapat kordinasi yang dipimpin oleh Sekkot Ternate, M. Tauhid Soleman dan dihadiri Ikatan Keluarga Disabilitas Kota Ternate dan beberapa unsur SKPD itu menjadi langkah awal dalam rencana pembentukan perda terkait disabilitas.
Komite Disabilitas Kota Ternate tak hanya diisi oleh birokrat saja, tapi juga oleh berbagai pihak yang dirasa penting dalam pemenuhan hak-hak kaum difabel, seperti komunitas dan media.
Selain pembentukkan Komite Disabilitas Kota Ternate, rapat koordinasi itu juga menghasilkan poin lainnya, yakni rencana bimbingan teknis (Bimtek) bagi unsur pelayanan di pemerintahan. Para ASN bakal diberi pelatihan terkait cara berinteraksi dengan disabilitas dan mengenal hambatan-hambatannya.
Misalnya, mengenal cara berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dengan penyandang disabilitas tuli. Bimtek diharapkan menjadi modal untuk mendorong layanan yang ramah disabilitas dan menghilangkan stigma di lingkungan pemerintahan terhadap penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Hak-hak disabilitas telah diatur dalam Undang-Undang No 8 tahun 2016, namun sampai saat ini, Kota Ternate belum memiliki regulasi terkait pemenuhan hak kaum difabel. Padahal, menurut data yang dimiliki oleh IKD, ada sekitar 800 penyandang disabilitas di Kota Ternate.
M. Tauhid Soleman mengatakan, Ternate adalah kota yang pernah memperoleh penghargaan sebagai kota layak anak, mestinya mampu juga menciptakan kota yang ramah terhadap disabilitas. Sebab, lanjut Tauhid, kedua hal tersebut saling beririsan.
“Pemenuhan hak disabilitas ini sejatinya bukan untuk mereka saja, tapi untuk kita juga,” ucap M. Tauhid Soleman.
Sementara itu, Fatum, dari Sentra Advokasi, Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) dalam paparannya mengatakan, Ternate merupakan kota yang unik serta memiliki kompleksitas tersendiri dari kota-kota lainnya. Kendati begitu, dalam berbagai aspek, Ternate belum memiliki fasilitas yang menunjang bagi kaum difabel.
ADVERTISEMENT
“Di pedestrian, misalnya. Di depan kantor wali kota kita lihat sudah ada pedestrian lengkap dengan guiding block-nya. Namun ternyata belum ada jalur landai untuk memudahkan para difabel, ibu hamil, maupun lansia di situ,” ucap Fatum, yang biasa disapa Dede ini.
Hal-hal seperti itu, lanjut Dede, tak hanya terjadi di trotoar saja, melainkan juga di berbagai fasilitas seperti di taman-taman, kantor, atau bahkan masjid.
Dede yang merupakan penyandang disabilitas fisik ini turut berbagi pengalamannya ketika berkunjung ke Landmark Ternate, ia mengaku kesulitan karena banyaknya undakan ditambah tak tersedianya jalur landai bagi kaum difabel.
Faktor lain yang masih kurang dalam penanganan disabilitas adalah terkait jaminan sosial yang masih lemah. Menurut komunitas disabilitas, baru sebagian kecil penyandang disabilitas di Kota Ternate yang menerima jaminan sosial berupa Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Padahal, kelompok inilah yang paling rentan secara fisik, psikis, ataupun akses kesehatan.
ADVERTISEMENT
Dalam sektor ketenagakerjaan, stigma masih melekat erat. Ada beberapa pekerjaan yang dianggap sebagai keterampilan untuk disabilitas saja. Menjahit untuk disabilitas fisik atau daksa. Otomotif untuk disabilitas tuli atau wicara, serta pijat untuk tuna netra.
Untuk pendidikan, sampai saat ini baru tiga sekolah yang melaksanakan Program Pendidikan Inklusi. Pendidikan inklusi, kata Dede, merupakan perkara penting, bahwa pendidiakn untuk anak berkebutuhan khusus tak hanya disediakan di Sekolah Luar Biasa (SLB) saja, melainkan juga di sekolah-sekolah regular.
Saat ini, lanjut Dede, Sekolah Inklusi belum disertai dengan regulasi daerah yang jelas.
“Padahal, kehadiran regulasi terkait pendidikan inklusi cukup penting sebagai landasan bergerak dalam menyusun penganggaran dan program pendidikan inklusif,” ucap Dede.
ADVERTISEMENT
---
Rizal Syam