Konten Media Partner

Pengalaman Kala Berkunjung ke Tomalou, Kampung Nelayan di Tidore

2 Januari 2020 19:14 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kelurahan Tomalou, Tidore, Maluku Utara. Foto: Rajif Duchlun/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Kelurahan Tomalou, Tidore, Maluku Utara. Foto: Rajif Duchlun/cermat
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Matahari sore itu, Minggu (29/12), lumayan terik. Sekira pukul 16.00 WIT, saya bersama Rizal Syam, yang juga wartawan cermat tiba di pelabuhan penyeberangan speedboat Bastiong, Ternate. Sembari menunggu Faris Bobero, pemimpin redaksi kami.
ADVERTISEMENT
Kami bertiga berencana akan Tidore. Melawat ke Tomalou, sebuah kampung nelayan yang sudah familiar di Maluku Utara. Sekitar 30 menit, Faris datang. Ia menghubungi saya lewat aplikasi pesan singkat, kalau ia sudah di pelabuhan.
Saat keluar dari ruang tunggu, kami bertemu dengan Asghar Saleh, seorang tokoh dan penulis terkenal di Maluku Utara. Tanpa janjian, kami kemudian memilih naik satu speedboat ke Tidore.
“Tadi sebenarnya mau ke Moti, tapi karena lihat ngoni (kalian) jadi sama-sama sudah,” kata Asghar.
Perjalanan ke Tidore sekiranya hanya 10 menit. Kala tiba, kami naik mobil sewaan ke Tomalou, dengan waktu tempuh kurang lebih 25 menit. Saat turun dari mobil, orang-orang sudah berkerumun di tepi pesisir. Seperti sedang menyaksikan sesuatu di laut.
ADVERTISEMENT
Benar saja, kedatangan kami bertepatan dengan simulasi lomba perahu dan permainan tradisional anak untuk gelaran Festival Kampung Nelayan yang rencana dibuat pada 19-26 Januari 2020. Ada sekitar tiga perahu beradu cepat. Sementara di sisi pantai Ake Doe, terlihat para orang tua hingga anak-anak berkumpul
Kampung Tomalou. Foto: Faris Bobero/cermat
Saya penasaran dengan sebutan Ake Doe. Seorang pemuda Tomalou, Helmi Said (32), kepada saya, menceritakan, Ake Doe adalah bahasa Tidore yang berarti ‘Ujung Air’. Di sekitar bahu jalan, diakuinya memang terdapat mata air yang mereka sebut Ake Doe.
“Dari kecil sering mandi di sini. Dulu sebenarnya ada dua mata air, saling bersebelahan. Satu mata air untuk perempuan, satu untuk laki-laki,” ujar Helmi.
Namun, mata air untuk perempuan, kata dia, sudah ditutup sejak lama. Dikisahkan, dulu seekor babi pernah masuk kampung dan turun di mata air ini. Orang tua di kampung kemudian menyarankan untuk menutup titik mata air tersebut.
ADVERTISEMENT
“Sekarang perempuan juga bisa mandi di mata air yang tersisa. Kalau sebelumnya perempuan di sebelah (mata air untuk perempuan). Dulu Tete Pala atau Haji Naka kepala desa pertama di Tomalou, yang jaga ini (Ake Doe). Nanti mau kase bersih lagi,” ucapnya.
Pantai Ake Doe, Tomalou, Tidore. Foto: Rajif Duchlun/cermat
Matahari semakin condong ke barat, bagai masuk ke perut bumi. Waktu-waktu seperti ini, kerap dinanti beberapa orang saat berkunjung ke sini. Mereka seolah tidak ingin membuang kesempatan, mengabadikan momen langit kuning kemerah-merahan dari pesisir Tomalou.
Suara tarhim bergema dari masjid, menandakan tinggal beberapa menit lagi akan masuk waktu magrib. Orang-orang yang mulanya ramai, perlahan meninggalkan lokasi, tempat yang rencananya menjadi pusat kegiatan festival.
Kendati berstatus sebagai kota, Tidore terlihat berbeda dengan wajah kota lainnya. Jalanan lengang dan teduh. Orang-orang nyaris tidak beraktivitas saat masuk waktu magrib. Tradisi keislaman memang masih melekat erat di tanah ini.
Pemandangan Pulau Mare terlihat dari Tomalou. Foto: Faris Bobero/cermat
Kami berfoto sebentar di sebuah jembatan, yang sudah ditata untuk menyambut festival. Setelah beberapa menit, Ketua Garda Nuku juga seorang tokoh di Tomalou, Abdullah Dahlan, mengajak ke rumah, bertemu sosok orang tua di kampung, sekadar berbagi cerita mengenai tanah kelahirannya.
ADVERTISEMENT
Taslim Marsaoly, namanya. Usianya sudah 66 tahun. Saya penasaran dengan penyebutan kampung nelayan. Ia menjelaskan, sejak dulu orang-orang Tomalou sudah bekerja sebagai nelayan.
Hanya sebagian kecil yang bertani. Itu pun bukan pekerjaan utama. Bagi orang Tomalou, laut sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Tapi, nelayan di sini rata-rata menggunakan beberapa alat tangkap saja, khusus untuk jenis ikan pelagis (permukaan), seperti tuna dan cakalang.
Antusias warga Tomalou mengikuti simulasi lomba perahu. Foto: Faris Bobero
Alat tangkap yang dipakai disebut ‘hati’. Di beberapa daerah dikenal dengan huhate atau pole and line. Menggunakan joran yang terbuat dari bambu. Ada mata pancing berkait dan tanpa kait. Biasanya hanya menggunakan umpan dari bulu ayam atau disebut lau.
Selain itu, ada juga perahu lepa, yang khusus untuk mengambil ikan di daerah Gane, Halmahera Selatan. Hanya ikan tertentu saja, seperti ikan julung yang sudah dikeringkan. “Torang (kami) di sini bilang ikan galafea,” ucap Taslim.
ADVERTISEMENT
Ikan-ikan hasil tangkapan itu setelah didaratkan akan dijemput oleh para perempuan di Tomalou. Mereka menyebut pekerjaan ini dengan dibo-dibo. Selain dijual di pasar Tidore, sering juga dibawa ke beberapa pulau sekitar di Maluku Utara.
Simulasi lomba perahu menyambut Festival Kampung Nelayan di Tidore. Foto: Rajif Duchlun/cermat
Foladomo, Tradisi Menarik Perahu ke Laut
Kampung ini punya tradisi laut yang masih kerap dibuat. Warga di sini menyebutnya foladomo. Dalam bahasa Tidore, foladomo dapat diartikan dengan dua makna, yakni rumah atau lepas; lompat.
Taslim bilang, tradisi ini dilaksanakan kala perahu baru selesai dikerjakan. Perahu yang baru dibuat itu akan ditarik ke laut diikuti dengan ritual yang mereka sebut foladomo.
Syarat sebelum melepas perahu juga tidak sembarangan. Mereka menyiapkan beberapa bambu dan kain putih kurang lebih 1,5 meter untuk menutup tukang pembuat perahu.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui rangkaian itu, barulah perahu akan dilepas, bersiap memburu rezeki di laut. Mereka selalu percaya, rezeki tidak selalu berkaitan dengan usaha saja. Doa-doa yang dirangkaikan dengan ritual merupakan bagian penting yang tak boleh dipisahkan saat atau sekembali dari melaut.
Periodisasi Nelayan Tomalou
Riwayat nelayan di kampung ini dapat dilihat dari perahu-perahu yang digunakan. Sebelum adanya modernisasi alat tangkap, para nelayan di Tomalou menggunakan perahu yang mereka sebut rorehe. Hanya menggunakan tenaga manusia, dengan mendayungnya.
Abdullah Dahlan, kepada saya, menuturkan setelah masa perahu rorehe, sekira pada 1950-an, nelayan Tomalou beralih ke perahu mesin tempel, berkekuatan 2pk hingga 4pk. Kendati begitu, perahu jenis ini diakuinya berhasil memecah ombak sampai ke Sulawesi.
ADVERTISEMENT
“Sekitar 1960-an mereka beralih lagi ke mesin dalam. Ini pun pakai tenaga manusia, karena untuk menyalakan mesin,” ungkapnya.
Setelah itu, pada 1980-an, rata-rata nelayan Tomalou sudah menggunakan fiber atau akrab dikenal dengan nelayan bakti. Periode penggunaan ini cukup lama. Hingga masuk 2004, kampung ini memiliki 62 kapal fiber.
Para santri di Tomalou saat menyaksikan simulasi lomba perahu. Foto: Rajif Duchlun/cermat
Kejayaan nelayan Tomalou pernah redup setelah kebijakan pemerintah kala itu yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Kenaikan ini sangat memengaruhi pendapatan nelayan. Cerita Abdullah ini persis dengan karya jurnalistik Dandhy Dwi Laksono, dalam film dokumenter Huhate yang dibuatnya bersama Suparta Arz, pada 2017.
Nelayan-nelayan Tomalou banyak yang beralih pekerjaan. Dari banyaknya kapal fiber, kata Abdullah, saat ini tersisa empat. Itu pun tidak lagi ada di Tomalou. Sudah dibawa oleh nelayan-nelayan dari Halmahera.
ADVERTISEMENT
Sekarang, nelayan di sini sudah menggunakan kapal Inka Mina. Penggunaan kapal ini karena kebijakan pemerintah di masa presiden Joko Widodo. Saat ini ada 15 kapal Inka Mina yang dioperasikan. Tomalou seperti sedang berusaha mengembalikan kejayaannya. Mereka ingin mengenalkan, bahwa nelayan bukan pekerjaan kelas bawah.
Masjid Tomalou, Tidore. Foto: Faris Bobero/cermat
Abdullah menambahkan, sebenarnya pada masa Sultan Syaifuddin memimpin Tidore, periode 1657-1674, kampung ini sudah secara profesional melaksanakan kerja-kerja nelayan. Di bawah sang sultan, Tidore memang dibagi berdasarkan zona atau potensi.
“Dia (sultan) bagi wilayah sesuai keunggulan lokalnya, misalnya Tomalou, Mareku, dan lainnya kawasan pesisir, itu ke perikanan. Toloa ke kawasan industri, lalu kawasan yang jauh dari pesisir diberi pengembangan bidang pertanian,” tuturnya.
Ia mengaku, hasil perikanan itu pula yang membuat sejumlah fasilitas dapat dibangun. Masjid besar di kampung ini, misalnya. Tidak terlepas dari bantuan para nelayan di Tomalou.
ADVERTISEMENT
Kurang lebih satu jam mendengar cerita mengenai Tomalou, kami akhirnya minta pamit kembali ke Ternate. Saya bergegas menyeruput teh manis, sebelum mobil dinyalakan. Teh hangat malam itu sedap sekali.