Polemik Tim Hukum dengan Tim Advokasi dalam Kasus Kekerasan Jurnalis di Tidore

Konten Media Partner
13 Oktober 2022 18:22 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Tim Advokasi Kekerasan Jurnalis Maharani Salindeho, SH dan Tim Hukum Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan, Iskandar Joisangaji.
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Tim Advokasi Kekerasan Jurnalis Maharani Salindeho, SH dan Tim Hukum Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan, Iskandar Joisangaji.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasus kekerasan terhadap jurnalis Nurkholis, redaktur cermat.co.id di Tidore, Maluku Utara, terus disuarakan. Kejadian itu melibatkan keluarga Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan Muhammad Sinen, sebagai pelaku yakni Ariyanto yang melakukan kekerasan dan dijerat dengan tindak pidana ringan.
ADVERTISEMENT
Menurut Tim Advokasi Kekerasan Jurnalis, kasus tersebut belum selesai sebab, beberapa laporan yang berbeda, belum ditindaklanjuti oleh Polres Tidore Kepulauan, hingga saat ini. Yakni, dugaan kekerasan yang dilakukan oleh Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan Muhammad Sinen terhadap Nurkholis di ruang SPKT Tidore Kepulauan.
Akibat dari itu, pada Selasa (11/10), Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito bersama Ketua Advokasi AJI Erick Tanjung datang ke Polda Maluku Utara, melaporkan kejadian ini. Saat itu, AJI pun diarahkan ke Diskrimum hingga Diskrimsus.
Melihat itu, Iskandar Joisangaji, Tim Hukum Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan Muhammad Sinen mengatakan, AJI Indonesia ke Polda Malut, bagi mereka merupakan hal yang biasa saja.
“Yang luar biasa itu klien kami dituduh menghalangi atau menghambat tugas seorang jurnalis. Nurkholis harus jujur menyampaikan kepada ketua AJI Indonesia terkait dengan duduk masalah ini. bahwa kronologinya berawal dari Nurkholis membuat opini hirup debu batubara dapat pahala, opini tersebut mendapat reaksi dari keluarga bapak Muhammad Sinen yakni keponakannya yang bernama Ariyanto,” kata Iskandar dalam rilis yang diterima cermat, Rabu, (12/10), malam.
ADVERTISEMENT
Iskandar bilang, hal ini dikarenakan opini yang dibuat tidak mengutip secara utuh sambutan Muhammad Sinen, dan pada saat itu Nurkholis juga tidak berada di lokasi, tidak mengetahui serta tidak merasakan langsung suasana hangat saat itu, antara Muhammad Sinen dengan masyarakat Kelurahan Rum Balibunga.
Katanya, alasan itu yang latar belakang terjadinya peristiwa kekerasan ringan (tipiring) yang dilakukan Ariyanto terhadap Nurkholis, tetapi masalah itu telah diputus oleh pengadilan dengan putusan nomor 5/Pid.C/2022/PN Sos tertanggal 8 September 2022 dan telah berkekuatan hukum tetap.
Iskandar pun membuat kutipan dalam rilis seperti berikut: “Nurkholis pernah mengakui dalam persidangan dengan menceritakan kronologis awal tentang insiden yang berujung penganiayaan ringan. Ketika itu, pada 30 Agustus 2022, Dirinya didatangi oleh Usman Sinen, Kedatangan Usman itu untuk menanyakan maksud tulisan opini yang ditulis dengan judul Menghirup Debu Batubara Dapat Pahala. Setelah diberi penjelasan, Usman Sinen langsung meminta agar tulisan opini itu dihapus, Saat itu saya juga bilang ke Usman, tidak menutup kemungkinan kalau di 2024, bapak Wakil Wali Kota (Muhammad Sinen) siap kontrak kerjasama dengan media saya, maka saya citrakan pak Wakil, saya siap. Setelah saya sampaikan itu ke pak Usman, saya langsung hapus tulisan opini itu.”
ADVERTISEMENT
Kata Iskandar, jika pengakuannya seperti ini, maka yang menghapus opini itu adalah Nurkholis sendiri. Artinya dihapusnya opini oleh Nurkholis tidak boleh lagi dikaitkan dengan klien nya, karena masalah tersebut telah selesai.
“Selanjutnya klien kami telah dilaporkan di polres Tidore kepulauan dengan tuduhan telah melakukan kekerasan terhadap jurnalis, pertanyaannya adalah apakah ada kejadian kekerasan yang dilakukan klien kami terhadap Nurkholis sebagai seorang jurnalis? Dan pada saat itu kegiatan jurnalis apa yang ia lakukan? apakah ada bukti visum yang menunjukan Nurkholis itu mengalami luka memar atau goresan? Ini yang mestinya Nurkholis harus jujur,” Tegas Iskandar.
“Kedua klien kami dituduh melakukan tindakan menghalangi atau menghambat tugas seorang jurnalis, apa faktanya dan tindakan seperti apa yang dilakukan oleh klien kami. dengan kedatangan ketua AJI yang didampingi kuasa hukumnya di Polda Malut dalam rangka melaporkan klien kami bersamaan itu juga telah beredar berita seolah-olah klien kami telah melakukan tindakan kekerasan jurnalis. Padahal laporan tersebut masih harus melalui suatu proses penyelidikan dan penyidikan yang belum tentu benar adanya,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Tetapi sudah terlebih dahulu tersebar seakan klien kami telah melakukan kekerasan. Maka dari itu kami pun akan mengambil langkah hukum karena berita yang tersebar telah menyudutkan klien kami. Kami percaya betul bahwa Polda Malut tidak bisa dipengaruhi oleh Lembaga apa pun, dan Klien kami juga memiliki hak untuk memperoleh kepastian hukum yang adil. Tuduhan menghalangi atau menghambat berdasarkan pasal 18 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers berbunyi Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3). Dalam hal ini ada kekeliruan yang fatal dimana Nurkholis melalui kuasanya menyatakan bahwa pasal 18 ayat (1) itu disebut sebagai tindak pidana pers. Pada hal delik ini tidak bisa di kualifikasi sebagai tindak pidana pers meskipun dirumuskan dalam UU Pers. Tindak pidana pers tidak identik dengan tindak pidana yang berhubungan dengan pers,” tambahnya.
ADVERTISEMENT

Tanggapan Tim Advokasi Kekerasan Jurnalis

Sementara itu, Ketua Tim Advokasi Kekerasan Jurnalis Maharani Salindeho SH mengatakan, Iskandar Joisangaji, atau Tim Hukum Wakil Wali Kota Tidore belum menguasai kasus secara utuh. “Kasus yang menimpa Nurkholis itu ada dua dan itu dua peristiwa yang berbeda di lokasi dan waktu yang berbeda pula. Saksi juga berbeda. Untuk membacanya jelas berbeda juga,” ungkap Maharani.
“Pertama, peran Wakil Wali Kota Tidore hanya bisa dilihat pada kasus kekerasan yang terjadi di ruang SPKT Polres Tidore. Saat prosesnya masih berjalan. Fakta persidangan pada sidang Ariyanto, pelaku kekerasan terhadap Nurkholis jelas tidak memperlihatkan peran Sinen, karena sidang itu untuk membuktikan peran Ariyanto bukan Sinen. Kalau menggunakan fakta persidangan, Ari (Arianto) untuk membuktikan peran Sinen jelas sangat keliru,” Maharani menjelaskan.
ADVERTISEMENT
Kedua, kata Maharani, kekerasan bisa dalam bentuk non verbal. Berdasarkan pedoman penanganan kekerasan wartawan yang dikeluarkan Dewan Pers, bentuk kekerasan yang dimaksud adalah:
Dalam KUHP dikenal pula ancaman fisik dan non fisik. Meramas dan mengintimidasi jelas bentuk kekerasan.
ADVERTISEMENT
“Tindakan Wawali itu juga masuk dalam definisi kekerasan terhadap jurnalis akibat dari tulisan Nurkholis juga. Jadi rangkaian fakta peristiwa-peristiwa pidana tersebut tidak bisa dipotong-potong sebagaimana pernyataan Kuasa Hukum Wawali, seakan-akan tidak ada saling berkesesuaian fakta peristiwa,” tambah Maharani, yang juga Ketua LBH Marimoi.
Padahal, menurutnya, motif dari tindakan ketiga orang tersebut (Usman Sinen, orang pertama yang intimidasi Nurkholis untuk menghapus artikel, Ariyanto, dan Muhammad Sinen) karena opini Nurkholis yang bertajuk "Hirup Debu Batu Bara Dapat Pahala". Perbuatan ketiga orang itu kami laporkan karena memenuhi unsur pasal 18 ayat (1) UU Pers yaitu perbuatan melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi hak Nurkholis sebagai jurnalis untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi melalui tulisan Opininya.
ADVERTISEMENT
“Unsur-Unsur Ketentuan Pasal 4 ayat (2), (3) jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mudah kok dibuktikan kalau melihat kronologis peristiwanya secara utuh. Nanti kan penyidik dalam penyidikan laporan kami ini tinggal minta keterangan ahli dari Dewan Pers, tulisan opini Nurkholis itu karya jurnalistik apa tidak? Kalau Dewan Pers berpendapat opini Nurkholis itu karya Jurnalistik, maka tindakan Usman Sinen, Ariyanto, dan Muhammad Sinen patut diduga memenuhi unsur-unsur delik dalam Pasal 4 ayat (2), (3) jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” ungkapnya.