Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
ADVERTISEMENT
Keringat berkucuran deras dari wajah Idfara dan Ahmad H. Mandar, warga Kelurahan Kulaba, Ternate Utara, Ternate, Maluku Utara. Keduanya baru saja mengangkut puluhan bongkahan batu ke atas dump truck. Batu ini merupakan sisa lahar letusan Gunung Gamalama pada abad ke-17.
ADVERTISEMENT
"Ayo naik ke sini," ajak Idfara kepada cermat, Sabtu (15/6) ke sebuah tempat peristirahatan sederhana berupa bivak yang keberadaannya sedikit menanjak.
Di dalam bivak, terdapat beberapa benda seperti linggis, cangkul, palu, dan pengait. Alat-alat ini digunakan keduanya untuk mengambil batu di lokasi material muntahan lahar Gunung Gamalama, yang dikenal oleh masyarakat Ternate dengan sebutan 'batu angus' ini. Karena nampak seperti baru habis terbakar.
Jarak antara jalan raya dengan lokasi material batu angus sekira 1 kilometer. Sedangkan dari pusat kota, dapat ditempuh kurang lebih sekitar 10 km, dengan mengendarai mobil atau sepeda motor.
Siang itu, cuaca di kaki gunung Gamalama cukup sendu. Awan hitam menggantung sejak siang hari. Namun kondisi itu tidak menyurutkan semangat keduanya, memecahkan onggokan bebatuan di wilayah tersebut."Ini pekerjaan berat," ucap Idfara.
ADVERTISEMENT
Benar saja. Saat bersalaman, telapak tangan Idfara dan Ahmad terasa kasar. Keduanya memang bekerja tanpa sarung tangan. "Sudah biasa kerja begini," ucap Ahmad, sembari sibuk merapikan beberapa peralatan yang digunakan saat mengambil batu.
Walau pembangunan di Ternate dari tahun ke tahun terus berjalan, namun tidak membuat kebutuhan material lahar gunung berapi yang telah mengeras sejak puluhan tahun itu berkurang. "Tidak pernah habis. Karena luas areanya sampai di gunung," kata Idfara.
Sekadar diketahui, batu angus ini adalah bagian dari material bangunan, yang dimanfaatkan warga seantero Ternate untuk membangun fondasi rumah. "Termasuk proyek pembangunan seperti bandara dan talud," ujar Idfara.
Di lokasi ini, terdapat kurang lebih 10 orang pekerja. Mereka adalah masyarakat Kulaba dan Tarau. Tapi pekerjaan ini hanya sampingan. Karena sebagian juga bekerja sebagai petani."Di sini tinggal kami berdua. Sebagian fokus ke kebun, karena lagi musim cengkeh," katanya.
Pekerjaan seperti ini dibutuhkan fisik yang memadai. Karena untuk satu dump truk, proses pengambilan memakan waktu 2 hingga 3 hari. Semua tergantung tenaga dan kepadatan batu.
ADVERTISEMENT
Namun, batu yang dijual kerap tidak sesuai dengan beratnya pekerjaan. "Harga satu dump truk Rp 250.000. Ini belum cukup beli beras," ucap Idfara. “Beras yang 25 kilo kan sekitar Rp 200 ribu lebih,” timpal Ahmad.
Idfara bilang, sejauh ini para pembeli masih mendominasi pribadi. Namun itu tidak menentu. Terkadang, dalam sehari terdapat 1 hingga 2 truk yang datang. "Rata-rata bangun rumah. Jadi sehari paling tinggi Rp 500 ribu. Ada juga yang butuh 3 dump truk, tapi mereka pesan sejak sepekan. Jadi pendapatan sebulan sekitar Rp 1 juta lebih," tuturnya.
Dari pekerjaan ini, Idfara harus menyekolahkan 7 orang anaknya. Dia merinci, anaknya yang pertama sedang kuliah, satunya di bangku SMA, 2 orang di bangku SMP, sedangkan 3 orang di bangku SD. “Semua saya biayai dari hasil kerja ini," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Ahmad, kendati satu anaknya sudah bekerja dan satunya lagi baru lulus SMA, namun sebagai seorang ayah, dirinya harus menyekolahkan satu orang anaknya lagi, yang akan duduk di bangku SMP. "Itu semua dari hasil kerja ini," tuturnya.
Dengan begitu, keduanya berharap ada perhatian dari pemerintah. Minimal, dapat membijaki persoalan harga yang dinilai tidak sesuai dengan beratnya pekerjaan. "Kami tidak berharap banyak. Tapi kalau bisa, pemerintah atur soal harga (batu). Karena bagaimana pun, semua pembangunan di Ternate itu materialnya berasal dari sini," ucap Idfara.
---
Olis