Prinses van Kasiruta, Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia (Bagian 1)

Konten Media Partner
16 Juli 2021 12:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Undangan nikah Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dan Prinses Fatimah.
zoom-in-whitePerbesar
Undangan nikah Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dan Prinses Fatimah.
ADVERTISEMENT
Nama Prinses van Kasiruta bagi para penikmat “Tetralogi Buru” bukanlah nama yang asing di ingatan. Kisah sosok perempuan cantik, cerdas dan pemberani itu tertulis jelas dalam novel sejarah karya maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Pram, sapaan akrab Pramoedya, menempatkan Prinses van Kasiruta sebagai istri Mingke, tokoh utama dalam novel tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan “Jejak Langkah”, buku ketiga dalam Tetralogi Buru, Prinses van Kasiruta yang bernama Siti Fatimah, ikut menjadi editor atau redaktur yang mengelola harian “Medan Prijaji”, media cetak pertama Indonesia yang berbahasa melayu dan milik pribumi asli. Meski novel sejarah tersebut merupakan karya fiksi, namun latar cerita didasarkan pada fakta sejarah bangsa. Dan Mingke sendiri adalah avatar atau nama panggung dari Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.
Undangan nikah Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dan Prinses Fatimah. Tertanggal, 8 Februari 1906.
Sepak terjang Tito Adi Soerjo yang dikenal juga dengan sebutan TAS dalam sejarah kebangkitan nasional Indonesia sangatlah penting. Ia bersama teman-temannya menginisiasi berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905. SDI merupakan organisasi modern pertama pada masa itu. Bahkan 3 tahun lebih dulu dari berdirinya Boedi Utomo.
ADVERTISEMENT
Kiprah TAS melalui SDI telah menimbulkan kepanikan tersendiri terhadap Belanda. Pemerintah Belanda lalu mengasingkan TAS, jauh ke wilayah Timur Indonesia, tepatnya ke Pulau Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Di temapt inilah, awal mula perjalanan hidup TAS dan Siti Fatimah dimulai.
Berdasarkan penelusuran di Bacan, ditemukan surat nikah antara TAS dan Siti Fatimah pada 8 Februari 1906 di Bacan. Dalam dokumen berbahasa Belanda tersebut, dinyatakan bahwa RM Tirto Adhi Soerjo dan Prinses Fatimah, anak dari Z. H. Molana Moh Sjadik Sjah Kalifatoel, Sultan van Batjan, menikah atas keinginan bersama.
“Saya masih menyimpah bukti pernikahan mereka pada waktu itu. Bukti ini menunjukkan bahwa Tirto pernah bermukim di Bacan dan Boki Fatimah, panggilan dari Siti Fatimah, anak dari Sultan Mohammad Sjadik, adalah istri dari Tirto,” ungkap Sutarman, Selasa (13/7) di Bacan. Sutarman merupakan cucu dari Sadaralam, putera tunggal hasil pernikahan TAS dan Boki Fatimah.
Sutarman ketika diwawancara di Bacan pada 13 Juli 2021. Ia merupakan cucu dari Sadaralam, putera tunggal hasil pernikahan TAS dan Boki Fatimah. Foto: Istimewa
Dokumen yang ditunjukkan Sutarman tidak hanya membuktikan bahwa TAS adalah suami dari Boki Fatimah, tetapi juga mengungkapkan bahwa TAS pernah diasingkan ke Maluku sebelum ia mendirikan koran Medan Prijaji. Pernikahan TAS dan Boki yang direstui Belanda pada masa itu juga dimungkinkan karena bertujuan agar TAS tidak kembali ke Batavia.
ADVERTISEMENT
Tidak lama setelah menikah, sepasang tokoh bangsa ini kembali ke Batavia dan memulai kembali pergerakannya. Atas dukungan Sultan Muhammad Oesman Sjah, kakak kandung Boki Fatimah yang saat itu memerintah, Medan Prijaji terbit sebagai koran pertama Indonesia pada Januari 1907 atau setahun setelah pernaikahan TAS dan Boki. Atas jasa-jasanya, TAS oleh pemerintah dikukuhkan sebagai Bapak Pers Nasional pada 1973. Pada 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.
Seperti tertulis dalam Tetralogi Buru, kiprah Boki Fatimah sebagai jurnalis dimulai pada waktu itu. Boki Fatimah yang cerdas dan bisa menulis melayu, dilibatkan dalam keredaksian harian Medan Prijaji. TAS dan Boki tidak hanya sebagai pasangan hidup, namun juga sebagai rekan kerja sejati.
ADVERTISEMENT
Setahun setelah Medan Prijaji berkiprah, TAS bersama sang istri menilai bahwa Perempuan Indonesia membutuhkan pengetahuan dan informasi layaknya laki-laki. Oleh karena itu, mereka mendirikan Poetri Hindia, surat kabar perempuan pertama Hindia Belanda (Indonesia) yang berbahasa melayu. (Bersambung..)
--- Penulis: Handi Andrian