Konten Media Partner

Pulau Yoi, 'Surga' Tersembunyi di Halmahera Tengah

23 Juli 2019 14:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pertemuan antara laut dan telaga di Pulau Yoi, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Sofyan Daud/Garasi Genta.
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan antara laut dan telaga di Pulau Yoi, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Sofyan Daud/Garasi Genta.
ADVERTISEMENT
Anak-anak kecil bermain: meloncat dari batu, lalu berkejar-kejaran di pantai. Seorang perempuan paruh baya tampak malu-malu di tepi sungai, sedang menyalakan api dari ranting kering. Ia mengeluarkan ikan-ikan kecil hasil memancingnya dan meletakkannya di atas bara api.
ADVERTISEMENT
Siang itu langit tampak begitu biru. Saya mengikuti rombongan lembaga penerbitan Garasi Genta yang mengamati aktivitas sosial dan ekonomi warga, serta memotret potensi pariwisata di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara, Sabtu (13/7).
Sepanjang pantai Telaga Yoi terdapat banyak pepohonan mangrove dan cemara yang rindang. Foto: Fahriadi Yusuf Abdulfattah/Garasi Genta
Sebuah pulau di kejauhan tampak dari pesisir Desa Sanafi. Pulau Yoi, namanya. Sementara itu, sejumlah perempuan paruh baya tampak sibuk mencuci di aliran sungai kecil yang terhubung langsung dengan perairan pesisir Sanafi.
Seorang teman yang bekerja sebagai pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Halmahera Tengah, Oby Gama, merogoh uang dari saku celananya. Lalu dia meminta salah satu anak dari perempuan paruh baya itu untuk membeli sagu, makanan khas warga Maluku Utara dan wilayah timur lainnya.
Nelayan-nelayan di Pulau Yoi juga kerap menjala ikan di perairan Telaga Yoi. Foto: Fahriadi Yusuf Andulfattah/Garasi Genta
Tak lama kemudian, anak yang dimintai tolong itu datang dengan sagu di tangannya. Sementara perempuan paruh baya tadi memeras jeruk nipis di sebuah piring dan menambahkannya cabai kecil dan menaburi sedikit garam.
ADVERTISEMENT
Dia meletakkan ikan yang baru dibakarnya itu ke atas piring, lalu membasahinya dengan perasaan jeruk nipis. Saya, Oby, beserta fotografer Uly Addaury dan pendiri Garasi Genta Sofyan Daud, pun mencicipinya dengan sagu itu.
Pesisir Desa Sanafi, yang menjadi titik penyeberangan ke Pulau Yoi. Foto: Sofyan Daud/Garasi Genta
Sebenarnya saat itu tidak hanya kami berempat, sebab sudah ada beberapa teman yang lebih dulu ke Pantai Umera saat kami tiba di Desa Sanafi. Pantai Umera sendiri terkenal dengan pasir putihnya, maka kami juga berencana ke sana pada hari itu.
Namun rencana itu batal setelah Sofyan Daud meminta Masri Hidayat, tokoh muda Halmahera Utara, yang mengemudikan mobil untuk mengurungkannya. Masri justru diminta Sofyan untuk mengajak tim yang sudah berada di Pantai Umera kembali dan mengubah rencana jadi ke Pulau Yoi.
Apabila air surut, bisa berjalan jauh mendekati tengah Telaga Yoi. Juga dengan mudah menambatkan perahu. Foto: Fahriadi Yusuf Abdulfattah/Garasi Genta
Tim yang sudah terlanjur ke Pantai Umera akhirnya kembali ke pesisir Desa Sanafi, kebetulan desa ini memang salah satu lokasi penyeberangan ke Pulau Yoi. Sementara itu kami kembali ke penginapan di Desa Kapaleo untuk berkemas. Akhirnya semua anggota tim berkumpul sekitar satu setengah jam kemudian.
ADVERTISEMENT
Kami, seluruhnya berjumlah 14 orang, berangkat ke Pulau Yoi sekitar pukul 16.30 WIT, setelah Motoris datang. Dengan isyarat tangannya, Motoris meminta kami menaikkan barang-barang kami ke perahu tempel. Motoris memang seorang tunawicara, sehingga hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Tiga hari kami berkemah di Pulau Yoi, di bawah pohon nan rindang. Foto: Fahriadi Yusuf Abdulfattah/Garasi Genta
Mesin perahu yang terbuat dari perahu dengan dua mesin bertenaga 15 pk itu dinyalakan. Saya duduk di bagian paling depan. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam.
Mendadak semua terperangah saat perahu kami masuk ke pesisir Pulau Yoi sekitar pukul 18.30 WIT. Keindahan pulau ini seperti tak dapat diungkapkan. Terdapat sebuah cekungan yang menyerupai danau besar, warga setempat menyebutnya Telaga Yoi.
Telaga Yoi ini seperti memiliki 'mulut' yang lingarannya menjadi pembatas antara air laut di luar cekungan dengan di dalamnya. Ombak setinggi apapun disebut akan pecah dan membuih tepat di lingkaran pembatas telaga.
ADVERTISEMENT
Ini adalah saat-saat di mana matahari akan 'masuk' ke perut bumi alias waktu senja. Pemandangan tenggelamnya matahari itu tampak di atas pegunungan yang mengelilingi area Telaga Yoi.
Ubitos, sebuah titik destinasi dengan hamparan pasir putih ini berada di Telaga Yoi. Foto: Rajif Duchlun
Laut tampak begitu tenang di bagian dalam telaga. Langit yang kebiruan, hijau tosca laut, pasir putih, dan ikan-ikan menjadi perpaduan lanskap yang sangat indah.
“Ikan-ikan di sini tidak pernah habis. Telaga Yoi banyak sekali ikan. Apalagi kepiting, banyak sekali,” kata Hafid, warga Pulau Yoi yang juga ikut bersama kami.
Hafid mengatakan Telaga Yoi dikelilingi pulau yang setiap sudutnya terdapat teluk maupun pesisir pantai yang punya nama masing-masing. Tempat kami turun dari perahu, yang juga menjadi titik berkemah kami, dikenal dengan nama Ubitos. Ubitos dapat diartikan sebagai ‘tanah atau pasir timbul’.
ADVERTISEMENT
Ubitos memang memiliki hamparan pasir putih yang halus. Tepian pantainya terdapat pepohonan bakau dan cemara yang rindang. Ada beberapa pulau kecil di sisi Ubitos yang berderet seperti gerbang, berada tepat di area ‘pembatas’ antara laut luas dan bagian dalam telaga. Bagian ini dikenal dengan nama Yef Kalisi, yang berarti pulau-pulau kecil.
Senja di Pulau Yoi. Foto: Rajif Duchlun
Teluk dan pesisir di depan Ubitos pun punya namanya sendiri, di antaranya Watkapoto yang berarti kayu wat atau pohon bakau, Iliyomalanga atau kayu kasuari atau pohon kasuarina, Gosop yang berarti teluk, Malyopkalio atau tanjung, Kapatmaripi yang berarti batu, Miawere yang bermakna kampung/weda (merujuk sebuah daerah di Halmahera Tengah), Balapo yang berarti luas seperti lapangan, dan Olokasu yang bisa juga diartikan sebagai hol atau tanjung.
ADVERTISEMENT
Apabila air di area Telaga Yoi ini surut, maka akan tampak pasir putih yang begitu jelas dan luas. Kami bisa berjalan kaki jauh untuk mendekati telaga. Tepat di tengahnya, ada bangkai pesawat yang menurut cerita warga merupakan pesawat barang dari Papua, namun tak diketahui kapan pesawat itu jatuh.
Nelayan-nelayan dari Pulau Yoi pun kerap menjala ikan di sekitar perairan tersebut. Kami beruntung bisa berkemah selama tiga hari di Telaga Yoi dan menikmati keindahan setiap sudut telaga yang teduh. Bertambah lengkap dengan mencicipi kepiting laut dan ikan segar hasil jala orang-orang Yoi, serta mendengar cerita mereka.
Di Pualu Yoi hanya ada satu desa, Desa Umiyal. Jika anda berangkat ke pulau ini dari Ternate, maka anda harus ke Sofifi, lalu ke Kota Weda. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan kapal ke Patani, lalu ke Gebe. Seluruh perjalanan ditempuh sekitar 12 jam.
ADVERTISEMENT
Selain transportasi darat, anda juga bisa menggunakan pesawat dari Bandara Babullah Ternate ke Bandara Gebe. Untuk perjalanan ini waktu tempuhnya tak sampai satu jam dan biayanya relatif lebih rendah.
Lalu dari Pelabuhan Utama Gebe atau dari Bandara Gebe tinggal menggunakan jalur darat ke titik penyeberangan di Desa Sanafi sekitar 10-20 menit.
Jere atau kubur tua di Pulau Yoi. Foto: Sofyan Daud/Garasi Genta
Selain keindahan alamnya, Telaga Yoi juga menyimpan kisah sejarah dengan adanya kuburan tua atau jere yang dipercaya merupakan kuburan seorang pemuka agama yang sangat mahsyur di daerah ini.
“Kurang tahu nama pemuka agamanya. Tapi itu memang jere. Kalau orang-orang akan naik haji, ada yang sering ziarah dulu ke jere itu,” kata Nenek Sauda Abdul Halim (76), seorang warga yang kami temui di Desa Elfanun, Pulau Gebe, sekembalinya dari Pulau Yoi, Selasa (16/7).
ADVERTISEMENT
Nenek Sauda bercerita banyak mengenai Pulau Yoi. Dia menyebut pulau itu merupakan bagian penting dari lima klan yang ada di Pulau Gebe. Umiyal, nama desa yang berada di Pulau Yoi, adalah salah satunya.
---
Reporter: Rajif Duchlun
Editor: Faris Bobero