Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Kontinum peradaban Moloku Kie Raha menyimpan banyak kisah kearifan, pencapaian pun ritual. Saya menemukan salah satunya pada Senin malam, 23 Desember 2019, di kampung nelayan Tomalou, Tidore. Kisah ritual Foladomo.
ADVERTISEMENT
Malam itu, pukul 21.18. Dalam perjalanan dari Indonesiana ke pelabuhan Rum untuk pulang ke Ternate, saya meminta kendaraan dilangsamkan persis di jalan melandai ke lokasi Akedoe dan Masjid Agung Nurul Bahar, Tomalou.
Pelataran masjid yang akan dijadikan lokasi utama perhelatan Festival Kampung Nelayan Tomalou, sebagian besar kesiapan sudah tertata sedari dini meski festivalnya dihelat pada 19 Januari 2020.
Di dekat panggung, persis di sudut timur tembok tepi pelataran, dibangun replika anjungan motor ikan. Seorang tokoh dan beberapa pemuda sedang mengobrol di sana. Tiga gadis belia asyik pula berswafoto.
Saya ke anjungan itu. Menyalami si tokoh, Om Taslim Marsaoly, namanya. Kami memang saling kenal sejak lama. Belum lama kami berbincang, Abdullah Dahlan, Ketua Pemuda Tomalou, datang dan bergabung.
ADVERTISEMENT
Cerita kami pun mengulik masa silam Tomalou, aktivitas nelayannya, tentang Akedoe, hingga rancangan konten festival.
Kopi disuguhkan beberapa perempuan manis dan ramah juga beberapa penganan, dan cerita kami pun berpindah tema ke Foladomo.
Om Taslim dengan gaya khasnya mengurai cerita. Foladomo adalah ritual para nelayan di Tomalou meluncurkan perahu yang baru kelar dibuat dari galangan ke laut.
Istilah Foladomo merupakan gabungan dari dua kata Bahasa Tidore, Fola dan Domo. Fola artinya terangkat, terlepas, terpental, dan Domo artinya galangan.
Imajinasi saya pun menauti ingatan pada lazimnya ritual atau hajatan penting di Tidore, dan hampir semua daerah di Moloku Kie Raha, pastinya dihelat pada Wange Ma Laha, atau suatu “hari baik”, menurut hitungan falakiah para imam atau para sepuh.
ADVERTISEMENT
Hari itu, perairan laut di pantai Tomalou pastinya sedang pasang dan tenang. Sebuah perahu baru masih di galangan. Lunasnya masih dialasi beberapa batang kayu bulat atau Oti ma lang. Penyanggahnya pun masih terpasang di kiri kanan lambungnya.
Perahu baru itu siap dilautkan dalam prosesi ritual Foladomo. Belasan pria paruh baya dan dua tiga lainnya berusia lebih tua, berdiri dekat galangan di pantai yang rindang.
Mereka mengenakan pakaian putih yang biasanya dikenakan saat sholat. Warga kampung pun antusias ingin menyaksikan prosesi ritual itu.
Om Taslim menyebutkan, kadang ditimpali pula para pemuda di anjungan itu. Foladomo memerlukan sejumlah Ngale, istilah untuk alat, bahan dan segala sesuatu yang diperlukan dalam ritual.
ADVERTISEMENT
Saya membayangkan, ada sebuah nampan cukup besar. Tertata di atasnya Ngale tersebut. Satu Boso Kene atau belanga kecil dari tanah liat, buatan pengrajin Pulau Mare. Boso Kene seukuran batok kelapa itu berisikan nasi santan (nasi uduk). Ditutupi Safra atau telur goreng, mirip dadar. Di atasnya lagi tertancap lima butir telur rebus.
Satu Hono atau mangkuk putih berisi air. Pun satu mangkuk yang lebih kecil berisi Goroho Paha, minyak wewangian yang dibuat dari minyak kelapa olahan warga, dicampuri irisan halus daun pandan dan beberapa jenis kembang.
Tiga buah Kam atau bambu sepanjang tiga ruas yang berisi air. Seorang tetua memegang dua Kam, dan seorang lagi memegang hanya satu Kam. Rongga atau mulut ketiga Kam disumbati dengan rumput Cokagole, mirip dengan ilalang, juga beberapa tangkai bunga Goliho atau Puring.
ADVERTISEMENT
Terdapat keyakinan, Goliho atau Puring ini dijadikan syarat, sejak lama, sedari leluhur, sebagai ikhtiar atau semacam penangkal, bila saja ada pihak tertentu yang “nakal” atau berniat buruk mengganggu, menghalangi kelancaran usaha mereka. Jika itu terjadi maka niat buruk itu bukan saja tidak mempan tetapi justru akan kembali kepada pihak yang “nakal” atau berniat buruk itu.
Memang, Goliho dalam Bahasa Tidore dapat diartikan mengembalikan. Dari kata dasar Koliho, yang artinya kembali.
Prosesi ritual diawali dengan Tuso Oti Ma Woma, atau melubangi jalan air perahu. Dalam kata lain disebut Tuso Oti Ma Lojo-lojo, atau melubangi kerongkongan perahu.
Oti Ma Lojo-lojo diyakini sebagai jalan nafas perahu. Di lubang inilah bersuanya air laut dan udara di dalam lambung perahu secara sirkulatif.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana posisi kerongkongan pada manusia, letak jalan nafas perahu ini pun condong ke haluan. Penentuan posisinya dilakukan dengan Tango Duga, atau membentangkan ukuran perahu, untuk menentukan posisi lubangnya. Kira-kira pada seperempat dari ukuran panjang perahu.
Prosesi ini dilakukan oleh Kepala Tukang. Tubuh Kepala Tukang mesti ditudungi dengan kain putih selama prosesi. Simbolisasi sakralitas dan kerja-kerja “rahasia” yang tidak boleh disaksikan khalayak.
Jalan nafas perahu sudah kelar. Kini bagian-bagian penting perahu mulai dilaburi dengan Goroho Paha. Berlanjut dengan tawaf atau mengelilingi perahu, sekaligus Jako se Ruko, yakni menyapukan rumput Cokagole dan bunga Goliho ke bagian-bagian penting perahu, sembari menyirami atau menciprati air dari Kam.
Prosesi ini dilakoni oleh dua tetua yang memegang Kam. Tetua yang memegang dua Kam berdiri di posisi buritan dan tetua yang memegang hanya satu Kam, berdiri di haluan.
ADVERTISEMENT
Tawaf dimulai. Tetua di posisi buritan bergerak melalui sisi kanan perahu ke haluan, Sebaliknya tetua di posisi haluan bergerak melalui sisi kiri perahu ke arah buritan.
Keduanya bertawaf, mengelilingi perahu sebanyak tiga kali. Membentuk lingkaran dari arah gerak berlawanan, dari kanan ke kiri ke kanan dan dari kiri ke kanan. Tapi kedua lingkaran itu justru saling memperkuat, saling mengisi, dengan perahu sebagai sumbu.
Pada tawaf ketiga, tetua yang memegang dua Kam, menyiramkan air dari salah satu Kam dan menyapu-nyapu lambung tengah perahu dengan rumput Cokagole dan bunga Goliho. Kemudian dia melego Kam itu ke bawah lambung perahu. Setelahnya kedua tetua kembali ke posisi awal masing-masing, di buritan dan di haluan.
ADVERTISEMENT
Bismilahirahminarrahim. Terdengar lafaz dari Tukang Perahu, dan krak! Kedua tetua memukulkan Kam di tangannya masing-masing, sekerasnya ke buritan dan ke haluan perahu. Kam pecah. Air dari dalam Kam meleleh, menciprati, membasahi buritan pun haluan.
Kini pamuncak prosesi, inti dari Foladomo. Para awak perahu bersiap merapat ke perahu. Sigap menunggu aba-aba.
“Seba oti!” — Dekati perahu! Saihu memberi aba-aba. Semua awak perahu mendekati perahu. Berdiri teratur pada posisinya masing-masing tapi belum bisa menyentuh perahu.
“Jau Oti” — Pegang perahu! Atau “Jau Moi-moi” — Semuanya pegang! Terdengar komando Saihu, dan semua awak memegang perahu. Serentak.
“Rai?” — Sudah? Tanya Saihu memastikan.
“Rai ma!” — Sudah! Jawab para awak kompak.
“Bismillah!” Lafaz dan komando dari Saihu.
ADVERTISEMENT
“Bismillah.” Para awak mengikuti lafaz yang sama.
Saihu memukul buritan perahu. Mengoyang-goyangnya dan memberi komando lanjutan. “Grecelee!” Para awak membalas, “Leee!”
Pada teriakan komando ketiga, “O, grecelee!” dan balasan “Leee!” dari para awak, Saihu memberi komando lanjutan. “Tobo!” — Ke laut. “Ito tobo” — Dorong ke laut. Para awak membalas kompak penuh semangat dan kekuatan.
Perahu telah berada di laut tenang. Dibiarkan mengapung begitu saja. Karena masih ada prosesi penting yang terakhir. Memastikan haluan perahu condong ke kanan atau ke kiri. Di situlah kunci kelancaran rezeki atau hoki dari perahu ini, menurut keyakinan para nelayan Tomalou.
Patokannya adalah pada posisi rasi naga. Ketika perahu dilautkan dan bentuk rasi naga dengan posisi kepala ke bawah dan haluan perahu condong ke kanan, diyakini hasil dari perahu itu sangat lancar.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, Pandara atau tali tambat perahu diikatkan pada Belo atau tiang yang telah tertancap pada area Doro atau alur keluar masuk perahu.
Tak terasa waktu menggelencir tengah malam, dan Om Taslim masih mendedah cerita ihwal Delo atau Ikan Cakalang yang identik dengan nelayan kampung Tomalou, dan Nguwaro atau Ikan Julung yang identik dengan nelayan kampung Mareku.
Dua komunitas “raja laut” yang tak sempat dicatat Adrian B. Lapian dalam bukunya, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut (2009). Meski reputasi dan penjelajahan mereka telacak dan relatif menjangkau tempat-tempat sejauh yang dijangkau kampiun pelaut nusantara lainnya.
Hebatnya, mereka hanya dengan perahu-perahu relatif kecil, Funai oleh nelayan Tomalou dan Giop oleh nelayan Mareku. Perahu dengan penggerak dan navigasi amat sederhana. Bahkan relatif mengandalkan pengetahuan dan naluri Saihu dan para awaknya.
ADVERTISEMENT
Pukul 23.47, saya pamit kembali ke Ternate. Langit di atas menara Nurul Bahar jernih bertabur bintang. Angin dan laut sama rehat. Tenang.
Tulisan besar berhias lampu warna-warni “Festival Kampung Nelayan Tomalou 2020”, tampak kian jelas bahkan refleksinya di permukaan laut sekalipun.
Saya merasakannya ia seolah tekad menghindari dolobalolo ini, “Oti simore ma belo, kona e sari yo lupa ma lolonga” — perahu menyoraki tempat labuh-tambatnya, sungguh kasian dia akan lupakan galangannya.
Saya pamit membawa cerita dan pesan dari Om Taslim, ketua pemuda dan mereka di anjungan itu, “Jou no musti lefo jarita na re” — Kamu mesti menulis kisah ini.
Dua minggu dan saya belum mampu menulisnya, kecuali menutur ulang cerita mereka, di sini. Semoga berkenaan dan ada manfaatnya. Syukur Dofu. Tabea.
ADVERTISEMENT
---
Penulis: Sofyan Daud -- Sastrawan dan Budayawan, kelahiran Maluku Utara. Sudah menulis sejumlah buku, salah satunya antologi puisi Jejak Arus: 99 Puisi Pilihan.