Konten Media Partner

Sejarah Kristen Masuk di Ternate

25 Desember 2020 14:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gereja Katolik Willibrordus Kristen Katolik di Ternate. dibangun pada 1570. Foto: Rizal Syam/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Gereja Katolik Willibrordus Kristen Katolik di Ternate. dibangun pada 1570. Foto: Rizal Syam/cermat
ADVERTISEMENT
Kekalahan Malaka (1511) tak hanya membuka jalan bagi Portugis untuk mengunjungi Kepulauan Maluku, lebih dari itu, penaklukan Malaka juga berarti terbukanya pintu untuk menyebarkan Agama Kristen di wilayah yang oleh pedagang Arab disebut Jazirah Al-Mulk.
ADVERTISEMENT
Di Maluku kala itu sudah berdiri sejumlah kerajaan yang bernafaskan Islam. Setidaknya, ada empat kesultanan besar yakni, Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Dengan kondisi seperti itu, perjalanan misi kekristenan berjalan bukan tanpa tantangan.
Kedatangan Portugis di bawah komando Antonio de Abreu di Kepulauan Maluku tak lantas membawa Misi Jesuit.
“Saat itu agama baru sebatas pada orang Portugis. Mereka diizinkan sebarkan agama Kristen Katolik,” ungkap Dosen Ilmu Sejarah Universitas Khariun Ternate Irfan Ahmad.
Irfan menjelaskan bahwa misionaris pertama justru baru menginjakkan kaki di pulau-pulau Maluku 10 tahun setelah kedatangan Antonio de Abreu itu atau pada 1522. Tak jelas berapa jumlah misionaris ini, yang pasti mereka berasal dari biarawan Fransiskan dan kedatangan mereka di bawah komando Antonio de Britto.
ADVERTISEMENT
Informasi soal ini juga disebut dalam “Sejarah Gereja Katolik Maluku Utara 1534 – 2009” karya C.J Bohm MSC dan Frits Pangemanan. Dalam buku itu disebutkan bahwa “Di antara 300an orang yang dibawa oleh Antonio de Britto ke Ternate, terdapatlah beberapa biarawan Fransiskan (OFM). Pemimpin mereka adalah Pastor Andreas del Espiritu Santo”.
Bohm dan Frits tak menemukan cukup informasi soal seberapa jauh misi yang dilakukan oleh para biarawan ini. Mereka (para biarawan) rupanya hanya melakukan pelayanan selama beberapa tahun saja. Catatan selanjutnya mengatakan, seorang pastor yang dikirim sebagai wakil dari Uskup Goa bernama Pastor Fernando Lopez menetap di Ternate. Ia hanya bertugas untuk melayani kerohanian orang-orang Portugis di dalam Benteng Sao Paulo (Saat ini Benteng Kastela).
ADVERTISEMENT
“Bahkan gereja pertama kali dibuat di dalam Benteng Nostra Senora del Rosario. Orang Portugis membangun sebuah gereja di dalam benteng dan mempekerjakan para rohaniwan sebagai pastor untuk mengurus iman Katolik orang Portugis di Ternate,” jelas Irfan.
Pada 1533, menurut catatan Adnan Amal dalam “Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950”, Tristao de Atayde tiba di Ternate guna menggantikan Vicence de Focenca sebagai Gubernur Maluku. Atayde kemudian dicatat sebagai seorang yang kejam dan sering memerintahkan penyerangan ke sejumlah wilayah.
Bersama dengan Atayde, datang pula seorang Pastor bernama Simon Vaz. Nama terakhir inilah yang membawa Misi Jesuit dengan cukup berhasil.
Sebelumnya terdapat pula seorang pedagang Portugis bernama Goncalo Veloso. Kendati bukan seorang rohaniwan, Veloso memiliki perhatian pada keberlangsungan gereja. Ia banyak mengunjungi dan menjalin kontak dengan kepala-kepala kampung di wilayah Moro di pesisir Teluk Galela. Hingga suatu ketika, ketegangan terjadi di antar desa sekitar. Kolano Desa Mamuya pun mengeluhkan kondisi itu kepada Veloso.
ADVERTISEMENT
Pedagang itu kemudian menyarankan agar Kolano Mamuya pergi ke Ternate dan meminta bantuan kepada Portugis. Syaratnya, Kolano Mamuya yang sebelumnya menganut keyakinan nenek moyang, mesti berpindah menjadi umat Katolik. Ia menyanggupi syarat itu.
Beberapa waktu setelah menyampaikan niatnya ke Atayde dan disambut baik, Kolano Mamuya lantas dibaptis bersama dengan ketujuh pengawalnya. Nama baptisnya adalah Don Joao. Sementara Sangaji Tolo yang juga ikut dalam pembabtisan itu memperoleh nama yang mirip nama Atayde.

Pembabtisan di Mamuya

Simon Vaz turut serta bersama rombongan Kolano Mamuya ketika pulang ke desanya. Karena kebaikan serta keteladannya, Simon banyak menarik simpati masyarakat. Mereka lantas berbondong-bondong memohon diri menjadi Katolik. Simon kemudian membabtis masyarakat ini di atas lahan darurat di Desa Mamuya.
ADVERTISEMENT
“Momen tahun 1534 ini dipandang sebagai titik awal penting masuknya Gereja Katolik ke wilayah Maluku dan ke seluruh Indonesia (Nusantara). Dalam skala luas Gereja Katolik Indonesia, momen ini diakui sebagai awal dari Gereja di Indonesia,” tulis Bohm dan Frits.
Uskup Diosis Amboina Mgr. P.C Mandagi MSC dalam kata pengantar untuk buku “Sejarah Gereja Katolik Maluku Utara 1534 – 2009” menyebut momen tersebut sebagai momen terindah yang senantiasa patut disyukuri.
“Dalam peringatan penuh syukur 475 tahun masuknya agama Katolik di Maluku Utara, yang juga menandai masuknya agama Katolik di Indonesia, Gereja Katolik Keuskupan Amboina menjadikan peringatan agung ini sebagai refleksi seluruh umat maupun masyarakat,” tulis Uskup.
Sejak pembabtisan itu, perkembangan Katolik di Maluku Utara, khususnya Halmahera bagian utara berkembang cukup pesat. Hanya dalam setahun, jumlah umat Katolik di pesisir Teluk Galela kala itu lebih dari 3.000 jiwa. Atayde bahkan perlu mengirim pasukan untuk mengamankan umat di sana.
ADVERTISEMENT
Bahkan, perkembangan itu masuk hingga ke petinggi Kesultanan Ternate. Pada era-era inilah Sultan Tabariji dan kedua orang tuanya, yakni Pati Sarangi dan Nyai Cili Boki Nukila, berpindah keyakinan menjadi Katolik. Perpindahan keyakinan ini memang berkaitan dengan situasi kemelut yang saat itu melanda Ternate.
Tabariji, tulis Adnan Amal, bahkan sempat memproklamirkan Ternate sebagai Kerajaan Kristen yang berada di bawah daulat Portugis. “Tapi proklamasi itu ini tidak memberikan dampak yuridis pada status Kerajaan Ternate.” tulis Adnan.
Namun, yang ditakutkan pun terjadi. Ketegangan terjadi di Moro, dan oleh karena itu Simon Vaz mesti dilarikan dan bersembunyi di Desa Sao. Simon tak berumur panjang, pada 1535 ia terbunuh di desa tersebut.
“Mereka menjadi martir pertama Indonesia dalam penyiaran benih Kekristenan di Indonesia,” tulis Bohn dan Frits.
ADVERTISEMENT
Terbunuhnya Simon membuat gairah Katolik di wilayah Moro menurun cukup drastis. Kondisi itu bertahan hingga tibanya Antonio Galvao pada 25 Oktober 1536 untuk menggantikan Atayde. Berbeda dengan pendahulunya, Galvao digambarkan sebagai pemimpin yang luar bisa. Secara perlahan, ia memulihkan kembali hubungan dengan para sultan.
Sultan Khairun yang saat itu berkuasa setelah menggantikan Tabariji pun dikatakan memiliki kedekatan dengan Galvao. Tak hanya dengan Galvao, Khairun yang oleh Francois Valentijn disebut sebagai orang yang bijaksana itu juga memiliki hubungan erat dengan Fransiskus Xaverius, sosok yang kemudian membawa pengaruh besar terhadap perkembangan Gereja Katolik di Maluku.
Kepada Xaverius, dalam catatan Adnan Amal, Khairun bahkan sempat berkata bahwa “Baik Islam atau Kristen, mempunyai tujuan yang sama. Oleh sebab itu, saya tak perlu mengganti keyakinan saya dengan mengikuti keyakinan anda,” tulis Adnan.
ADVERTISEMENT
Tingginya nilai toleransi yang dipegang oleh Khairun tampak dari keputusannya mengirim anaknya, Babullah guna memasuki Sekolah Tinggi Jesuit Kolese Santo Paulus di Goa.
"Di bawah kepemimpinan Galvao dan dibantu oleh seorang Pastor bernama Vinagre lah, secara perlahan puluhan Desa di wilayah Halmahera Utara dan Morotai hidup kembali dan tumbuh menjadi warga Katolik yang besar," tambah Adnan.

Kedatangan Fransiskus Xaverius

Fransiskus Xaverius adalah seorang Jesuit yang bermental baja. Sebab, ketika wilayah-wilayah Utara Halmahera kala itu, digambarkan sebagai daerah yang menyeramkan. Xaverius tak memedulikannya dan tetap berkeinginan mengunjungi wilayah itu.
Ia tiba di Ternate pada pada 1546. Di dalam benteng Sao Paulo, Xaverius sibuk melayani umat Katolik. Kendati begitu tak menghilangkan hasratnya untuk melakukan perjalanan ke utara Halmahera. Sebuah niat yang banyak ditentang oleh teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Keinginan itu bukan tanpa sebab. Sebelumnya, Xaverius telah banyak mendengar cerita dari Imam Agustin tentang kondisi memilukan kaum Moro karena ketiadaan para gembala. Mendengar keterlantaran umat, tekadnya semakin bulat.
Pertengahan September 1546, Fransiskus dan rombongan berangkat menuju Moro. Sesampainya di sana, ia bertemu dengan Kolano Mamuya atau Don Joao. Ia disambut penuh kehangatan. Fransiskus Xaverius kemudian berkeliling ke kampung-kampung Katolik untuk mengajarkan tentang moral dan iman yang baik. Tak hanya itu, ia juga menginisiasi pembelajaran tulis-menulis kepada masyarakat.
“Dan dari hari ke hari, makin banyak orang mengikutinya, rajin berdoa, dan membawa padanya orang-orang sakit untuk didoakan. Banyak dari mereka kemudian memberi diri untuk dibaptis dan menjad Katolik,” tulis Bohm dan Frits.
ADVERTISEMENT
Fansiskus pun terus mengabarkan kesuksesannya ke rekan-rekannya di Roma. Hal itu dibuktikan dalam surat yang ia tulis:
“Di pulau-pulau itu saya membaptis banyak anak. Saya tinggal di situ selama tiga bulan. Selama waktu itu saya mengunjungi semua kampung di mana terdapat orang Kristen. Perjumpaan kami adalah suatu hiburan besar baik bagi saya maupun bagi mereka”.
Pada Desember 1546, Fransiskus menyelesaikan kunjungannya dan kembali ke Ternate. Saat kembali itu, ia membawa serta beberapa anak lelaki untuk dididik di Kolese Paulus di Goa. Selama kehadirannya di Maluku, Fransiskus telah banyak membawa kebaikan terhadap masyarakat, tak hanya untuk umat Katolik, melainkan juga bagi umat Islam. Ia bahkan diberi sebutan sebagai “Padre yang kudus”.
ADVERTISEMENT
Kebaikan Fransiskus itu tercederai oleh tindakan licik Portugis yang membunuh Sultan Khairun dan kemudian mengobarkan perlawanan masyarakat Ternate.
“Tindakan Fransiskus Xaverius yang berhasil mengkristenkan banyak penduduk di Ternate, Bacan, Halmahera dan Morotai seakan sia-sia. Dengan terbunuhnya Sultan Khairun, kemarahan warga Ternate dan pengusiran orang Portugis pun dilakukan di bawah komando Sultan Babullah,” ucap Irfan.
Sesudah Paskah 1547, sang Rasul itu lantas kembali ke Amboina untuk melanjutkan perjalanannya ke Malaka.
“Hidupnya menjadi suatu inspirasi kebaikan dan keteladanan pembaharuan hidup oleh masyarakat luas. Hidup dan karya-karyanya benar-benar ia baktikan untuk kepentingan orang lain, tanpa memandang golongan dan latar belakang,” tulis Bohm dan Frits.
Jadi, berdasarkan catatan sejarah, menurut Irfan Ahmad, bisa dikatakan bahwa Kristen Katolik telah lebih dulu masuk di Maluku sebelum menyebar di wilayah lain di Nusantara.
ADVERTISEMENT
“Selain gereja pertama, sekolah Katolik juga pernah ada di Ternate. Sekolah Katolik pertama. Jadi gereja dan sekolah Katolik itu (menjadi yang) pertama di Nusantara,” kata Irfan.