Selo Guto, Tradisi Masyarakat Afa-afa Tidore di Malam Lailatul Qadar

Konten Media Partner
26 Mei 2019 19:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ritual Selo Guto oleh masyarakat Kelurahan Afa-afa, Lingkungan Tomayou, Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, dalam menyambut turunnya malam lailatul qadar atau malam ke-25 Ramadan. (Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Ritual Selo Guto oleh masyarakat Kelurahan Afa-afa, Lingkungan Tomayou, Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, dalam menyambut turunnya malam lailatul qadar atau malam ke-25 Ramadan. (Istimewa)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masyarakat Kelurahan Afa-afa, Lingkungan Tomayou, Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, memiliki satu tradisi unik dalam menyambut turunnya malam lailatul qadar pada bulan Ramadan. Namanya 'Selo Guto'.
ADVERTISEMENT
Muhammad Ali, tokoh masyarakat lingkungan Afa-afa Tomayou, saat ditemui cermat di kediamannya, Minggu (26/5), mengatakan tradisi ini masih dipertahankan masyarakat Afa-afa. "Hal ini sebagai wujud komitmen dalam melestarikan warisan para leluhur," tutur Ali.
Ali yang sedikit kesulitan melafalkan dialeg melayu ini, menuturkan, tradisi Selo Guto digelar tepat di malam lailatul qadar, atau malam ke - 25 ramadan. "Tradisi ini hanya di (kelurahan) Afa-afa saja," katanya.
Sementara, Jufri Ismail, warga Lingkungan Afa-afa Tomayou, menjelaskan proses tradisi Selo Guto ini, diawali dengan pengantaran lilin dan batu kemenyan pada pukul 07.00 WIT, ke sebuah rumah yang dikeramatkan. "Rumah itu disebut fola masou," jelasnya.
Semua dilakukan oleh anak kecil hingga orang dewasa, yang memiliki satu ikatan leluhur. Setelah itu, pukul 16.00 WIT, para orang tua hingga anak kecil tadi membawa lilin-lilin tersebut ke lokasi pemakaman para leluhur mereka, untuk dibakarkan lilin tersebut.
ADVERTISEMENT
Memasuki malam hari atau usai salat tarawih, dilanjutkan dengan ritual Selo Guto tersebut. "Jadi serangkaian ritual ini berlangsung dari pagi hingga malam itu juga," jelasnya.
Jika diartikan, Selo berarti memotong atau menebas. Sedangkan Guto merupakan hasil perkebunan. Adapun jenis hasil perkebunan yang disiapkan terdiri dari pisang, tebu, jagung, dan pohon seho atau aren. "Tumbuhan jenis ini yang disajikan dalam ritual tersebut," katanya.
Batangan pohon pisang sengaja di tanam di pekarangan rumah warga, dalam tradisi ritual Selo Guto oleh masyarakat Kelurahan Afa-afa, Lingkungan Tomayou, Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, dalam menyambut turunnya malam lailatul qadar atau malam ke-25 Ramadan. (Istimewa)
Dijelaskan Jufri, dalam prosesi Selo Guto, masyarakat akan menancapkan beberapa batang pohon pisang, jagung, dan seho atau aren di pekarangan rumah yang dianggap keramat, dan membentuk lingkaran diameter sekitar 5 meter.
Nantinya, batangan pohon itu dijadikan sebagai tempat untuk mengikat buah berupa pisang, jagung, dan tebu. "Semua jenis tumbuhan ini harus lengkap. Tidak boleh tidak disertakan," katanya.
ADVERTISEMENT
Dulu, kata Jufri, Selo Guto dilakukan pagi hari. Namun sekarang di malam hari. Sedangkan dalam prosesi ini, terdapat sekitar 10 rumah lebih yang melaksanakan ritual tersebut. "Dari 10 rumah itu nanti, anak-cucu mereka berkumpul dan saling bekerja secara bersama-sama," jelasnya.
Adapun makna dari ritual ini, menurut lelaki alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan (STIKP) Kie Raha Ternate ini, sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas pelimpahan rezeki yang diberikan.
Sementara, terkait kapan datangnya tradisi ini, Jufri dan Muhammad Ali mengaku tidak mengetahui secara pasti. "Yang jelas tradisi ini sudah ada sejak dulu. Kami anak-cucu hanya mengikuti saja," jelas keduanya.
---
Olis