Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 Ā© PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Tambang Galian C di Ternate hanya Kantongi Izin Pemerataan Lahan
22 Januari 2020 14:08 WIB

ADVERTISEMENT
Mesin alat berat menderu-deru, membela dan menggali barikade bukit di Kelurahan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Kota Ternate, Maluku Utara.
ADVERTISEMENT
Seisi bukit berupa bebatuan yang dikeruk itu, dituang ke dalam crusher atau mesin pemecah batu. Begitu keluar dari crusher, batu-batu itu berubah menjadi pasir dan batu kerikil.
Gundukan material itu kemudian ditampung di beberapa titik kawasan galian C. Lokasi ini sulit terlihat dari jalan raya. Sebab terhalang bukit di depannya.
Ditemani seorang warga bernisial ARM, Senin pekan kemarin, cermat melintasi lokasi tersebut menggunakan sepeda motor. Belasan pasang mata pekerja menatap serius.
"Tenang saja. Dorang (mereka) tahu torang dua (kami berdua) ke kebun," ucap ARM, berupaya menenangkan.
Dari depan lokasi galian, hanya disisahkan satu jalur dari bukit yang dibela dua, sebagai akses masuk dan keluar kendaraan operasional. Sepintas, bukit tersebut nampak seperti 'mangkuk raksasa' yang terbelah dua.
ADVERTISEMENT
Sementara, di belakang lokasi galian C, terdapat lahan perkebunan warga yang ditumbuhi pohon kelapa, pala, dan cengkih. Salah satunya adalah lahan perkebunan milik ARM sendiri.
ARM bilang, pengaplikan lahan di lokasi ini dilakukan di akhir tahun 2013. Saat itu, sebagian masyarakat Sulamadaha masih dilibatkan sebagai tenaga lokal.
Status mereka buruh harian yang bertugas mengola pasir dan kerikil. "Semua dikerjakan secara manual. Waktu itu belum ada alat," katanya.
Kini, tenaga lokal sudah dikurangi setelah alat didatangkan. ARM sendiri tidak tahu profil perusahaan tersebut.
Setahu dia, perusahaannya masih berstatus Commanditaire Vennootschaap (CV). "Yang pasti statusnya CV, bukan PT," ungkapnya.
Di lokasi ini, terdapat dua lokasi galian C yang saling berdekatan. Pemilik galian C ini berinsial UM dan AK. UM tercatat sebagai birokrat di Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Sedangkan AK adalah pengusaha.
ADVERTISEMENT
ARM mengaku sempat menyasar lebih jauh aktivitas galian C tersebut. Caranya, ARM sengaja menyusun skripsi berjudul : 'Perubahan lahan potensial menjadi galian C'.
"Saat saya turun penelitian, ada beberapa hal yang istilahnya dilakukan lewat pintu belakang," ucap alumnus Ilmu Geografi salah satu kampus di Ternate ini.
Di mana, kata dia, izin yang dikantongi perusahaan adalah pemerataan lahan untuk usaha properti."Bukan galian C dan diameternya sekira 9 meter. Itu ukuran ideal untuk pemerataan lahan," paparnya.
Sebab, menurut dia, Ternate dengan luas wilayah 5.795, 4 km² ini sudah diberlakukan moratorium pembukaan lahan. Namun hal ini masih berlanjut. Disamping itu, pembelian lahan pun tak sulit.
"Mereka beli lahan warga di sini. Harganya mulai dari Rp 100 juta hingga Rp 200 juta-an," katanya. "Saat ini, luas area galian sudah mencapai 4 - 5 hektare."
ADVERTISEMENT
Rekomendasi pemerataan lahan yang dikantongi para penambang galian C ini, diakui Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Ternate, Edy Hatari.
"Rekomendasi itu pemerataan lahan, bukan komersialisasi material," singkat Edy kepada cermat.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Ternate, Mahdi Nurdin, tidak mau mencampuri usaha para penambang tersebut.
Sebab izin yang mereka minta adalah pemerataan lahan. "Kalau di lapangan lain, itu sudah diluar dari kewenangan kami," tandas Mahdi kepada cermat.
Menurut dia, aktivitas galian C di Ternate sudah berlangsung cukup lama. Tapi saat ini sudah tidak diperbolehkan lagi.
Kebijakan itu setelah Undang-undang Nomor 23 perubahan, terkait peralihan kewenangan pertambangan ke provinsi.
ADVERTISEMENT
"Di kabupaten/kota sudah tidak ada kewenangan. Izin itu (galian c) sudah dicabut," papar Mahdi yang mengaku tidak tahu skema peralihannya.
"Tapi jauh ketika mereka beroperasi, DPMPTSP Ternate baru dibentuk pada 2016," tambah Mahdi.
Beberapa waktu lalu, Komisi III DPRD Kota Ternate menyambangi seluruh titik lokasi galian C yang tersebar di Ternate. Di antaranya Kelurahan Kalumata, Fitu, Tubo, Sango, Kulaba, Bula, dan Sulamadaha.
Hasilnya, ditemukan sejumlah titik galian C yang tidak mengantongi izin pertambangan, tapi pemerataan lahan.
"Kami sempat kroscek sejumlah dokumen, ternyata di provinsi pun belum mengeluarkan izin pertambangan galian C," ungkap Nurlela Syarif, Anggota Komisi III DPRD Kota Ternate, kepada cermat.
Kepala Bidang Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan BLH Kota Ternate, Nasrul Z. Andili, mengatakan, dari 6 kelurahan terdapat 11 titik galian C yang mengantongi izin pemerataan lahan.
ADVERTISEMENT
Dijelaskan Nasrul, tahap perizinan berupa izin lingkungan, izin prinsip, dan izin rekomendasi dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kota Ternate.
"Tiga tahap ini dirangkum dalam satu bentuk dokumen untuk diterbitkan izin lingkungannya," kata Nasrul kepada cermat.
Menurut dia, dalam peraturan daerah terkait tata ruang, galian C tidak diperuntukan di semua kawasan.
Misalnya, untuk pengambilan pasir sudah ditetapkan di belakang Kalumata dan Dufa-dufa. Sedangkan batu di Kulaba."Itu sudah diatur. Sudah ada spot-spot yang bisa ditambang," katanya.
Namun, lanjut dia, berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 terkait regulasi penertiban izin usaha pertambangan (IUP), sudah menjadi kewenangan provinsi.
"Jadi kami (BLH) tidak punya kewenangan menerbitkan IUP. Kewenangan kami adalah menerbitkan izin lingkungan terhadap pemerataan lahan," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Terkait galian C di Sulamadaha, dikatakan Nasrul, yang direkomendasikan adalah pemerataan lahan. Namun secara administrasi, UM harus memperbaharui izinnya.
Hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan."Karena sudah ada penambahan kapasitas produksi di kawasan galiannya. Dia (UM) beli lagi lahan di masyarakat," katanya.
Persoalan apakah itu dikategorikan pelanggaran atau tidak, kata Nasrul, yang dilihat BLH adalah mekanisme pengajuan izin."Misalnya, disepakati lurah hingga BKPRD," tandasnya.
Dari situ dirapatkan di BLH untuk diterbitkan izinnya oleh wali kota."Berarti kan sudah sah. Peruntukan lahannya sudah oke. Karena sesuai izin yang diajukan," katanya.
Di Sulamadaha, kata dia, selain AK dan UM, ada juga satu kawasan galian C milik DN. Ketiganya mencaplok satu bukit. Masing-masing sudah mengeruk separuh dari bukit.
ADVERTISEMENT
"Nanti rata semua itu. Tapi masih disisahkan levelnya untuk lantai, jadi masih di atas jalan. Kalau dalam perspektif lingkungan tidak masalah. Kecuali mereka bor," katanya.
Sementara, dari sisi topografi dan rencana cutting lahan di Sulamadaha, dinilai Nasrul, masih memenuhi syarat. Karena tidak dibawah badan jalan. "Itu sesuai Permen LHK Nomor 32," katanya.
Hanya saja, yang menjadi kendala di BLH adalah melakukan pemantauan atau pengawasan setiap 6 bulan berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
"Termasuk (kelemahan) di regulasi kemarin, dan salah pemahaman antara BLH dan BKPRD mengenai status izin usaha pertambangan daerah," katanya.
Dalam pertemuan bersama lurah, camat, serta Komisi III DPRD Kota Ternate, Selasa (21/1), kata Nasrul, BKPRD berdalih bahwa semua kewenangan ada di provinsi.
ADVERTISEMENT
Padahal, bagi Nasrul, wilayah yang ditambang berada di Ternate. Lantas bagaimana skenario orang-orang di provinsi dalam melakukan pemantauan, harus melewati batas-batas administrasi.
"Misalnya Lurah Tubo harus berkoordinasi ke provinsi. Padahal kan bisa lewat kita. Karena yang kita pahami, izin lingkungan lewat wali kota. Sedangkan izin pertambangan dari gubernur," paparnya.
Hal ini, kata dia, sudah dikoordinasikan ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup.
Menyentil bukankah sudah dikeluarkan moratorium galian C di Ternate, menurut Nasrul, persoalannya adalah tidak ada Dinas Pertambangan di Kota Ternate.
Ia menilai, regulasi pertambangan di lingkungan hidup tidak tepat. Sebab tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di BLH adalah lingkungan hidup. "Dan itu tertuang di Permen maupun Kepmen," katanya.
ADVERTISEMENT
Sementara, lanjut dia, dalam pertambangan harus ada inspektur tambang atau hal-hal yang bersifat detail."Itu tidak ada di kota (Ternate), dan itu yang diserahkan ke kita di BLH," katanya.
"Jadi kalau kita pakai regulasi pertambangan, tupoksi kita lebih ke lingkungan hidup. Itu yang agak repot di situ," ungkapnya.
Menanyakan apakah galian C ini dipengaruhi kebutuhan material di Ternate yang masih tinggi, Nasrul bilang, BLH adalah lapisan ketiga dari dua lapisan di depannya.
Menurut dia, apabila ada masyarakat yang mohon izin galian C, kemudian masuk ke BKPRD sebagai peruntukan tata ruang dan disetujui, terpaksa harus dianulir oleh BLH. "Kami tidak bisa melarang," katanya.
Dari persoalan ini, Ketua Komisi III DPRD Kota Ternate, Anas U Malik, mengakui bahwa kelemahannya ada pada pengawasan.
ADVERTISEMENT
Mulai dari sejumlah rekomendasi dari BKPRD berupa izin prinsip, penyesuaian tata ruang, dan uji kelayakan lingkungan - uji pemantauan lingkungan."Banyak ditemukan kelemahan dari sisi pengawasan," tandasnya.
Kelemahannya, kata Anas, terletak pada koordinasi. Olehnya itu, BKPRD harus menggelar rapat lintas SKPD terkait. "Supaya fungsi pengawasan dapat dilaksanakan dengan baik," tandasnya.
Ke depan, lanjut dia, Komisi III akan mengkaji, apakah ini diusulkan ke pimpinan untuk membentuk panitia khusus atau tidak.
"Ini masih dikaji. Tapi yang jelas, kita banyak mendapat masukan dari kelurahan, kecamatan, maupun BKPRD dan BLH," paparnya.
Selebihnya dibutuhkan ketegasan pemerintah. Sebab BKPRD juga punya kewenangan meninjau rekomendasi yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
"Tapi memang dari sisi penganggaran, anggaran pengawasan di BLH terlalu kecil. Makanya pengawasan lemah," tukasnya.
ADVERTISEMENT