Walhi Malut dan Sylva Unkhair Ternate Desak Gubernur Selamatkan Hutan

Konten Media Partner
21 Maret 2023 19:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara bersama Sylva Universitas Khairun Ternate menggelar aksi hari hutan sedunia dan hari air sedunia di depan kediaman Gubernur Maluku Utara di Kota Ternate. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara bersama Sylva Universitas Khairun Ternate menggelar aksi hari hutan sedunia dan hari air sedunia di depan kediaman Gubernur Maluku Utara di Kota Ternate. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, dituntut menyelamatkan hutan di Malut yang masih tersisa dari ancaman deforestasi.
ADVERTISEMENT
Desakan itu datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Malut dan Sylva Universitas Khairun Ternate, dalam aksi hari hutan sedunia dan hari air sedunia, Selasa (21/3).
Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Malut, Julfikar Sangaji, mengatakan saat ini tutupan hutan di Malut terus tergerus setiap waktu.
Merujuk pada analisis spasial tutupan lahan dari Global Forest Watch pada 2001, Malut memiliki 2.27 juta hektare hutan primer.
Menurut Julfikar, angka itu membentang 72 persen area lahan. Tapi di 2021, Malut kehilangan 3.57 ribu hektare hutan primer.
"Itu setara dengan emisi sebesar 2.97 metrik ton karbon dioksida," ungkap Julfikar kepada cermat di sela-sela aksi.
Ia menambahkan, analisis spasial juga menunjukkan bahwa di 2001 hingga 2021, Malut sudah kehilangan 268 ribu hektare tutupan pohon.
ADVERTISEMENT
"Itu setara dengan penurunan 8.7 persen tutupan pohon sejak 2000, dan setara dengan 206 metrik ton emisi karbon dioksida," ungkapnya.
Menurutnya, kehilangan tutupan pohon pada hutan pulau di Malut secara signifikan disebabkan aktivitas pertambangan, perkebunan dan loging.
"Karena dalam satu dekade terakhir misalnya, kawasan hutan Malut menjadi sasaran empuk aktivitas ekstraktif," ungkap Julfikar.
Padahal, kata Julfikar, Malut secara geografis hanya memiliki 24 persen wilayah daratan. Sedangkan 76 persen adalah perairan.
"Itu berarti daratan yang mungil ini dijaga. Jika dikelola pun harus jauh dari dampak kerusakan ekologi. Bukan sebaliknya," tuturnya.
Ia menjelaskan, hingga Maret 2023, Walhi Malut mencatat ada 146 usaha berbasis lahan yang menduduki daratan Malut.
Untuk tambang ada 110 izin usaha. Termasuk dua kawasan industri pengelolaan nikel. Sedangkan perkebunan dan kehutanan mengoleksi 34 izin usaha.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pertambangan nikel, ada 52 izin usaha dengan total luas konsesi 213.60 hektare yang saat ini tengah bergeliat menumbangkan pohon-pohon tanpa terkecuali.
"Jadi semua usaha yang keluar dari tangan pemerintah ini mustahil tidak menciptakan deforestasi," ucap mantan jurnalis tersebut.
Ketua Umum Sylva Unkhair, Bahtiar S. Malawat, memproyeksi laju deforestasi hutan di Malut ke depan akan lebih menggila.
Sebab, ada proses penambangan yang terus mengikuti luas garapan perusahaan. "Terutama penambang nikel," katanya.
"Karena mereka akan lebih dulu melakukan pembersihan area dengan membabat habis hutan sebelum mengeruk tanahnya," tambah Bahtiar.
Selain itu, bercokolnya perusahaan pertambangan nikel ini seiring hadirnya pabrik pengolahan seperti di Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah dan Pulau Obi, Halmahera Selatan.
ADVERTISEMENT
Bagi Bahtiar, kasus deforestasi patut menjadi cerminan, terutama di daratan Gane Dalam, Halsel. "Ada fakta yang bisa kita saksikan," tandasnya.
"Kebun-kebun rakyat yang sudah ditanami tanaman produktif pada akhirnya lenyap digusur korporasi sawit," tutur Bahtiar mengakhiri.