Konten Media Partner

Yamin Sampaikan Ekonomi Kerakyatan untuk Ternate

22 Februari 2020 20:45 WIB
clock
Diperbarui 12 Maret 2020 11:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bakal calon Wali Kota Ternate, Mohammad Yamin Tawary, saat melakukan dialog bersama beberapa jurnalis di Kota Ternate. Fot: Gustam Jambu/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Bakal calon Wali Kota Ternate, Mohammad Yamin Tawary, saat melakukan dialog bersama beberapa jurnalis di Kota Ternate. Fot: Gustam Jambu/cermat
ADVERTISEMENT
Pemilihan calon Wali Kota Ternate, Maluku Utara, periode 2020 - 2025 semakin dekat. Pelbagai upaya dan strategi tengah dipersiapkan.
ADVERTISEMENT
Mulai dari loby-loby partai politik, mengukur kualitas sang wakil untuk dipinang, hingga adu gagasan sebagai upaya merebut simpati publik.
Lantaran ini soal pilihan, maka ide atau gagasan menjadi penting untuk ditampilkan. Dan di antara bakal calon kepala daerah yang ikut dalam bursa kali ini, Mohammad Yamin Tawary, adalah salah-satunya yang terjun dalam ajang lima tahunan itu.
Dalam dialog bersama beberapa jurnalis di salah satu warung kopi, bilangan perumahan BTN Ternate beberapa waktu lalu, politisi senior itu lebih condong melihat pada aspek kesejahteraan rakyat.
Ini bisa dilihat, bahwa persoalan ekonomi menjadi satu di antara sekian 'bekal', ketika kelak dipercayakan oleh rakyat dalam menata kota pulau ini.
"Yang disebut masyarakat mandiri itu apa. Sebenarnya, bagaimana itu kesejahteraan masyarakat, apa indikatornya," tanya Yamin membuka dialog dalam kesempatan itu.
ADVERTISEMENT
Bagi dia, kesejahteraan jika dipandang secara batin, sangat-lah subjektif. Semisal adanya rasa bahagia dalam lingkup keluarga, minimnya kasus premanisme, dan selalu hidup rukun antar sesama.
Barangkali ini yang menempatkan Maluku Utara sebagai provinsi paling bahagia di Indonesia, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik beberapa tahun lalu.
"Ini mencerminkan bahwa prasyarat-prasyarat kebahagiaan batin sudah terpenuhi. Tapi kalau kesejahteraan fisik, ekonomi, itu apa?," ujar Yamin.
Menurut dia, ukurannya adalah, satu keluarga atau individu yang pada usia produktif, sudah harus memiliki kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
"Kalau dia punya kemampuan daya beli, tentu itu sudah bisa dikatakan sejahtera," katanya.
Yamin menganalogikan seperti ini; ada seseorang di Ternate yang anaknya bekerja di Bacan, Halmahera Selatan.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba, anaknya jatuh sakit. Sebagai orang tua, harus segera menjenguknya. Tentu untuk perjalanan ke Bacan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Mulai dari tiket pesawat atau kapal laut, biaya makan-minum selama di Bacan, hingga biaya pengobatan di rumah sakit.
Jika yang bersangkutan mampu memenuhi semua kebutuhan ketika diperhadapkan dengan kondisi itu, dapat dipastikan bahwa ia sudah sejahtera.
"Karena sakit tidak pernah direncanakan. Tapi begitu diperhadapkan dengan kondisi seperti itu, kebutuhan dasarnya ada. Sebab orang yang berusaha untuk tetap sehat, harus matang dari segi kebutuhan dasar," tuturnya.
Analogi kedua; ketika stok makan-minum di rumah tangga telah habis. Sementara, mereka harus memenuhi itu. Salah satunya, ketersediaan beras.
Dalam sebulan, katakanlah sekarung beras ukuran 50 kilogram. "Tapi dia masih mampu beli. Artinya, kemampuan daya belinya masih ada," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Yamin mencoba melempar pertanyaan yang berangkat dari realitas. "Apakah Anda pernah merasakan saat Anda menginginkan sesuatu, lantas tidak mampu membelinya. Pernah kan?," tanya Yamin, lalu dibalas 'pernah' oleh beberapa jurnalis.
"Artinya, tingkat pendapatan kita dengan kebutuhan dasar, untuk pengeluaran jauh lebih besar dari tingkat pendapatan. Tentu daya beli kita akan lemah," paparnya.
Menurut dia, daya beli dikatakan kuat ketika pendapatan jauh lebih besar dibanding pengeluaran. "Kalian yang sudah bekerja saja, terkadang merasa sulit membeli sesuatu, apalagi yang tidak bekerja. Bisa dibayangkan kesulitannya seperti apa," paparnya.
Lalu, lanjut dia, apa yang harus dilakukan agar daya beli masyarakat tetap ada. "Pertama, dia harus punya pekerjaan. Karena asumsinya, dengan bekerja dia dapat gaji," katanya.
ADVERTISEMENT
"Tapi apakah dengan gaji, lantas daya belinya sudah kuat. Belum tentu. Pertanyaannya, gaji dia berapa," katanya menambahkan.
Maka kesimpulannya, kata Yamin, mendapatkan pekerjaan di satu sisi dan menaikan pendapatan di sisi lain.
Di mana, ketika sudah bekerja, maka pendapatannya harus dapat mencukupi segala kebutuhan dasarnya. "Kalau tidak bekerja, bagaimana mau diukur pendapatannya," ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, pendapatannya masih terbatas. "Makanya kenapa ada regulasi tentang upah minimum kota dan segala macam itu," tuturnya.
Dalam gambaran lain, Yamin menganalogikan, satu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan tiga orang anak. Dari lima anggota keluarga ini, sang ayah dan anak sulung telah bekerja.
Hanya ibu yang berdagang di pasar. Sementara, dua anak lagi masih sekolah. Maka dari lima anggota keluarga itu, tiga orang adalah sumber pendapatan.
ADVERTISEMENT
"Sedangkan dua orang sebagai sumber pengeluaran. Jika diukur kemampuan pendapatan keluarga ini, sirkulasi ekonomi mereka masih kuat," katanya.
"Bayangkan saja kalau dari lima orang ini, hanya ayah yang bekerja. Ibunya di rumah. Tidak bekerja. Anak sulung juga demikian. Dua adiknya masih sekolah. Maka sirkulasi keuangan di keluarga itu lemah," bebernya.
Menurut dia, untuk membiayai empat orang dari satu sumber pendapatan, sah-sah saja sepanjang pendapatan sang ayah besar. "Kalau kecil, maka bisa dibayangkan bagaimana sirkulasi ekonomi satu keluarga ini," tuturnya.
Maka rumusnya, pada usia produktif sudah harus memiliki pekerjaan agar beban dalam keluarga berkurang. Poinnya, mereka harus mendapatkan pekerjaan dan pendapatan.
"Jadi kalau tiga orang ini dapat pekerjaan, walau gajinya tak cukup besar, tetapi karena sumber pendapatan terdiri dari tiga orang, maka hitungannya tetap besar," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, lanjut dia, maka yang harus disiapkan adalah membuka lapangan kerja. Apalagi di Ternate sendiri, terdapat sekira 6.000 lebih pengangguran.
"Mereka ini mau kerja apa. Berharap PNS, tidak mungkin," katanya. PNS, kata Yamin, dalam setahun diperkirakan sekira 100 orang.
"Paling tinggi 200 orang. Nah, kalau 6.000 yang menganggur, 6.000 per 100 - 200, lalu jumlah 5.800 ke mana," ujarnya.
Sementara, lanjut dia, setiap tahun siswa SMA harus tamat. "Masak kita minta pelajar, jangan dulu menamatkan sekolahnya. Karena belum ada lapangan kerja. Kan tidak mungkin," katanya.
Begitu juga para sarjana dari pelbagai kampus di Kota Ternate."Kan tidak mungkin kita minta mereka perpanjang masa kuliahnya, karena belum ada lapangan pekerjaan," katanya.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, menciptakan pengangguran terdidik jauh lebih berbahaya. Olehnya itu, solusinya adalah membuka lapangan pekerjaan.
"Tidak melulu pada sektor pemerintahan. Bisa juga di sektor swasta. Ada pertanian, perikanan, pariwisata. Banyak, dan sasarannya harus dapat," terangnya.
Meredam Pengeluaran
Bakal calon Wali Kota Ternate, Mohammad Yamin Tawary saat menggelar dialog bersama beberapa jurnalis di Kota Ternate. Foto: Gustam Jambu/cermat
Bagi Yamin, yang harus dipikirkan adalah memberikan stimulus agar pendapatan masyarakat bisa naik. Kemudian, melakukan efisiensi terhadap pengeluaran dari uang yang masuk.
"Apa saja sih problem keuangan mereka. Uang mereka kan keluar pada sektor-sektor tertentu, yang semestinya pemerintah bisa membantu itu," katanya.
Persoalan campur-tangan pemerintah, Yamin mencoba masuk pada ranah pendidikan, sekaligus satu di antara sekian programnya ke depan. Adalah mengratiskan segala beban biaya pendidikan.
"Bebaskan uang pendaftaran sekolah, uang seragam, uang ujian, biaya pengambilan ijazah, hingga (bebaskan) biaya buku-buku tambahan," paparnya.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, jangan hanya membebaskan biaya SPP. Karena yang disebut pendidikan gratis, semua pembiayaan yang menyangkut pendidikan harus bebas biaya.
Dengan begitu, kata Yamin, maka kelompok keluarga bisa hemat pada sektor ini. "Artinya sudah tidak ada lagi pengeluaran pada sektor pendidikan," tandasnya.
Begitu juga kesehatan, bagi dia, setiap orang tidak berkeinginan sakit dan tidak pernah menduga sakit, sekaligus tidak semua orang berkemampuan membiayai pengobatan di rumah sakit.
"Ingat, dalam batas kewenangan wali kota ada di Puskesmas. Bukan di rumah sakit. Maka orang yang berobat di Puskesmas harus gratis. Dengan begitu, maka pendapatannya tidak lagi keluar di biaya pengobatan," jelasnya.
Kemudian nasib para pedagang rempah-rempah. Di hari Senin, si pedagang memperoleh stok cabai yang kemudian dijual di pasar. Selasa tak ada stok. Memasuki Kamis, stok datang. Jumat, kembali tak ada stok.
ADVERTISEMENT
"Orang seperti ini, tidak perlu lagi tarik leo (pajak). Karena mereka punya pendapatan berapa, dan itu (dagangan) belum tentu laku," katanya.
"Jadi, kok tega benar ya. Dagangannya sudah tidak laku, jualannya Senin-Kamis, dipungut lagi leo-nya. Ini kan tidak punya perasaan," tuturnya.
Yamin bilang, karena pendapatan para pedagang seperti itu cukup kecil, maka pemerintah berkewajiban melindungi mereka dari pajak-pajak seperti itu. "Tentu itu untuk penghematan keuangan di lingkup keluarganya," jelasnya.
Kemudian inflasi. Pemerintah, bagi Yamin, harus menjaga ini. Sebab belakangan ini, harga ikan di Kota Ternate tengah meroket tajam.
Bagi dia, boleh saja terjadi kenaikan harga. Tapi cukup berlangsung sepekan saja. "Jangan sampai berbulan-bulan, uang orang habis hanya untuk menutupi biaya konsumsi ikan," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Lalu harga beras, minyak tanah dan lain-lain. Kenaikannya harus diupayakan berlangsung satu-dua bulan saja.
Sebab ini adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap kelompok rumah tangga "Bagaimana pun mereka harus beli," katanya.
"Bolehlah harganya tinggi karena situasi. Misalnya, kapal terlambat datang. Tapi waktunya kan bisa diukur. Sepekan okelah. Alternatifnya bisa makan ubi, pisang. Tapi kalau berlangsung tiga bulan, bagaimana," katanya.
Menurut dia, menahan inflasi bertujuan untuk memastikan keluarga yang pendapatannya kecil, mampu memiliki daya jangkau untuk memenuhi setiap kebutuhan dasarnya.
"Kemampuan daya beli itu adalah prasyarat dari kesejahteraan masyarakat. Jadi strategi ekonomi (saya) ke depan seperti itu," tandasnya.