Konten dari Pengguna

Kidsfluencer - Bentuk Baru Eksploitasi Anak?

Chainur Ar Rasyid Nasution
Saya seorang mahasiswa D-IV Politeknik Statistika STIS
20 Januari 2025 11:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chainur Ar Rasyid Nasution tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kidfluencer. Sumber: https://www.freepik.com/free-photo/medium-shot-blogger-with-camera_8190475.htm#fromView=image_search_similar&page=1&position=0&uuid=064ce895-66ef-47fb-9c0a-b0533a55b6f5&new_detail=true
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kidfluencer. Sumber: https://www.freepik.com/free-photo/medium-shot-blogger-with-camera_8190475.htm#fromView=image_search_similar&page=1&position=0&uuid=064ce895-66ef-47fb-9c0a-b0533a55b6f5&new_detail=true
ADVERTISEMENT
Di era digital yang semakin maju, media sosial berkembang sangat pesat. Media sosial menjadi wadah berekspresi dan menunjukkan eksistensi diri bagi berbagai kalangan, termasuk anak-anak. Muncul fenomena baru dengan istilah kidsfluencer, yaitu anak-anak yang berperan sebagai influencer di media sosial. Hal ini bermula dari orang tua yang sering menjadikan anak sebagai konten, baik sengaja maupun tidak, dengan tujuan tertentu atau tidak.
ADVERTISEMENT
Konten dari Abe ‘Cekut’, Ritsuki, Kamari, dan Cipung, berhasil menarik perhatian publik melalui wajah imut dan tingkah laku mereka yang menggemaskan. Mulai dari kegiatan bermain, bercanda, atau melakukan berbagai aktivitas sehari-hari yang sesuai dengan usia mereka dikemas menjadi konten menarik yang menyenangkan hati penonton. Kelucuan dan keluguan mereka membuat banyak orang merasa terhibur dan merasa dekat dengan keseharian anak-anak tersebut.
Tak jarang, para kidsfluencer juga mempromosikan produk di konten mereka. Sebagai imbalannya, mereka menerima bayaran atau produk gratis atas promosi yang mereka lakukan. Kehidupan influencer yang menggiurkan, seperti mendapatkan berbagai produk gratis, menghadiri acara eksklusif, dan berkesempatan bertemu banyak orang, menjadi daya tarik tersendiri. Selain itu, si anak turut mendapat sorotan dan popularitas sejak dini. Melihat sambutan positif dari video anak-anak mereka di media sosial, banyak orang tua semakin tertarik untuk memanfaatkan peluang tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan daya tarik tersebut, fenomena kidsfluencer ini memunculkan pertanyaan: apakah fenomena ini sebenarnya merupakan bentuk eksploitasi terhadap anak?
Ilustrasi eksploitasi anak. Sumber: https://www.freepik.com/free-photo/close-up-sad-boy-portrait_30588687.htm#fromView=search&page=1&position=35&uuid=1236a962-122e-48fc-a094-688957c9b8de&new_detail=true
Eksploitasi anak dalam bentuk pekerja anak telah lama menjadi masalah serius di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO), sekitar 160 juta anak di seluruh dunia terlibat dalam pekerjaan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan mereka. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 1,01 juta anak bekerja pada tahun 2023, dengan sektor jasa, pertanian, dan manufaktur sebagai bidang yang paling banyak mempekerjakan anak. Misalnya, di perkebunan tembakau, mereka sering terpapar pestisida dan nikotin yang dapat mengganggu perkembangan fisik dan mental. Selain itu, kasus-kasus seperti ledakan pabrik petasan di Tangerang pada 2017 mengungkap betapa rentannya anak-anak dieksploitasi dalam lingkungan kerja yang berbahaya. Pekerja anak tidak hanya merampas hak mereka untuk bermain dan belajar, tetapi juga mengekspos mereka pada risiko fisik dan psikologis jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan pekerja anak pada umumnya, fenomena kidsfluencer sering kali dianggap sebagai aktivitas yang tidak berbahaya. Namun, praktik ini dapat dikategorikan sebagai bentuk eksploitasi ekonomi terhadap anak. Aktivitas ini dapat mengganggu hak-hak dasar anak, seperti pendidikan, waktu bermain, dan privasi mereka.
Cipung dan Shabira Alula adalah contoh kidsfluencer yang aktif mempromosikan produk di Instagram dan YouTube. Mereka sering terekspos kamera sehingga rentan kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan teman sebaya atau fokus pada pendidikan formal. Psikolog anak menegaskan bahwa eksploitasi terjadi ketika anak merasa tertekan atau tidak nyaman dalam aktivitas tersebut. Selain itu, paparan media sosial yang intens dapat mempengaruhi kesehatan mental anak, seperti tekanan untuk mempertahankan citra sempurna, cyberbullying, dan kecanduan.
ADVERTISEMENT
Menurut Seto Mulyadi, seorang psikolog anak, fenomena kidsfluencer dapat menjadi peluang bagi anak untuk mengembangkan kreativitas dan bakat mereka. Namun, ia menekankan pentingnya batasan yang jelas agar anak tidak kehilangan hak-hak dasarnya, seperti bermain dan belajar. Misalnya, orang tua perlu membatasi waktu anak di depan kamera, memastikan aktivitas kidsfluencer tidak mengganggu jadwal sekolah dan istirahat, serta memberikan waktu yang cukup bagi anak untuk bermain dan berinteraksi dengan teman sebayanya. “Ketika anak-anak mulai merasa bahwa mereka harus memenuhi ekspektasi tertentu atau mendapatkan tekanan dari aktivitas ini, itu menjadi tanda bahwa sesuatu tidak berjalan dengan benar,” ujar Seto.
Filsuf Immanuel Kant, dalam bukunya berjudul The Science of Right, berpendapat bahwa orang tua berkewajiban untuk memperlakukan anak sebagai tujuan, bukan sarana, dalam hal memberi pelajaran untuk berbagi. Ini mendorong orang tua untuk bertanya mengapa mereka membagikan konten tentang anak-anak mereka. Jika mereka membaginya untuk kepentingan orang lain, bukan kepentingan anak, maka mereka menggunakan anak itu sebagai sarana untuk kepentingan tersebut. Misalnya, orang tua membagikan foto anak mereka makan makanan sehat karena itu menampilkan berbagai usaha mereka sebagai orang tua yang peduli pada kesehatan. Tindakan itu berarti mereka menggunakan anak sebagai sarana untuk meningkatkan reputasi diri mereka sendiri di mata khalayak pengguna media sosial. Contoh lain adalah ketika orang tua memaksa anak untuk membuat konten yang tidak disukai anak atau mengeksploitasi kesedihan atau kemarahan anak demi mendapatkan "like" dan "views".
ADVERTISEMENT
Paparan media sosial sejak dini membawa dampak yang beragam bagi anak. Secara psikologis, anak-anak yang sering terekspos di media sosial sebagai kidsfluencer dapat mengalami tekanan untuk selalu tampil sempurna di depan kamera. Hal ini berpotensi menyebabkan gangguan mental seperti kecemasan atau depresi, terutama jika mereka menghadapi kritik atau komentar negatif dari publik.
Secara sosial, anak-anak yang menjadi kidsfluencer cenderung kehilangan interaksi normal dengan teman sebayanya. Alih-alih bermain atau berpartisipasi dalam aktivitas yang sesuai dengan usia mereka, waktu mereka banyak dihabiskan untuk pengambilan konten. Anak menjadi sulit bergaul dengan teman sebayanya karena terbiasa berada di depan kamera dan kurang memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial dalam dunia nyata. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan sosial dan emosional mereka.
ADVERTISEMENT
Orang tua memiliki peran kunci dalam melindungi hak dan kesejahteraan anak mereka. Pertama, mereka harus memastikan bahwa aktivitas sebagai kidsfluencer dilakukan dengan kesepakatan anak dan tidak mengganggu pendidikan serta waktu bermain mereka. Kedua, orang tua perlu peka terhadap tanda-tanda tekanan yang dirasakan anak, seperti kelelahan, kehilangan minat dalam aktivitas tersebut, mudah marah, atau menarik diri dari lingkungan sosial.
Selain itu, masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk mendukung regulasi yang melindungi anak-anak dari eksploitasi ekonomi. Pemerintah dapat menetapkan aturan yang jelas mengenai jam kerja, persentase pendapatan yang harus disimpan untuk masa depan anak, serta perlindungan privasi. Masyarakat dapat berperan aktif dengan menyuarakan aspirasi dan mendukung kebijakan pemerintah serta melaporkan kasus-kasus yang diduga merupakan bentuk eksploitasi anak di media sosial. Edukasi tentang pentingnya hak-hak anak juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran publik.
ADVERTISEMENT
Fenomena kidsfluencer membawa tantangan baru dalam melindungi hak-hak anak di tengah kemajuan era digital. Walaupun anak-anak dapat merasakan dampak positifnya, potensi eksploitasi waktu, privasi, dan kesehatan psikologis mereka perlu diperhatikan. Peran orang tua menjadi sangat penting untuk memastikan anak tidak terjebak dalam dunia digital yang bisa mengganggu keseimbangan hidup mereka. Selain itu, kontrol sosial dari masyarakat juga diperlukan agar fenomena ini tidak menjadi ajang pemanfaatan semata.
Harapannya, seiring dengan berkembangnya fenomena kidsfluencer, tercipta keseimbangan yang sehat antara potensi anak dan perlindungan terhadap hak-hak mereka. Dengan demikian, anak-anak dapat tumbuh dengan baik dan aman baik dalam dunia digital maupun dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita bersama-sama melindungi anak-anak Indonesia dari berbagai bentuk eksploitasi, termasuk di dunia maya.
ADVERTISEMENT