Konten dari Pengguna

PPN Naik 12%: Benarkah Transaksi QRIS Jadi Lebih Mahal?

Chairil Qisthy Abidy
Mahasiswa Perbandingan Mazhab, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
26 Desember 2024 14:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chairil Qisthy Abidy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Transaksi QRIS (Dokumen Pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Transaksi QRIS (Dokumen Pribadi).
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, lini masa Twitter diramaikan oleh unggahan pengguna yang membahas pengumuman mengenai PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 12% untuk setiap transaksi menggunakan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Banyak yang menyampaikan kebingungannya, bahkan ada yang mempertanyakan dampak kebijakan ini terhadap transaksi mikro seperti pembelian makanan ringan atau tarif parkir.
ADVERTISEMENT
QRIS sebagai sistem pembayaran digital telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Indonesia, terutama sejak pandemi COVID-19 mendorong perubahan ke arah transaksi non-tunai. Namun, pengenaan PPN atas setiap transaksi QRIS mulai 1 Januari 2025 memunculkan kekhawatiran, khususnya di kalangan UMKM dan konsumen.
Apa yang Dimaksud dengan PPN lalu apa dampaknya pada transaksi QRIS?
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, yang pada dasarnya sudah lama menjadi bagian dari sistem perpajakan Indonesia. Namun, pengenaan PPN pada transaksi QRIS memicu salah kaprah di masyarakat. Sebagian mengira bahwa setiap transaksi kecil, misalnya Rp10.000 untuk membeli kopi, akan langsung dikenai tambahan biaya 12%. Padahal, faktanya sedikit berbeda.
PPN pada QRIS bukan berarti pajak tambahan untuk setiap transaksi yang menggunakan QRIS. Sebaliknya, kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa transaksi yang sebelumnya mungkin tidak tercatat atau tidak dikenai pajak kini masuk dalam sistem yang lebih transparan. Dengan kata lain, hanya transaksi yang memang sudah dikenai PPN sesuai aturan hukum yang akan terdampak oleh penerapan ini.
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, menyatakan, "Kebijakan ini bukan untuk membebani masyarakat kecil, tetapi untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan memastikan semua transaksi terekam dalam sistem digital yang terintegrasi. Kami juga memastikan bahwa sosialisasi akan dilakukan secara menyeluruh."
Dampak pada UMKM dan Konsumen
Meski begitu, pemberlakuan aturan ini tetap memunculkan beberapa potensi tantangan. UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia bisa merasa terbebani oleh persepsi masyarakat terhadap kenaikan harga barang atau jasa yang dijual. Di sisi lain, konsumen mungkin akan lebih berhati-hati dalam bertransaksi, terutama untuk belanja kebutuhan kecil.
Menurut para ahli, pemerintah perlu memberikan sosialisasi yang jelas dan masif agar masyarakat tidak salah paham. Informasi tentang apa yang sebenarnya dikenakan PPN dan bagaimana mekanisme ini berjalan sangat penting untuk menghindari keresahan publik.
ADVERTISEMENT
Langkah yang Harus Dilakukan
Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, diharapkan segera memberikan penjelasan terperinci kepada masyarakat mengenai kebijakan ini. UMKM juga perlu mendapatkan pelatihan tentang bagaimana menghitung PPN dan menyampaikannya dengan transparan kepada konsumen. Sosialisasi yang melibatkan media sosial, webinar, dan kampanye offline dapat membantu mengurangi kesalahpahaman yang saat ini terjadi.
Sebagai masyarakat, kita juga diimbau untuk lebih aktif mencari informasi dari sumber resmi agar tidak mudah terprovokasi oleh opini yang beredar di media sosial. Dengan pemahaman yang tepat, kita dapat mendukung terciptanya sistem pajak yang lebih adil dan transparan tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan kemudahan bertransaksi.