Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Dari Alma Mater ke Mesin Uang: Pergeseran Mengerikan Sistem Pendidikan
17 Februari 2025 14:50 WIB
·
waktu baca 18 menitTulisan dari Chairil Qisthy Abidy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Fenomena yang tahun lalu yang sempat jadi isu panas yaitu kampus-kampus mempromosikan pinjaman online atau pinjol kepada mahasiswanya yang tidak mampu bayar UKT bunganya bahkan hingga 2% per bulan mahasiswa menolak kebijakan ITB yang mengharuskan mahasiswa tak mampu untuk membayar uang kuliah Tunggal menggunakan pinjaman online belum lagi isu panas yang sedang naik saat ini yaitu pemangkasan anggaran Pendidikan yang menjadi polemik tapi sebelum kita bicara mengenai fenomena dan masalah pinjol di kampus dan polemik pemangkasan anggaran pendidikan Mari kita bahas persoalan ini dari akarnya yaitu sistem pendidikan yang kini dikomersialisasikan dan pertanyaan. Paling sederhananya adalah mengapa ada sekolah?
ADVERTISEMENT
Banyak yang belum mengetahui bahwa faktanya sekolah secara harfiah sebenarnya memiliki arti waktu luang atau waktu senggang. Kata ini muncul dari zaman Yunani kuno. Jadi, orang-orang Yunani di zaman dulu biasanya memang mengisi waktu luang mereka dengan mengunjungi suatu tempat atau menemui seseorang yang dianggap pandai untuk mempelajari hal-hal tertentu yang menurut mereka sangat perlu diketahui. Mereka menyebut kegiatan ini sebagai seolai, sekolah, atau sekolae, yang artinya waktu luang yang digunakan khusus untuk belajar. Lama-kelamaan, kebiasaan mereka mempelajari sesuatu untuk mengisi waktu luang ini akhirnya bukan lagi menjadi kebiasaan kaum lelaki dewasa, tetapi mulai menjadi kebiasaan yang diterapkan untuk putra-putri mereka, terutama untuk anak lelaki yang memang diharapkan menjadi penerus ayahnya. Ketika kehidupan kian berkembang dan semakin menyita waktu ayah dan ibu, maka anak-anak yang tidak mendapatkan waktu dan kesempatan pengajaran dari orang tuanya kemudian dititipkan ke seseorang yang dianggap paham atau pandai. Biasanya, para orang tua ini akan mengirim anak-anak mereka ke tempat di mana mereka pernah berskole. Tidak ada kurikulum pelajaran di masa itu; anak-anak dibebaskan mengeksplorasi. Mereka boleh bermain, berlatih melakukan sesuatu, dan belajar apa saja yang menurut mereka patut untuk dipelajari sebagai bekal menjalani kehidupan kelak sebagai orang dewasa. Mereka baru akan pulang ke rumah saat mereka harus menjalankan kehidupan sebagaimana lazimnya.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, fungsi sekolah berubah dari materna atau pengasuhan ibu sampai usia tertentu yang menjadi proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi sekolah in loco parentis atau lembaga pengasuhan anak pengganti ayah-ibu yang dilakukan pada waktu senggang di luar rumah. Istilah sekolah in loco parentis ini kelak juga akan kita kenal dengan nama alma mater, yang memiliki arti ibu asuh atau ibu yang memberikan ilmu pengetahuan. Meskipun pada kenyataannya kita mengenal kata sekolah dari orang-orang Yunani kuno, tetapi mereka bukanlah bangsa pertama dan satu-satunya yang memulai tradisi sekolah. Bangsa Cina purba diketahui sudah memulai tradisi ini 2000 tahun sebelum Yesus lahir, dan konon inilah lembaga sekolah tertua di dunia yang diketahui saat ini. Selain itu, kaum Brahmana di India juga sudah mendirikan sekolah-sekolah Veda setengah abad setelahnya. Jika melihat lagi pada latar belakang sejarah, hampir seluruh bangsa yang ada di muka bumi ini sebenarnya telah membentuk pola pengasuhan dan lembaga sekolahnya sendiri, meski tentu saja dengan bentuk, sifat, sistem, dan sebutan yang berbeda-beda. Nenek moyang kita pun di Indonesia punya tradisi pendidikan yang konon diwarisi dari anak benua India yang dikenal sebagai asrama dan dipadukan dengan warisan tradisi Jazirah Arab yang dikenal dengan sebutan madrasah. Namun, pengertian sekolah yang kita kenal dan terapkan saat ini memang asalnya dari tradisi Yunani kuno yang diwariskan melalui tradisi-tradisi sekolah-sekolah kolonial Belanda berkat kebijakan politik balas budi yang digenjarkan Belanda dan Inggris di masa-masa penjajahan dulu. Sebenarnya tidak ada yang tahu pasti kapan pergeseran sekolah yang seharusnya menjadi kegiatan belajar untuk mengisi waktu luang kini menjadi sistem kelembagaan pendidikan yang celakanya justru menjadi kewajiban untuk mendapatkan pengakuan atau sertifikasi tertentu. Tentu masih ada sekolah yang masih sejalan dengan apa yang dimaknai dalam sejarah, yaitu sekolah-sekolah yang tidak punya daftar mata pelajaran baku, tidak punya jadwal jam belajar resmi, tidak punya kelas-kelas yang dibagi-bagi pertingkat atau perjurusan, tidak mengadakan ulangan atau ujian kolektif seperti yang kebanyakan dari kita hadapi setiap ingin naik kelas atau ingin lulus. Hal yang terpenting dari sekolah-sekolah semacam ini adalah murid-muridnya pun bebas memilih dan menetapkan sendiri apa yang mau mereka pelajari dan dengan cara bagaimana mereka belajar supaya sesuai dengan kepribadian mereka. Mungkin rasanya akan cukup mengherankan pikiran banyak orang jika dikatakan bahwa ada jenis sekolah semacam ini yang tidak menyediakan ijazah atau gelar akademis. Namun, nyatanya sekolah-sekolah dengan sistem seperti ini masih ada di berbagai belahan dunia. Sekolah-sekolah yang hanya mempersyaratkan falsafah “punya ilmu dan amalkan”. Di Indonesia, mungkin kita punya Sekolah Alam atau pondok-pondok pesantren di pedalaman Indonesia. Meskipun memang agak disayangkan bahwa kebanyakan pesantren atau bahkan Sekolah Alam sendiri sekarang sudah beradaptasi dengan pendidikan masa kini hingga mereka pun menyediakan ijazah, sertifikat, atau surat keterangan sejenis bagi para siswa yang membutuhkannya untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang formal. Banyak dari lembaga-lembaga pendidikan ini yang menjauh dari hakikat pendidikan dalam sejarah. Pesantren-pesantren saat ini juga sudah banyak yang menjiplak mentah-mentah kurikulum resmi, membuat jadwal, ruang kelas, jurusan, ijazah, bahkan ikut-ikutan membuat perguruan tinggi yang menawarkan gelar akademis. Entah mereka melakukannya karena memang ingin mengikuti arus atau justru karena terdesak pandangan masyarakat yang sudah terlanjur salah kaprah mengenai arti lembaga sekolah. Rasanya dengan kondisi ini memang akan sulit mewujudkan gagasan lembaga pendidikan yang sesuai dengan sejarah dan hakikat penamaannya, yaitu belajar untuk mengisi waktu luang. Sebab, jika menyimpang dari kebiasaan yang ada saat ini, justru akan dianggap aneh dan tidak layak.
ADVERTISEMENT
Dulu di Indonesia, ada yang mencoba untuk menerapkan gagasan yang berbeda dari sistem sekolah pada umumnya. Sudah sejak pendiriannya, sekolah tinggi ini mengumumkan bahwa lulusannya tidak akan mendapatkan ijazah, sertifikat, atau gelar akademis apa pun. Tujuan sekolah ini hanya satu, yaitu mampu mencetak para lulusannya sebagai lulusan-lulusan yang mandiri dan mampu berkarya. Sekolah tersebut bernama Sekolah Tinggi Wiraswasta yang didirikan di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur, sejak 1979. Sayang sekali, memang karena gagasannya yang berbeda, sekolah ini hanya bertahan 3 tahun sebelum dibubarkan pada tahun 1981. Lantaran peminatnya sedikit sekali dan tidak ada yayasan serta lembaga sosial yang mau mendukung atau mendanai kebutuhan operasional sekolah, faktanya bahkan hingga saat dibubarkan tercatat bahwa mahasiswanya saja tidak mampu mencapai angka 100 orang. Yayasan sebenarnya sempat menawarkan bantuan dana, asalkan Sekolah Tinggi Wiraswasta mau mendaftarkan diri secara resmi ke Direktorat Perguruan Tinggi Swasta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, kalau syarat ini diterima, maka konsekuensinya adalah sekolah harus menerapkan semua ketentuan yang berlaku di dunia persekolahan pada umumnya, yaitu menerapkan ujian kenaikan kelas, pemberian ijazah, dan gelar akademis. Begitulah nasib kebanyakan sekolah-sekolah yang menyimpang, atau kalau mau diperhalus, sebutlah berbeda dari stereotip yang ada dalam alam pikiran masyarakat, yaitu sekolah sebagai pencetak lulusan-lulusan yang membawa ijazah, sertifikat, dan gelar akademis untuk modal mereka terjun ke dunia kerja.
ADVERTISEMENT
Ada seorang filsuf bernama Ivan Illich pernah menulis dalam bukunya yang berjudul The Schooling Society, di mana dia menyatakan bahwa sekolah-sekolah di zaman modern ini memang dikelola sebagai suatu perusahaan karena sistem sekolah yang ada pada dasarnya memang menuntut pengelolaan semacam itu. Kenapa Ivan Illich berkata begitu? Sebab, kalau kita perhatikan kembali, memang kenyataannya di masa sekarang, mengurus sebuah sekolah sama seperti mengurus sebuah perusahaan. Pihak sekolah atau instansi pendidikan harus mengurus segala tetek bengek yang merepotkan: administrasi, manajemen, rencana pengembangan, anggaran belanja, moral kerja, promosi, publikasi, kredibilitas, dan lain-lain. Tidak mengherankan jika pada akhirnya pihak sekolah mematok uang pendaftaran dan uang biaya sekolah lainnya yang terkadang mampu membuat dompet dan isi saldo rekening orang tua menjerit, saking horornya nominal rupiah yang harus dikeluarkan supaya anak-anak mereka bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu. Apalagi kalau dimasukkan ke sekolah swasta. Sekolah-sekolah negeri yang dibayar pemerintah saja masih ada yang memungut SPP, dana iuran, dan lain-lain. Mungkin tidak sebesar yang diminta oleh sekolah-sekolah swasta, tapi tetap, uangnya berasal dari orang tua juga. Ini membuktikan kalau sekolah-sekolah itu tetap perlu biaya supaya tidak bubar atau bangkrut. Contohnya saja Sekolah Tinggi Wiraswasta itu. Karena sedikit sekali yang mendaftar dan tidak ada juga yayasan ataupun lembaga yang mau mendanai, akhirnya sekolah tersebut bubar lantaran operasionalnya mentok di biaya. Sekolah-sekolah lain yang tidak mau bernasib sama tentu harus berupaya mendapatkan biaya demi kelangsungan sekolah mereka. Namun sebenarnya, kita tetap perlu berbangga tinggal di Indonesia, meski dengan segala carut-marut sistem pendidikannya. Sebab, ketika Amerika Serikat dan Rusia berlomba-lomba menghabiskan banyak uang anggaran negara hanya untuk menghasilkan senjata-senjata maut dan canggih, dan ketika negara-negara kecil di dunia ketiga pun menghambur-hamburkan devisa negara untuk membeli perlengkapan militer yang tak kalah canggihnya demi kepentingan gengsi internasional, justru di Indonesia, kita diberikan seperlima atau sekitar 20% anggaran belanja negara untuk kepentingan biaya pembangunan dan kemajuan di sektor pendidikan.
ADVERTISEMENT
Anggaran belanja negara yang lebih banyak didedikasikan untuk mencerdaskan anak-anak bangsa memang terbukti. Tidak lama setelah Indonesia merdeka, negara yang baru merangkak ini dalam waktu singkat bisa menunjukkan peningkatan di sektor pembangunan dan kemajuan sarana serta prasarana pendidikan sebanyak tiga bahkan lima kali lipat. Tapi, bukannya tidak mau mengapresiasi apa yang sudah dicapai sejauh ini, masalahnya adalah jika bicara tentang peningkatan berarti bicara jumlah, bicara angka-angka yang sifatnya kuantitatif. Nah, kalau bicara soal kualitas, kita masih harus merangkak atau bahkan terseok-seok bangkit dari jurang.
Banyak perencanaan pendidikan di negara kita masih berasumsi bahwa kemajuan kualitas bisa didapat dengan memperbanyak jumlah gedung sekolah, jumlah guru, jumlah sarana dan prasarana belajar, dan seterusnya. Logika yang diterapkan tampaknya masih logika dari hukum Parkinson yang memberi pengertian bahwa pekerjaan berkembang sesuai jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya; bahwa biaya-biaya meningkat jumlahnya sesuai dengan makin meningkatnya jumlah penerimaan; dan bahwa pertumbuhan berarti semakin rumitnya permasalahan. Dan hukum Parkinson itulah yang terjadi dalam sistem pendidikan di negeri tercinta ini. Pendidikan kita memang berkembang, tapi bukan secara kualitas melainkan secara kuantitas. Kita mungkin sekarang bisa dengan mudah menemukan sekolah-sekolah dari berbagai jenjang pendidikan di tempat kita tinggal, bahkan di pelosok sekalipun sudah mulai didirikan sekolah-sekolah yang layak untuk anak-anak setempat. Tapi, mutu sekolah serta tenaga pengajarnya belum terjamin layak. Ini artinya permasalahan baru timbul. Negara setidaknya harus menyelesaikan permasalahan baru tersebut dengan cara mendidik para pengajar supaya bisa mengelola manajemen sekolah dengan baik secara administratif dan mengajar dengan baik pula untuk kelangsungan pendidikan. Yang artinya harus ada biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mengadakan seminar, pelatihan, dan segala embel-embel lainnya. Lagi-lagi, peningkatan jumlah sekolah yang tujuan awalnya memang ingin memberikan pemerataan pendidikan dan pengembangan sistem pendidikan yang layak, justru semakin menambah masalah baru serta memperbesar biaya.
ADVERTISEMENT
Masalah terbesar serta paling rumit dari semua itu justru sebenarnya bukan berasal dari sistem pengajaran, tapi malah berasal dari sistem administrasi dan manajemen persekolahan. Bahkan permasalahan semacam ini sudah bisa dilihat dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang punya jumlah pegawai terbanyak di antara semua kementerian pemerintahan. Departemen ini diketahui sebagai departemen yang paling rumit urusan administrasi kepegawaiannya. Tidak heran jika di sektor ini kemudian jadi ladang emas untuk yang ingin korupsi dan menyelewengkan dana pendidikan. Kasusnya bisa sangat beragam, mulai dari pemotongan gaji guru, penggelapan dana proyek pembangunan gedung sekolah, penggelapan dana bantuan untuk peserta didik, dan mungkin masih banyak lagi. Singkatnya, supaya lebih mudah dipahami, sebenarnya dengan terus bermunculannya sekolah-sekolah baru dan tanpa ada kesiapan atau penyesuaian dari sumber daya manusianya, baik dari segi manajemen administrasi atau dari segi pengajaran, itu justru akan menimbulkan masalah-masalah baru dan tentu membuat biaya yang dikeluarkan semakin mahal. Kondisi inilah yang membuat semuanya kian rumit untuk diselesaikan. Kondisi ini juga yang kurang diperhatikan oleh para pakar dan perencana pendidikan. Di tengah problematika pendidikan tersebut, kemudian kita bisa menemukan sekolah-sekolah yang biaya SPP-nya sampai jutaan per bulan. Sekolah-sekolah ini jelas bukan hanya menawarkan gengsi tetapi juga mutu pendidikan yang cukup setara dengan uang yang dikeluarkan para orang tua. Jika ada yang mengeluh soal biaya yang harus ditanggung orang tua, sepertinya kita juga harus mengingat kembali bahwa sekolah-sekolah itu pun perlu biaya untuk beroperasi, untuk memberi pelatihan kepada guru, serta untuk mengembangkan berbagai sarana yang diperlukan siswanya. Biasanya, semakin bagus mutu pendidikan yang diterapkan sekolah, maka akan semakin mahal juga biaya yang harus dirogoh para orang tua untuk bisa mendaftarkan anaknya ke sekolah tersebut. Harga yang mungkin secara logika cukup adil untuk hasil yang didapatkan.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi pendidikan dan sekolah saat ini, tampaknya sekolah sebagai lembaga yang menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak telah menjauhi janjinya kepada masyarakat. Lembaga ini bukan lagi menjadi suatu tempat yang membawa misi sosial, suatu tempat yang bisa digunakan orang-orang untuk memuaskan rasa ingin tahunya atau mengembangkan bakatnya agar tidak mubazir. Tapi justru menjadi mesin pencetak generasi-generasi yang seragam dan dibentuk untuk bermental pekerja. Belum lagi biaya yang ditentukan oleh pihak sekolah telah menjadikan lembaga ini sebagai lembaga yang penuh eksklusivitas dan sangat elitis. Padahal, kalau boleh mengutip ungkapan dari José Ortega y Gasset seorang filsuf Spanyol , “sekolah bukanlah dan tidak boleh menjadi menara gading.” Ini artinya, sekolah tidak boleh menjadi terasing atau mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Sekolah semestinya menjadi suatu lembaga yang merakyat dan tetap dekat dengan jangkauan semua kalangan, bahkan kaum pinggiran sekalipun. Sayangnya, tidak untuk saat ini. Sekolah telah berubah menjadi alat yang atas nama globalisasi, modernisasi, dan pembangunan membuat anak-anak melupakan akarnya, melupakan asal-usul mereka. Sekolah lebih tepatnya dibilang berubah menjadi batu loncatan untuk mengubah nasib. Itulah sekolah di mata kebanyakan orang saat ini, sebuah batu loncatan yang diharapkan bisa mengubah nasib generasi-generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan apa yang sudah dijelaskan sebelumnya, sekolah-sekolah sekarang sudah menjadi tempat yang penuh eksklusivitas dan sangat elitis. Jangankan bisa dijangkau oleh kaum pinggiran, bahkan kaum kelas menengah sekalipun masih harus berupaya keras untuk bisa meraihnya. Pendidikan, meski sudah dapat sokongan dana negara sebanyak 20% yang tentu nominalnya tidak main-main, tahun lalu saja negara menggelontorkan dana sebanyak 660,8 triliun rupiah untuk pendidikan tapi sayangnya pendidikan masih menjadi barang mahal untuk rakyatnya. Ditambah isu panas pemangkasan dana pendidikan yang belum lama ini pecah dan jadi sorotan di dunia pendidikan bisa kita jadikan contoh nyata membuat kita makin prihatin akan pendidikan. Saking mahalnya biaya pendidikan, para mahasiswanya banyak yang kesulitan membayar UKT yang seringkali naik setiap tahunnya. Dan khasnya, bukan solusi meringankan yang ditawarkan kampus, tapi justru promosi pinjaman online yang dijadikan jawaban. Lebih dari 50 universitas diketahui menawarkan solusi pinjol kepada mahasiswanya yang tidak mampu membayar tagihan. Entah apakah tepat disebut solusi atau justru sebenarnya mahasiswa sedang digiring menuju jurang kemiskinan oleh institusi yang harusnya mencerdaskan. Dengan bunga sekitar 2% per bulan atau totalnya bisa mencapai 24% per tahun, mahasiswa yang terjerat pinjol demi bisa menuntaskan pendidikannya ini sekarang terancam beban finansial dengan kemungkinan gagal bayar hingga denda yang dihitung per hari sampai harus dikejar-kejar debt collector. Sebenarnya, masalah pinjaman pendidikan di lingkungan kampus itu hal yang bisa diterima. Namun, secara hukum dan etika, pinjaman online bukanlah hal yang diizinkan beredar di lingkungan pendidikan semacam ini. Negara sudah mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 76 Ayat 2 Butir C, yang menyatakan bahwa mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi memiliki hak untuk menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik dengan cara diberi pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus atau memperoleh pekerjaan. Ini artinya, negara dan pihak kampus wajib membantu memenuhi hak mahasiswa supaya mendapatkan pinjaman tanpa bunga tersebut yang bisa dibayar setelah mereka lulus atau bisa dipotong dari gaji mereka setelah mereka memperoleh pekerjaan. Penerapan semacam ini lebih dikenal dengan sebutan student loan. Sebenarnya, sudah banyak negara yang menerapkan sistem student loan ini dan mewujudkannya dengan baik, seperti misalnya Australia, Denmark, Inggris, Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, New Zealand, Swedia, dan masih banyak lagi. Namun, di Indonesia kenyataannya student loan ini masih sulit diterapkan. Dana APBN yang dialokasikan negara disebut-sebut belum mampu menutupi kebutuhan yang ada. Bahkan beasiswa KIP saja, dari 9 juta anak yang membutuhkan, negara baru sanggup memenuhi kebutuhan 1 juta anak. Persoalan biaya pendidikan ini, sama seperti sistem pendidikan kita yang carut-marut, pada akhirnya menjadi sesuatu yang sulit dipecahkan dan ditemukan jalan keluarnya. Negara, dengan kebijakan dan peraturannya, menuntut lembaga pendidikan seperti sekolah dan kampus menjadi sesuatu yang dikelola seperti perusahaan. Seperti yang sebelumnya saya bilang, lembaga pendidikan harus pandai mengatur administrasi, manajemen, publikasi, dan operasional secara mandiri sehingga bantuan dari negara akhirnya bisa dikurangi. Tapi di saat yang sama, negara pun masih menuntut supaya lembaga pendidikan menjadi panti sosial dengan standar tinggi untuk memenuhi hak-hak anak-anak dari kelas menengah ke bawah agar bisa mendapatkan kesempatan yang sama menempuh pendidikan tinggi. Sayangnya, giliran sekolah-sekolah dan kampus-kampus ini mengambil jalan termudah untuk mereka tetap bertahan dan memberi pendidikan, yaitu dengan mengadakan motif ekonomi seperti menjalankan bisnis dalam bentuk menerapkan SPP dan UKT yang terbilang mahal untuk kelas menengah ke bawah. Yang artinya, kampus jadi mengorbankan misi sosial mereka sebagai sebuah lembaga pendidikan.
ADVERTISEMENT
Negara tutup mata atau terkesan mengabaikan masalah ini. Rakyat pada akhirnya dibuat susah kembali. Bagaimana caranya negara bisa mencerdaskan kehidupan bangsa jika persoalan sistem yang carut-marut semacam ini saja masih diabaikan dan dibiarkan semakin rumit? Pendidikan lagi-lagi menjadi sesuatu yang mahal, dan tidak seluruh lapisan masyarakat mampu menjangkaunya. Fungsi sosial dan sistem pendidikan di negara ini bisa dikatakan tidak lagi berfungsi. Jika pada tahun 1960-an dan 1970-an sistem dan mutu pendidikan di Indonesia masih bisa jadi rujukan oleh banyak negara jiran, tetapi sekarang keadaan justru berbalik. Sistem dan keadaan pendidikan di negara-negara tetangga jauh melejit melampaui Indonesia. Memang mungkin kurang tepat membandingkan Indonesia dengan negara-negara yang wilayahnya tidak seluas Indonesia dan jumlah penduduknya tidak sebanyak Indonesia, karena mungkin pembiayaan anggaran belanja mereka lebih mencukupi. Namun, apakah benar demikian?
ADVERTISEMENT
Negara kita, meski punya jumlah penduduk yang sangat banyak, juga harus diakui sebagai negara yang luas dan sangat kaya akan sumber daya. Sebenarnya, kita tidak perlu kekurangan biaya untuk kesejahteraan sosial rakyatnya. Masalahnya adalah bahwa terlalu banyak pendapatan negara selama ini tidak diperuntukkan untuk rakyat, atau jelasnya terlalu banyak yang dikorupsi untuk kepentingan segelintir golongan. Di akhir tahun 2023 lalu, pada Hari Antikorupsi Internasional, diketahui bahwa Indonesia berada di posisi ke-110 sebagai salah satu negara paling korup di dunia dengan skor 34 dan naik pada 2025 menjadi skor 37 dan membawa ke peringkat 99 dari 180 negara. Kalau saja semua uang negara yang dikorupsi selama 10 tahun terakhir benar-benar digunakan untuk keperluan pendidikan nasional, mungkin sudah sejak lama anak-anak di negara ini bisa menikmati sekolah gratis seperti di Jerman dan Finlandia. Ya, paling tidak sampai lulus SMA atau SMK. Sekarang kita ambil saja kasus-kasus korupsi terbesar di Indonesia: pertama, ada penyelewengan dana BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang mencapai angka Rp668 triliun, ditambah penyelewengan alih fungsi hutan yang mencapai angka Rp78 triliun, mega korupsi Asabri yang mencapai Rp23 triliun, dan kasus Jiwasraya yang mencapai Rp7 triliun. Kalau dibagi dengan jumlah total anak usia pendidikan wajib belajar 12 tahun, maka ada puluhan juta rupiah yang bisa dialokasikan untuk beasiswa setiap anak di negeri ini sampai mereka bisa lulus pendidikan wajib. Masalahnya, beasiswa sebanyak itu rasanya mustahil terjadi lantaran budaya korupsi yang sudah mengakar di negeri ini. Pemangku kepentingan di negara kita lebih senang mempertebal kantong sendiri alih-alih membangun negeri atau memikirkan nasib rakyat serta generasi-generasi penerus bangsa. Dari seluruh realitas sosial yang sudah disebutkan dan keterkaitannya dengan dunia pendidikan, mungkin akan ada segelintir orang yang akan sependapat dengan pernyataan ini: bahwa satu hal yang paling solid dilakukan di masa sekarang adalah dengan tidak terlalu berharap dan menggantungkan penuh kepada negara. Maka, sudah saatnya kita beramai-ramai mencari solusi alternatif untuk menghadapi persoalan ini sambil terus menuntut tanggung jawab negara dalam pemenuhan perannya di sektor pendidikan dan mencerdaskan anak-anak bangsa. Jelas, solusi alternatif yang kita butuhkan saat ini bukanlah pinjol yang dipromosikan kampus-kampus top itu, tapi sebuah solusi alternatif yang berkelanjutan dan mampu menumbuhkan pemberdayaan finansial. Kampus mungkin bisa menerapkannya dengan mencontoh IPB yang membuka mall sebagai bagian dari pemasukan tambahan mereka sehingga tidak terlalu membebankan biaya ke dalam UKT mahasiswanya. Kampus bahkan bisa juga membuat sebuah tempat mikrousaha, di mana para mahasiswanya bisa memasarkan produk-produk mereka untuk menambah penghasilan. Dengan ini, tidak hanya membantu memberi pemasukan tambahan bagi kampus, tapi juga membuat para mahasiswanya berdaya secara finansial, dan mungkin menjadi bekal serta jalan awal untuk memberikan kontribusi lebih besar dalam kehidupan bermasyarakat setelah lulus nanti.
ADVERTISEMENT
Kita bisa melakukan banyak cara sebagai solusi alternatif jangka panjang, alih-alih memilih menggunakan pinjol yang efek solusinya hanya bisa dirasakan dalam jangka pendek dan justru menjerumuskan kita dalam cicilan serta bunga-bunga pinjaman yang mencekik leher. Kita mungkin tidak bisa lagi menahan arah pergeseran lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi alat sosial yang merakyat dan kini justru menjadi alat globalisasi dan modernisasi yang terasa sangat eksklusif dan elitis. Pun, tidak bisa juga menyalahkan negara sepenuhnya atas kegagalan mencerdaskan bangsa, apalagi menyalahkan institusi atau lembaga pendidikan yang memang dituntut dari segi sosial ekonomi.
Ini sudah menjadi sistem yang mentradisi, sesuatu yang bahkan diam-diam kita normalisasi. Pendidikan mungkin akan tetap menjadi barang mahal. Untuk menjawab persoalan ini, solusi jangka pendek seperti pinjol bukanlah jawaban, apalagi berpikir bahwa tidak menempuh pendidikan sama sekali. Meski saat ini belum ada solusi konkret soal hambatan dan tantangan pendidikan yang ada, sebagai manusia yang fitrahnya akan selalu haus akan ilmu pengetahuan, perlu rasanya mencari alternatif mandiri yang lebih adil dan solutif untuk menjadi jalan keluar yang bisa mewujudkan pendidikan berkualitas dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat bagaimanapun latar belakang sosial ekonominya.
ADVERTISEMENT