Menyelamatkan Aset Kebahasaan lewat Novel

Chairunisa Rohadi
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
26 Oktober 2021 15:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chairunisa Rohadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Novel sebagai karya sastra yang kaya minat (pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Novel sebagai karya sastra yang kaya minat (pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernah sekali waktu penulis terlibat dalam suatu perbincangan di media sosial yang membahas bagaimana jika masyarakat Indonesia mulai membiasakan diri menggunakan kalimat sesuai ejaan yang disempurnakan. Banyak yang mengaku akhirnya menyadari indahnya bahasa Indonesia jika digunakan secara baik dan benar.
ADVERTISEMENT
Mereka juga mengaku memang lebih menyukai membaca dialog tokoh dalam novel yang walaupun berbahasa informal namun tetap tertata dengan baik menggunakan diksi Bahasa Indonesia yang tepat. Sebagaimana jika kita berbicara dengan pengajar Bahasa Indonesia dalam perbincangan santai.
Merujuk pada data statistik Perpusnas mengenai minat membaca masyarakat Indonesia pada tahun 2018-2019, terdapat kenaikan yang signifikan dibanding tahun 2017. Jika pada tahun 2017 minat membaca berkisar pada 36,38 persen, maka pada tahun 2018 merangkak naik menjadi 52,92 persen dan 2019 sebesar 53,84 persen.
Berdasarkan beberapa topik pilihan bacaan, kecenderungan membaca sastra berkisar 58 persen. Angka yang cukup dominan dan seharusnya dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan kekayaan Bahasa Indonesia yang kerap kali hanya bisa disalurkan lewat karya sastra. Novel adalah salah satunya.
ADVERTISEMENT
“Bisai”, “disiden”, “bumantara”, “seroja”. Pernahkah anda mendengar atau mengetahui diksi tersebut? Seandainya mengetahui, dari mana anda menemukan dan pernahkah menggunakan diksi-diksi tersebut dalam keseharian?
Diksi sebelumnya saya ambil dari novel berseri karya Crowdstroia yang telah melalui hari-harinya sebagai penulis sejak masa SMA. Sudah bertahun lamanya.
Ketika membaca karya-karyanya, Crowdstroia hanyalah satu dari sekian banyak penulis yang secara khas membubuhkan diksi-diksi yang cenderung jarang digunakan sehari-hari. Entah itu lewat judul, maupun semboyan yang menyiratkan kandungan novel. Seringnya ia menggunakan peribahasa yang menambah kekhasan pada sampul novel produksinya.
Salah satu serial Bisai yang berjudul Rengat, membubuhkan peribahasa “tak ada gading yang tak retak” sebagai jargon. Jika membacanya lebih dalam, peribahasa ini menyiratkan isi serial Bisai yang mengisahkan kehidupan masyarakat kelas atas yang terlihat sempurna namun ternyata memiliki banyak cela. Bahwa apa yang nampak dalam mata orang lain tak seperti kenyataannya.
ADVERTISEMENT
Adapun sekuel dari Rengat yaitu Sarhad yang melampirkan peribahasa “tak beras antah dikisik”, bercerita mengenai pembalasan dendam sang tokoh antagonis membuat peribahasa ini cocok menyiratkan isi cerita mengenai usaha tokoh menggapai tujuan lewat segala cara.
Sampul novel yang dibuat dengan cantik sehingga menarik mata, ditambah pemilihan diksi yang terkesan asing sebagai judul membuat pembaca mau tak mau akan mencari tau arti dari diksi tersebut. Tentunya ini akan menambah kekayaan bagi pembaca terhadap sebuah diksi bahasa Indonesia. Hal yang juga seringkali saya lakukan.
Kekhasan penulis dalam memberikan judul terhadap karyanya dengan diksi-diksi tak umum pada akhirnya dapat menjadi salah satu upaya menjaga kekayaan Bahasa Indonesia.
Bukan hanya lewat judul, pemilihan peribahasa Indonesia yang mungkin saat ini cukup jauh dari jangkauan masyarakat patut diperhitungkan. Peribahasa seringkali hanya diketahui oleh para pelajar di sekolahnya. Namun belum tentu itu akan tersimpan dalam ingatannya dalam jangka waktu yang lama.
ADVERTISEMENT
Barangkali lewat minat masyarakat terhadap novel yang akan memulai mereka meminati 'kembali' Bahasa Indonesia dengan penuh rasa bangga. Bahwa kalimat indah bukan hanya bisa dituliskan atau disiratkan dengan bahasa asing, namun juga dimiliki Bahasa Indonesia.
Pada peringatan Bulan Bahasa yang seharusnya kental di bulan Oktober ini, semoga bermunculan penulis-penulis sastra yang menjadikan sastra sebagai langkah melestarikan kekayaan diksi Bahasa Indonesia dan memunculkan diksi-diksi indah Bahasa Indonesia yang masih jarang diketahui.