Mereka yang Datang dari Rimba

Chairunisa Rohadi
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
28 Desember 2021 16:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chairunisa Rohadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Matahari Terbernam di Atas Hamparan Hutan Rimba (sumber : pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Matahari Terbernam di Atas Hamparan Hutan Rimba (sumber : pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Saya tidak malu dengan orang-orang berseragam sekolah itu. Untuk apa saya malu dengan orang yang buang sampah saja sembarangan,”
ADVERTISEMENT
“Saya tidak mau uang, Bu. Buat apa saya ingin uang ketika saya sudah punya segalanya.”
“Rumah saya jauh lebih luas dari ini, Bu. Tempat tidur saya beraroma kayu mahoni; dapur ibu saya luas dan punya segalanya (merujuk pada perkebunan berisi berbagai sayur dan buah), kamar mandi saya berisi air tiada habisnya (merujuk pada sungai dan telaga). Rumah ini tidak ada apa-apanya.”
Butet Manurung suatu hari bercerita penuh emosi mengisi perkuliahan umum. Memaparkan kisah yang dialaminya berhadapan langsung dengan masyarakat rimba di berbagai pelosok hutan di Indonesia. Mereka yang kemudian berkesempatan di ajak ke Ibukota, justru mengurung minat bahkan dengan rasa bangga menyebutkan apa saja yang mereka punya di “pelosok” sana.
ADVERTISEMENT
Aku tertawa mendengarnya. Benar juga, ya.
Rimba. Apa yang terbersit dalam benak anda mendengar kata tersebut? Hutan dengan akses perjalanan menguji kesabaran? Lingkungan tradisional yang kental dengan adat kebudayaan? Bahkan barangkali juga membayangkan sebagai tempat yang jauh dari peradaban?
Hal di atas benar. Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dilengkapi sebagai tempat yang penuh dengan pepohonan besar dan lebat. Lalu bagaimana dengan adat kebudayaan yang masih kental dipertahankan?
Ki Hajar Dewantara dalam Kebudayaan (1994) pernah menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan hasil usaha manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu zaman dan alam. Sebuah bukti bahwa manusia dapat mengatasi berbagai rintangan hidup dan penghidupannya demi meraih kedamaian. Sementara Selo Soemarjan dalam Sosiologi: Suatu Pengantar (2009) bahkan menyebutkan kebudayaan meliputi tujuh unsur, yaitu: peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan berupa tatanan sosial, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Adapun adat yang lekat dengan tradisi lokal, lazim dimengerti sebagai laku kebiasaan yang meliputi nilai-nilai budaya, norma, dan aturan yang berkaitan hingga membentuk sistem sosial. Pada akhirnya adat budaya adalah tentang kebiasaan-kebiasaan dalam hidup manusia sehari-hari meliputi seluruh aspek yang dilaluinya.
Lantas bagaimana dengan persepsi rimba sebagai sebuah tempat jauh dari peradaban? Layakkah kita menyebutnya demikian?
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian “peradaban” sebagai kemajuan, kecerdasan, kebudayaan lahir batin. Hal-hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, kebudayaan suatu bangsa. Hal ini identik dengan kemajuan sosial baik dalam bentuk kemenangan akal dan rasionalitas terhadap berbagai doktrin, dan memudarkan norma-norma lokal tradisional.
Bisa dibilang, peradaban di era saat ini merujuk pada orang-orang yang disebut berpikiran maju dan lekat dengan teknologi serta pengetahuan digital.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dengan mereka yang tinggal di rimba? Apakah mereka adalah orang terbelakang yang patut dikasihani karena ketertinggalan berbagai hal di masa kini? Mereka yang masih lekat dengan pegunungan, hutan, maupun pantai. Mereka yang bahkan duduk di bangku sekolah saja belum tentu karena ketiadaan fasilitas dan pengajar. Lantas benarkah mereka lebih bodoh dibandingkan kelompok manusia berkerah putih?
LandMark sebagai platform global memetakan lahan yang dikuasai masyarakat adat dan kontribusi lingkungan dan budaya yang dihasilkan mereka terhadap bumi. Lebih dari 50 persen lahan di dunia terekam ditempati masyarakat adat dan masyarakat setempat, namun hak legal mereka hanya sebagian kecil. Akibatnya lahan masyarakat diambil pemerintah, korporasi dan kelompok penguasa lainnya.
Padahal lahan adat yang penguasanya terjamin secara pribadi memiliki tingkat deforestasi lebih rendah daripada wilayah lainnya. Lahan adat ini menyimpan sekitar 25 persen karbon di atas tanah dunia yang memiliki peran besar dalam upaya global menekan perubahan iklim. Namun justru penjagaan ini terancam oleh sekelompok orang yang disebut “lebih” beradab lewat konsesi sumber daya alam pihak-pihak korporasi.
ADVERTISEMENT
Indonesia ‘pernah’ dijuluki sebagai paru-paru dunia karena hutan Kalimantan yang ketika itu masih hijau pekat menghasilkan oksigen bagi manusia di bumi. Tapi apa kabar sekarang?
Apakah anda sudah dengar kabar hilangnya lebih dari 600 hektar hutan demi pembukaan perkebunan singkong yang perizinan dan analisis lingkungannya belum terbit? Menghasilkan banjir besar ketika musim hujan tiba akibat hilangnya daerah resapan. Berdalih ketahanan pangan, namun meluluhlantakkan lingkungan. Menekan penghasil oksigen, dan justru melepas emisi setara 90.349 mobil yang berjalan 19 ribu kilometer dalam satu tahun.
Jika adat dan tradisi masyarakat rimba tersebut disebut sebagai suatu hal yang tertinggal. Lantas apa sebutan yang pantas bagi masyarakat berseragam dengan kerah putih yang meluluhlantakkan bumi dan mempercepat kerusakan?
ADVERTISEMENT
Barangkali ada benarnya mengenai sebuah istilah, terlalu melihat dunia akan membutakan mata. ***